Oleh Diva Nuraini
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terutama media sosial telah mengubah pola interaksi sosial secara drastis. Santri sebagai bagian dari komunitas pendidikan Islam tradisional menghadapi tantangan dan peluang baru: dari akses cepat terhadap informasi dan ruang dakwah digital hingga risiko hoaks, perilaku tidak etis, dan penyebaran konten yang bertentangan dengan nilai keagamaan. Beberapa studi lapangan menunjukkan santri mengalami tantangan literasi informasi dan etika bermedia yang perlu mendapat perhatian untuk menjaga kualitas akhlak dalam interaksi daring. Penelitian penelitian lokal mengindikasikan bahwa program penguatan literasi digital dan etika bermedia di pesantren berpotensi meningkatkan kemampuan santri memilah informasi dan berperilaku etis di ruang publik digital (Karomani et al., 2021).
Isu ini penting karena pesantren berperan tidak hanya sebagai pusat pendidikan agama tetapi juga sebagai sumber pembentukan karakter dan moral generasi muda Muslim. Jika santri mampu menjadi agen etika digital, mereka bisa meredam penyebaran informasi misleading, menjadi pembuat konten dakwah yang santun, serta menjadi teladan perilaku bermedia sosial yang beradab. Oleh karena itu, kajian ini meninjau literatur terkait peran santri di platform digital dan menyajikan alternatif pemecahan untuk menguatkan ahlak santri di media sosial.
Fenomena Penggunaan Media Sosial di Kalangan Santri
Media sosial telah menjadi ruang interaksi utama bagi remaja dan pemuda, tak terkecuali santri. Akses internet yang semakin mudah membuat santri sering memanfaatkan platform seperti Instagram, TikTok, WhatsApp, Facebook, dan YouTube untuk berkomunikasi, berdakwah, serta mencari materi pembelajaran. Namun beberapa studi menunjukkan adanya kesenjangan antara tingginya intensitas penggunaan media sosial dan kemampuan memahami etika digital. Penelitian Basir (2021) menemukan bahwa sebagian santri menggunakan media sosial tanpa mempertimbangkan dampak moral, seperti menyebarkan informasi yang belum terverifikasi atau terlibat dalam percakapan yang mengandung ujaran kurang santun.
Problem ini semakin kompleks karena para santri berada dalam fase perkembangan sosial-emosional yang sensitif sehingga lebih rentan terhadap konten negatif, cyberbullying, maupun tekanan gaya hidup digital (Basir, 2021).
Selain itu, penelitian Karomani (2021) menunjukkan bahwa santri masih menghadapi hambatan dalam literasi informasi terutama dalam hal membedakan fakta dan opini, memahami bias algoritmik, serta mengenali hoaks digital. Keterbatasan pendidikan literasi digital di sebagian pesantren membuat santri belum memiliki landasan kritis yang cukup untuk menghadapi derasnya arus informasi. Hal ini memperkuat pandangan bahwa pesantren perlu memberikan pendekatan edukatif yang lebih sistematis agar penggunaan media sosial dapat selaras dengan nilai etika dan akhlak Islam (Karomani et al., 2021).
Landasan Teori: Etika Digital, Akhlak, dan Pendidikan Pesantren
Secara konseptual, etika digital (digital ethics) merujuk pada seperangkat norma, nilai, dan prinsip moral yang membimbing perilaku individu dalam ruang digital. Prinsip prinsip tersebut meliputi tanggung jawab terhadap konten yang dibagikan, menjaga sopan santun dalam komunikasi, menghormati privasi orang lain, serta menghindari penyebaran informasi palsu atau provokatif. Dalam perspektif Islam, nilai-nilai ini selaras dengan ajaran akhlak yang diajarkan dalam pesantren, seperti tabligh (menyampaikan kebenaran), amanah (bertanggung jawab), iffah (menjaga diri dari keburukan), serta adab al-hiwar (etika berdialog).
Jika dikaitkan dengan konteks eksistensial santri, pendidikan akhlak tidak hanya dilekatkan melalui ceramah atau kitab kuning, melainkan juga praktik sehari-hari yang membentuk habitus moral. Etika digital, karenanya, dapat dipahami sebagai perluasan dari akhlak Islam ke ruang virtual. Santri sebagai populasi yang mendapatkan pendidikan moral secara intensif memiliki modal sosial untuk menjadi teladan dalam ruang digital. Namun hal ini hanya dapat tercapai apabila pesantren menyesuaikan kurikulum dengan tantangan zaman, sebagaimana rekomendasi studi Ihyani (2023) mengenai urgensi pembelajaran akhlak berbasis konteks Revolusi Industri 4.0 (Ihyani et al., 2023).
Peran Santri sebagai Agen Etika Digital
Santri dapat berperan sebagai agen etika digital melalui dua cara utama:
- Sebagai agen internal, yaitu individu yang menginternalisasi nilai akhlak dalam berinteraksi di media sosial, dan
- Sebagai agen eksternal, yaitu pelopor penyebaran nilai-nilai etika kepada masyarakat luas.
Sebagai agen internal, santri diharapkan mampu menerapkan prinsip tabayyun (verifikasi), kesantunan berbicara, dan kehati-hatian saat membagikan konten. Kemampuan ini dibentuk melalui literasi digital, pemahaman terhadap prinsip komunikasi Islam, serta pembiasaan dalam kehidupan pesantren.
Sebagai agen eksternal, santri memiliki posisi strategis untuk menyampaikan dakwah positif melalui konten edukatif, dakwah kreatif, maupun moderasi digital. Penelitian Farid (2019) menunjukkan bahwa beberapa pesantren yang mengembangkan tim media kreatif santri terbukti mampu mengubah citra pesantren sebagai lembaga yang adaptif dan produktif dalam memanfaatkan teknologi digital. Santri tidak hanya menyebarkan pesan keagamaan, tetapi juga narasi kebinekaan, toleransi, dan edukasi anti-hoaks (Farid, 2019).
Dalam konteks pembangunan ruang digital yang sehat, santri juga dituntut memiliki kemampuan digital citizenship, yaitu kesadaran atas hak dan kewajiban sebagai pengguna internet. Mereka perlu memahami bahwa setiap aktivitas digital meninggalkan jejak yang dapat memengaruhi reputasi pribadi maupun lembaga pesantren. Dengan demikian, santri sebagai agen etika digital juga berperan menjaga marwah pesantren melalui perilaku bermedia sosial yang penuh adab.
Hambatan dan Tantangan dalam Penguatan Etika Digital Santri
Beberapa tantangan utama yang dihadapi pesantren dan santri meliputi:
- Minimnya kurikulum dan pelatihan literasi digital. Banyak pesantren masih fokus pada kurikulum tradisional sehingga belum memasukkan materi literasi digital sebagai bagian dari pembelajaran formal. Padahal, studi Karomani (2021) menegaskan bahwa santri membutuhkan kemampuan memverifikasi informasi dan memahami konteks digital agar tidak terjebak dalam jebakan algoritmik dan misinformasi.
- Media sosial sering kali mendorong budaya instan, sensasi, dan viralitas. Nilai demikian dapat berbenturan dengan nilai kesederhanaan, kesantunan, dan kehati hatian yang diajarkan dalam pesantren. Santri yang tidak memiliki kemampuan kontrol diri berpotensi terjebak dalam perilaku impulsif.
- Minimnya role model etika digital di lingkungan pesantren. Tidak semua pesantren memiliki pengasuh atau tenaga pendidik yang aktif dan terlatih dalam etika digital. Ketika figur teladan kurang hadir di ruang digital, santri cenderung mencari panutan lain yang belum tentu membawa nilai moral yang baik.
- Akses teknologi yang tidak merata. Sebagian pesantren di daerah terpencil mengalami keterbatasan akses internet, perangkat digital, maupun pelatihan teknis. Hal ini menimbulkan ketimpangan kemampuan santri dalam menghadapi tantangan digital.
Alternatif Solusi dan Praktik Penguatan Etika Digital Santri
Beberapa strategi dapat dilakukan untuk mengoptimalkan peran santri sebagai agen etika digital:
- Integrasi kurikulum literasi digital dan etika. Pesantren perlu merumuskan kurikulum yang memadukan materi literasi media, etika komunikasi Islam, dan pemahaman risiko digital. Modul ini dapat diambil dari referensi akademis ataupun hasil kerja sama dengan perguruan tinggi. Studi Maknuni (2024) menunjukkan bahwa pelatihan literasi digital yang terstruktur mampu meningkatkan kemampuan santri dalam menyeleksi informasi dan menggunakan media sosial secara bertanggung jawab (Maknuni, 2024).
- Workshop pembuatan konten dakwah beretika. Pelatihan pembuatan konten kreatif (video dakwah, poster edukatif, artikel islami) dapat meningkatkan kemampuan santri dalam mengisi ruang digital dengan narasi positif. Konten yang menarik dan berakhlak dapat menjadi alternatif terhadap banjir konten hiburan yang dangkal dan tidak mendidik.
- Pembentukan tim media pesantren. Tim ini bertanggung jawab pada publikasi konten resmi pesantren, moderasi komentar, serta pengembangan kampanye digital beretika. Selain memperkuat citra pesantren, tim ini juga berfungsi sebagai laboratorium praktik bagi santri untuk menerapkan etika digital dalam konteks nyata.
- Pendampingan intensif oleh pengasuh dan guru. Penguatan etika digital tidak cukup dengan teori; perlu pembiasaan yang dikawal secara langsung. Pengasuh pesantren dapat memberikan tausiyah rutin mengenai adab bermedia, kajian tentang hoaks, dan etika berdialog. Kehadiran figur teladan digital akan memperkuat internalisasi nilai.
- Kolaborasi dengan lembaga eksternal. Pesantren dapat menjalin kerja sama dengan kampus, NGO literasi digital, Kominfo, atau lembaga media untuk mendapat pelatihan, modul, hingga sertifikasi. Program-program semacam Gerakan Santri Anti Hoaks atau Pesantren Go Digital dapat menjadi ruang sinergi.
Kesimpulan
Santri memiliki potensi besar menjadi agen etika digital apabila diberikan literasi, keterampilan, dan dukungan institusional yang memadai. Rangkaian studi lokal menunjukkan kebutuhan nyata akan program penguatan literasi digital dan etika bermedia yang terstruktur di pesantren. Upaya ini bukan sekadar soal penggunaan teknologi, melainkan penguatan akhlak untuk mentransformasikan ruang publik digital menjadi lebih bermartabat dan bertanggung jawab (Karomani et al., 2021).
Saran
- Pesantren perlu mengintegrasikan modul literasi digital dan etika bermedia dalam kurikulum formal dan informal.
- Pengasuh dan pimpinan pesantren harus dilatih sebagai pendamping dan role model dalam praktik etika digital.
- Bentuk tim pengelola media sosial pesantren yang bertugas menyusun pedoman, memproduksi konten dakwah beretika, dan melakukan moderasi.
- Jalin kemitraan dengan akademisi dan praktisi literasi digital untuk menyediakan materi dan evaluasi berkelanjutan.
Daftar Pustaka:
- Basir, K. (2021). Pengaruh Penggunaan Media Sosial terhadap Pembentukan Akhlak Santri di TPQ Darul Ulum Masjid Muhajirin Makassar. Uin Alauddin Makassar. https://repositori.uin-alauddin.ac.id/20014/1/St. Khaerawati Basir.pdf
- Farid, A. (2019). Optimalisasi Media Sosial Pesantren untuk Membendung Konten Negatif di Dunia Maya. Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Islam. https://ejournal.iaisyarifuddin.ac.id/index.php/dakwatuna/article/download/320/240
- Ihyani, L., Assa’ady, M. C., Auliana, R., Talidobel, S., & Marlina, F. (2023). Membangun Etika Santri Di Era Industri 4.0. AL-MADANI: Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat, 2(2), 121–127.
- Karomani, Nurhaida, I., Aryanti, N., Windah, A., & Purnamayanti, A. (2021). Literasi Informasi Digital : Tantangan Bagi Para Santri Dalam Menjalankan Peran Sebagai Global Citizen : Studi Kasus Pada Pondok Pesantren. Komunika, 4(2). https://repository.lppm.unila.ac.id/37959/1/
- Maknuni, J. (2024). Peningkatan Literasi Digital dan Etika Bermedia Sosial Bagi Santri Dayah Darul Muta’alimin. BA : Jurnal Pengabdian, 2(1), 18–22.
Biodata Penulis:
Diva Nuraini saat ini aktif sebagai mahasiswa, Tadris Bahasa Indonesi, di UIN Gus Dur Pekalongan.