Oleh Hanifan Atthar
Pada awal 2025, Balai Kota Surakarta kembali menjadi pusat perhatian ketika rancangan New Solo Technopark dipresentasikan kepada jajaran pemerintah kota. Gambar tiga dimensi kawasan, peta jaringan digital, dan daftar fasilitas riset memenuhi layar proyektor. Proyek ini digadang sebagai langkah besar Surakarta untuk masuk ke era ekonomi berbasis inovasi.
| Solo Techno Park |
Harapannya tidak kecil. Pemerintah kota ingin menghadirkan kawasan teknologi modern yang berisi pusat riset, laboratorium, ruang inkubasi, hingga lingkungan kreatif yang dapat melahirkan usaha rintisan baru. Namun seperti banyak proyek pembangunan berbasis visi jangka panjang, rancangan yang tampak mulus di atas kertas harus kembali diuji oleh kondisi riil di lapangan.
Data resmi yang dirilis sepanjang Februari hingga November 2025 menjadi sumber paling jernih untuk menilai kesiapan Surakarta melangkah menuju posisi baru sebagai kota digital. Gambaran yang muncul menunjukkan peluang besar, namun juga tantangan struktural yang tidak bisa diabaikan.
Pertumbuhan ekonomi Surakarta dalam dua tahun terakhir memang memperlihatkan kehati-hatian yang optimistis. Dalam laporan BPS Surakarta bertanggal 4 Maret 2025, nilai PDRB tahun 2024 tercatat mencapai lebih dari enam puluh empat triliun rupiah, dengan pertumbuhan tahunan lima koma enam puluh satu persen. Sektor Informasi dan Komunikasi tumbuh paling cepat dengan kenaikan hampir sepuluh persen. Angka itu selaras dengan peningkatan penggunaan internet rumah tangga, pembayaran digital yang makin umum, serta layanan berbasis aplikasi yang mulai menjadi bagian keseharian warga.
Namun pertumbuhan tersebut belum menggeser kedudukan sektor konvensional sebagai tulang punggung ekonomi kota. Kontribusi terbesar PDRB masih berasal dari sektor konstruksi, disusul perdagangan dan industri pengolahan. Ini menunjukkan bahwa transformasi digital belum menjadi kekuatan struktural. Aktivitas digital meningkat, tetapi belum berubah menjadi kapasitas inovasi yang dapat mendorong perekonomian kota ke arah yang lebih modern.
Kondisi UMKM memperjelas situasi tersebut. Surakarta memiliki sebelas ribu lebih UMKM aktif hingga 2022, naik pesat dari tiga ribu lebih pada tahun sebelumnya. Lonjakan ini menunjukkan vitalitas ekonomi rakyat, apalagi sebagian besar bergerak di sektor kreatif seperti kuliner, kerajinan, dan fesyen. Banyak di antara mereka telah memanfaatkan media sosial, marketplace, dan pembayaran digital sebagai penopang usaha. Namun kajian BRIDA Surakarta yang diakses hingga November 2025 menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi lanjutan seperti manajemen inventori digital, pencatatan otomatis, integrasi perangkat lunak produksi, hingga penggunaan data pelanggan masih sangat terbatas.
UMKM memang telah memasuki ruang digital, namun baru pada lapisan dasar. Untuk mewujudkan pusat inovasi, kelompok usaha kecil dan menengah ini seharusnya menjadi pengguna utama produk dan teknologi yang dihasilkan Technopark. Tanpa peningkatan kapasitas digital yang lebih dalam, teknologi yang dihadirkan di Technopark berpotensi tidak menemukan pengguna awal yang kuat.
Infrastruktur digital Surakarta juga belum sepenuhnya siap menopang kawasan teknologi. Rencana pembangunan Technopark yang tercantum dalam RPJPD 2025 hingga 2045 memang menyebutkan berbagai fasilitas modern. Namun hingga akhir 2025, belum ada publikasi resmi yang memaparkan kesiapan pusat data lokal, kapasitas laboratorium riset, atau kesiapan jaringan fiber optik kota. Bahkan di beberapa wilayah, kualitas jaringan internet rumah tangga masih bervariasi.
Model kota digital tidak hanya membutuhkan aplikasi layanan publik. Ia memerlukan fondasi teknis seperti jaringan yang stabil, pusat penyimpanan data, keamanan siber, serta perangkat laboratorium yang memadai. Tanpa itu semua, ruang modern yang berdiri megah berisiko tidak mampu melahirkan aktivitas riset dan inovasi.
Pada sisi sumber daya manusia, Surakarta memang memiliki banyak talenta kreatif dari UNS maupun ISI Surakarta. Namun kemampuan teknis tingkat lanjut seperti kecerdasan buatan, keamanan siber, rekayasa perangkat lunak, atau analisis data belum terpetakan secara formal. Kota-kota yang lebih dulu membangun industri digital memiliki peta talenta yang lengkap sehingga pemerintah dapat menyesuaikan program pelatihan dan pendidikan. Di Surakarta, pemetaan ini belum tampak dalam dokumen publik, sehingga kebijakan pengembangan SDM sulit diarahkan secara tepat.
Dalam kajian inovasi modern, keberhasilan transformasi digital tidak hanya bergantung pada satu aktor. Keterlibatan pemerintah, kampus, industri, dan masyarakat harus berjalan beriringan. Surakarta tampaknya masih berada pada tahap awal dari interaksi tersebut. Pemerintah menjadi pendorong utama, tetapi universitas belum terhubung pada riset teknologi yang berorientasi industri, dan sektor swasta belum terlihat mengambil peran strategis.
Kondisi ekosistem startup pun mencerminkan hal yang sama. Sampai akhir 2025, tidak ada data publik yang menunjukkan adanya startup Surakarta yang menembus skala nasional atau menerima pendanaan tahap lanjut. Sebagian besar aktivitas startup masih dilakukan komunitas dengan sumber daya terbatas, dan belum ada inkubator yang terintegrasi dengan kebijakan pemerintah. Padahal keberadaan inkubator formal sangat memengaruhi keberhasilan kawasan teknologi di banyak kota lain.
Meski begitu, Surakarta tetap memiliki modal yang tidak dimiliki banyak kota lain. Identitas budaya yang kuat, dinamika kreatif, dan pasar UMKM yang luas menjadi fondasi unik bagi inovasi digital. Teknologi bisa diarahkan untuk memperkuat industri kuliner, kerajinan, pariwisata, hingga katalog budaya. New Solo Technopark dapat menjadi tempat bertemunya kreativitas budaya dan inovasi digital untuk menghasilkan produk khas Surakarta.
Dari Ambisi Menjadi Kenyataan: Kebijakan yang Masih Mencari Fondasi
Surakarta jelas memiliki visi yang progresif. Pemerintah kota ingin menggeser orientasi pembangunan dari sektor konvensional menuju ekonomi digital berbasis inovasi. Namun dari perspektif kebijakan publik, kesenjangan antara visi dan kesiapan masih tampak jelas.
Salah satu persoalan terbesar terletak pada struktur ekonomi yang belum mendukung arah transformasi digital. Meskipun sektor digital tumbuh pesat, kekuatan ekonomi terbesar tetap digerakkan oleh sektor konstruksi dan perdagangan. Dengan kata lain, arah kebijakan bergerak lebih cepat daripada realitas struktural.
Persoalan lain terletak pada ekosistem teknologi yang masih berada di tahap awal. Kesiapan fasilitas dasar seperti pusat data lokal, laboratorium riset, atau jaringan fiber optik belum tercatat dalam laporan resmi pemerintah. Tanpa fondasi teknis yang kuat, sebuah technopark akan sulit berfungsi sebagai ruang inovasi.
Masalah berikutnya berada pada kesiapan pelaku ekonomi lokal. UMKM memang tumbuh pesat, tetapi tingkat adopsi teknologi lanjutan masih rendah. Produk teknologi dari technopark berisiko tidak terserap bila kemampuan digital UMKM belum meningkat.
Aktor-aktor penting dalam inovasi juga belum terhubung secara optimal. Pemerintah sudah memiliki arah, namun keterlibatan kampus dan industri sebagai motor inovasi masih lemah. Kesenjangan ini membuat pembangunan technopark berpotensi terhambat di tahap implementasi.
Potret Surakarta dari Balik Angka: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Lapangan
Data yang dikeluarkan BPS Surakarta hingga November 2025 memberikan gambaran objektif mengenai kondisi kota. Sektor Informasi dan Komunikasi memang tumbuh paling cepat. Namun pertumbuhan itu masih ditopang konsumsi digital, bukan kemampuan produksi teknologi.
UMKM Surakarta naik signifikan dari tiga ribu lebih pada 2021 menjadi lebih dari sebelas ribu pada 2022. Namun mayoritas masih memanfaatkan teknologi untuk promosi dan pembayaran digital. Sistem digital yang lebih kompleks jarang digunakan.
Infrastruktur digital kota juga belum merata. Jaringan internet rumah tangga masih naik turun di beberapa wilayah. Keberadaan pusat data, laboratorium teknologi modern, dan jaringan fiber optik terintegrasi belum tercatat secara resmi. Kondisi ini menunjukkan masih adanya pekerjaan besar untuk menyiapkan fondasi digital kota.
Ekosistem startup di Surakarta juga masih terbatas. Tidak ditemukan catatan publik mengenai startup lokal yang berhasil mencapai pendanaan lanjutan atau menembus pasar nasional. Inkubasi masih bersifat komunitas dan belum sepenuhnya mendapat dukungan struktural.
Apa Kata Para Pemikir? Menimbang Technopark Lewat Kacamata Teori Modern
Dalam teori kebijakan publik, evaluasi sering melihat dua aspek utama: apakah tujuan kebijakan memadai, dan apakah kondisi memungkinkan pelaksanaannya. Mengacu pada pemikiran William Dunn, tujuan Surakarta membangun technopark sudah jelas dan selaras dengan arah global. Namun keterlaksanaannya masih harus diuji oleh kesiapan infrastrukur dan ekosistem digital.
Sistem inovasi modern yang dikemukakan Bengt Åke Lundvall menekankan pentingnya interaksi antara pemerintah, universitas, industri, dan pengguna. Pada kondisi Surakarta saat ini, interaksi itu belum terjadi secara menyeluruh. Pemerintah bergerak cepat, tetapi kampus dan industri belum mengambil peran signifikan.
Model triple helix dari Etzkowitz juga menegaskan perlunya kolaborasi tiga aktor tersebut. Pembangunan kawasan inovasi tidak bisa ditopang oleh pemerintah saja. Keterlibatan kampus dan sektor industri menjadi syarat penting agar technopark bisa menghasilkan inovasi nyata, bukan hanya fasilitas fisik.
Membangun Masa Depan: Langkah yang Harus Dipijak Sebelum Melompat
Agar New Solo Technopark bisa berfungsi sebagai pusat inovasi, pembangunan harus dimulai dari penguatan fondasi kota. Penyusunan peta jalan digital yang terukur perlu dilakukan, mencakup target SDM, arah riset, dan indikator tahunan.
Infrastruktur digital inti seperti pusat data lokal, jaringan fiber optik, dan laboratorium riset harus disiapkan sejak awal. Peningkatan kapasitas SDM teknologi perlu diutamakan melalui pelatihan terarah, kemitraan industri, dan beasiswa.
UMKM harus didampingi untuk naik kelas digital melalui pendampingan operasional, integrasi teknologi produksi, dan pemanfaatan data. Ekosistem startup perlu diperkuat melalui inkubator resmi yang menyediakan pendanaan awal dan jaringan investor.
Insentif bagi perusahaan teknologi juga harus diperjelas agar mereka tertarik datang dan berkembang di Surakarta.
Jika langkah-langkah ini dilakukan, Technopark dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi. Namun bila fondasinya tidak diperkuat, kawasan ini berisiko menjadi ruang megah yang kehilangan perannya sebagai motor inovasi kota.
Penutup
New Solo Technopark membuka harapan Surakarta memasuki era baru. Visi yang dibawa proyek ini patut diapresiasi. Namun data hingga November 2025 menunjukkan bahwa ekosistem pendukungnya belum sepenuhnya siap.
Kota ini memiliki potensi besar. Hanya saja, potensi itu harus didukung dengan fondasi yang solid. Jika Surakarta mampu memperkuat struktur digitalnya, Technopark dapat menjadi ikon baru inovasi. Sebaliknya, tanpa perubahan mendasar, kawasan ini akan sulit mencapai perannya sebagai pusat teknologi yang dinamis.
Dengan strategi yang tepat, Surakarta dapat menjadikan Technopark sebagai gerbang masa depan. Tantangannya kini bukan pada besarnya visi, melainkan pada kesiapan fondasinya.
Biodata Penulis:
Hanifan Atthar saat ini aktif sebagai mahasiswa, Jurusan Bisnis Digital, di Universitas Sebelas Maret.