Oleh Deksta Cindidho Romadona
"Kadang, yang paling sering hadir bukan yang paling ingin menetap. Dan yang paling peduli, belum tentu yang benar-benar dipilih."
Kata-kata yang sangat puitis tetapi sakit, kan? Saat ini kita hidup di masa di mana kata ”hubungan” bisa berarti banyak hal, tapi.. kadang nggak berarti apa-apa. Sekarang hubungan nggak lagi sesederhana pacaran atau engga. Banyak hubungan yang digantung di tengah, kondisi dimana dekat tapi nggak terikat, intens tapi tanpa kepastian. Dua orang bisa tau isi hidup masing-masing, keseharian, kegiatan, saling kabar, saling sapa hari “good morning” “good night”, bahkan saling menenangkan di saat sulit, tapi tetap nggak pernah bisa memanggil satu sama lain dengan sebutan ”pacar”.
Fenomena ini di jaman sekarang sering dikenal dengan situationship yaitu hubungan tanpa label, tapi dengan segala kedekatan yang seakan-akan nyata. Banyak orang yang terjebak di dalamnya tanpa sadar, karena semuanya terasa mengalir begitu saja, terasa hangat, dan meyakinkan. Kita dibuat percaya dengan “jalanin aja duluu” atau “let it flow ajaa” adalah bentuk kedewasaan, padahal itu Cuma cara halus seseorang untuk menghindari komitmen. Di tengah semua itu, ada satu pihak yang menunggu kepastian dari seseorang yang bahkan belum tentu benar-benar ingin menetap, atau bahkan kedua pihak sama-sama tidak ingin komitmen tetapi ingin selalu ada di hubungan itu.
Dekat Tapi Nggak Dipilih
Menjadi second choice bukan cuma tentang kalah dari orang lain, tapi juga tentang terjebak di ruang abu-abu antara harapan dan realitas. Di satu sisi, kita tahu posisi kita bukan yang utama; tapi di sisi lain, perhatian-perhatian kecil dan kebiasaan sehari-hari yang dijalani bersama bikin kita susah lepas. Notifikasi yang masih bikin deg-degan dan bahkan bisa bikin euphoria sesaat, padahal kita tau pesan yang sama bisa aja dikirim ke orang lain. Fenomena ini nggak Cuma soal cinta, tapi juga soal bagaimana mereka ini mencari validasi ingin dicintai tapi takut ditinggalkan. Akhirnya, banyak yang memilih bertahan di situasi nggak jelas hanya karena takut kesepian.
Antara Harapan dan Kenyataan
Ada yang bilang kalau yang lebih nyakitin dari ditolak itu “nggak benar-benar dipilih.” Kalimat itu rasanya pas banget buat menggambarkan mereka yang jadi pilihan kedua. Mereka bukan nggak tahu kenyataannya, tapi mereka berharap. Berharap suatu hari orang itu sadar siapa yang benar-benar tulus dan akan kembali. Harapan tersebut sering kali dipaksakan dan bisa berubah jadi luka. Kita mulai kehilangan diri sendiri perlahan, mulai menyesuaikan jadwal, perasaan, dan bahkan nilai diri, demi seseorang yang nggak pernah benar-benar menetapkan hati. Pada akhirnya, rasa sayang yang tulus malah berubah menjadi beban.
Media Sosial dan Ilusi Kedekatan
Teknologi bisa membuat semuanya kelihatan lebih dekat, padahal bisa jadi sejauh-jauhnya. Lewat chat, emoji, dan late night call, kita merasa lebih “kenal.” Padahal, hubungan digital sering kali menjadi pantulan dari kesepian dua orang yang sama-sama butuh perhatian. Dunia maya membuat orang lebih mudah untuk connect, tapi juga mempermudah mereka buat detach kapan pun.
Kedekatan di media sosial menciptakan ilusi kalau komunikasi itu berarti koneksi, padahal belum tentu. Banyak kasus di luar sana seperti kita bukan satu-satunya yang dikirim pesan manis dengan emoji love-nya itu. Tapi tetap aja, kita terus berharap, karena ilusi perhatian terasa lebih baik daripada sepi yang sebenarnya.
Belajar Melepaskan
Melepaskan bukan berarti berhenti untuk peduli ya, tapi belajar bahwa cinta nggak harus memiliki. Kadang memilih untuk meninggalkan orang yang nggak benar-benar memilih kita adalah suatu bentuk penyelamatan, karena sekeras apapun kita bertahan, kebersamaan yang nggak seimbang cuma bisa menimbulkan luka. Melepaskan juga berarti sadar bahwa kita juga pantas untuk dicintai secara penuh, bukan hanya setengah-setengah atau sekedar tergantung mood. Perhatian yang tulus itu nggak akan bikin ragu, dan cinta yang nyata nggak perlu tanda tanya.
Memilih Diri Sendiri
Pada akhirnya kisah “second choice” bukan tentang kalah atau gagal, tapi tentang keberanian untuk memilih diri sendiri. Dunia ini penuh dengan orang yang datang dan pergi, tapi pada akhirnya cuma kita yang bisa benar-benar menetap dalam hidup kita sendiri. Jadi, kalau kamu pernah jadi pilihan kedua atau saat ini ada di kondisi tersebut, itu bukan kamu yang salah, mungkin emang bukan dia yang tepat. Cinta sejati itu bukan tentang siapa yang kamu perjuangkan, tapi siapa yang mau berjuang bareng kamu, atau bahkan memperjuangkanmu. Tapi kalau belum ada yang kaya gitu, nggak apa-apa. Kadang, cinta paling tulus datang dari keputusan yang sederhana: untuk nggak lagi menunggu yang nggak pasti, dan mulai memilih diri sendiri dulu. “Choose Yourself Over Everything”