Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Sering Serobot Jalur Busway Tapi Marah Kalau Macet? Ironi Warga Jakarta

Jakarta macet? Ayo cari tahu bagaimana ego kecil di jalan bisa menciptakan masalah besar. Mari bersama tumbuhkan budaya tertib agar kota lebih nyaman.

Oleh Dhea Nur Annisa

Setiap sore, saya sering lewat Jalan Daan Mogot, kadang lewat Kebon Jeruk, atau kalau arah pulang sedang ingin jalur alternatif, lewat Jalan Jagal Babi. Tapi percayalah, ke mana pun jalannya, hasilnya sama: macet. Pemandangan yang sudah sangat “Jakarta banget”, deretan motor berhimpitan di antara mobil, klakson bersahut-sahutan, dan tentu saja, pengendara yang tetap melaju meski lampu lalu lintas sudah jelas-jelas merah. Kadang saya sampai berpikir, “Apakah lampu merah di Jakarta itu cuma hiasan kota?”

Ironi Warga Jakarta

Lucunya, di media sosial, warga Jakarta juga yang paling sering marah kalau macet. Timeline penuh dengan keluhan: “Duh, Jakarta makin macet aja!” atau “Udah jalan diperlebar, tetep aja stuck!” Tapi kalau diperhatikan, kadang yang ngeluh itu juga termasuk orang yang sehari-hari nyerobot jalur busway, belok seenaknya tanpa sein, atau nekat trobos lampu merah karena “udah telanjur di depan.” Ironi yang sempurna, bukan?

Jakarta macet bukan karena jalannya kurang. Jalan sudah diperlebar, flyover dan underpass ditambah, jalur busway disediakan, tapi hasilnya tetap saja: macet parah. Kenapa? Karena bukan infrastrukturnya yang rusak, tapi mental tertibnya yang belum tumbuh. Kita terbiasa mencari jalan pintas, mau cepat tapi tidak mau tertib.

Ambil contoh sederhana: jalur busway. Jalur ini dibuat agar transportasi umum bisa jalan lancar, supaya warga punya alternatif selain kendaraan pribadi. Tapi kenyataannya? Setiap hari, jalur itu dipenuhi motor dan mobil pribadi yang “nebeng” karena merasa waktunya lebih penting dari orang lain. Bahkan sering ada yang nekat serobot meskipun di depannya sudah ada papan besar bertuliskan “Khusus Busway.” Saya pernah melihat sendiri, pengendara motor cuek aja lewat jalur busway, lalu dimarahi petugas, eh malah balik marah, bilang “Kan Cuma sebentar, Pak!” Sebentar bagi dia, tapi kalau semua berpikir begitu, lalu aturan buat siapa?

Di beberapa titik, terutama Daan Mogot dan Kebon Jeruk, sudah jadi rahasia umum kalau lampu baru kuning dikit, motor sudah tancap gas. Kadang malah belum hijau, tapi sudah berangkat duluan karena “takut diserobot yang belakang.” Inilah mentalitas “asal cepat” yang tanpa sadar bikin keadaan makin semrawut. Padahal, lampu merah bukan sekadar alat pengatur jalan, tapi simbol kecil dari disiplin dan kesadaran sosial.

Ketaatan pada lampu lalu lintas sebenarnya merupakan bentuk sederhana dari pelaksanaan norma masyarakat. Di situlah tanggung jawab warga negara diuji bukan di saat diawasi, tapi di saat tak ada yang melihat. Nilai-nilai ini sebenarnya mencerminkan ajaran Pancasila yang menuntun kita untuk hidup tertib, adil, dan saling menghormati hak orang lain.

Kemacetan di Jakarta adalah hasil dari ego kolektif. Setiap orang merasa dirinya paling terburu- buru, paling penting, dan paling benar. Tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mau antre. Kita semua ingin cepat sampai, tapi dengan cara melanggar aturan yang justru memperlambat semuanya. Ironisnya, setelah itu, kita akan tetap mengeluh di media sosial, seolah bukan bagian dari masalah.

Memang, sebagian orang beralasan bahwa macet terjadi karena kendaraan pribadi kebanyakan. Benar juga, tapi itu baru separuh cerita. Kemacetan bukan Cuma soal jumlah kendaraan, tapi soal perilaku pengendaranya. Bayangkan kalau semua tertib: tidak menyerobot, tidak trobos lampu merah, tidak berhenti di zebra cross. Mungkin lalu lintas akan lebih lancar atau setidaknya, tidak seberantakan sekarang.

Data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta tahun 2024 mencatat, lebih dari 60% pelanggaran lalu lintas dilakukan oleh pengendara sepeda motor, terutama di jam sibuk sore hari. Hal ini sesuai dengan apa yang sering saya lihat di lapangan: sore hari di Daan Mogot bisa berubah seperti arena balapan. Motor saling menyalip di celah sempit, klakson bersahut-sahutan, dan kalau sudah macet total, trotoar pun diserobot. Situasi seperti ini bukan Cuma bikin macet, tapi juga berbahaya bagi pejalan kaki.

Kalau dipikir, tertib di jalan itu bukan Cuma soal hukum, tapi juga soal moral dan karakter bangsa. Nilai Pancasila dan norma masyarakat sebenarnya hidup dalam tindakan sederhana seperti menghargai giliran, menaati rambu, dan mengutamakan keselamatan bersama. Kalau kita benar-benar mempraktikkan nilai “kemanusiaan yang adil dan beradab” atau “persatuan Indonesia,” mungkin tidak ada lagi orang yang merasa dirinya lebih berhak lewat duluan. Karena di jalan raya, semua sama: yang pakai motor, mobil, atau bus semuanya warga yang punya hak dan kewajiban yang setara.

Kita semua tentu ingin Jakarta yang lebih tertib dan manusiawi. Tapi perubahan itu tidak bisa hanya datang dari polisi atau pemerintah. Perubahan dimulai dari kesadaran tiap warga. Dari hal-hal kecil: berhenti di belakang garis putih, sabar menunggu lampu hijau, tidak menyerobot jalur busway, dan tidak menganggap aturan sebagai penghalang.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti menyalahkan “kemacetan Jakarta” seolah itu makhluk misterius yang muncul begitu saja. Karena sebenarnya, kemacetan itu adalah cermin dari perilaku kita sendiri. Jalan tidak salah, aturan tidak salah, yang salah adalah sikap kita yang masih suka mencari celah untuk melanggar. Jadi lain kali, saat macet di Daan Mogot atau terjebak di lampu merah Kebon Jeruk, coba tengok kanan-kiri mungkin penyebab macetnya bukan di depan, tapi ada di kaca spion kita sendiri.

© Sepenuhnya. All rights reserved.