Oleh Natania Stefi Graciela
Bencana hidrometeorologi di Sumatera pada awal Desember ini bukan lagi sekadar berita duka, melainkan sebuah "tamparan keras" bagi tata kelola negara. Saat ribuan warga di Sumatera berjuang menyelamatkan harta benda dari rendaman air, alarm bahaya lain sedang berbunyi di Timur Indonesia. BMKG Maluku secara resmi telah mengeluarkan peringatan dini terkait potensi banjir pesisir (rob) yang mengancam wilayah Maluku untuk periode 1–12 Desember 2025.
| Foto: Edison Waas |
Dari dua peristiwa ini, banjir yang sedang terjadi di Barat dan ancaman yang mengintai di Timur memiliki narasi yang serupa. Keduanya bukan semata-mata "bencana alam", melainkan manifestasi dari pola yang sama, yaitu kerentanan lingkungan bertemu dengan respons kebijakan yang lambat.
Sumatera saat ini sedang lumpuh. Curah hujan yang tinggi sejak akhir November dan rusaknya lahan memicu luapan sungai-sungai utama, merendam permukiman, dan memutus jalur logistik lintas provinsi. Namun, fakta yang lebih menyedihkan adalah banjir di titik-titik tersebut adalah kejadian berulang seolah sudah dijadwalkan setiap tahun.
Kondisi lapangan memperlihatkan ketidaksiapan pemerintah daerah. Respon yang muncul masih terpaku pada pola reaktif: mendirikan tenda pengungsian dan membagikan logistik setelah air naik. Tidak ada infrastruktur pengendali air yang memadai ataupun sistem drainase yang mampu menampung debit ekstrem, menandakan kesenjangan antara perencanaan mitigasi dan realitas lapangan.
Sementara itu, Maluku berada dalam fase krusial. Peringatan BMKG Maluku menyebutkan adanya fase pasang air laut maksimum akibat fenomena bulan baru yang bertepatan dengan curah hujan tinggi. Wilayah pesisir utara dan selatan Maluku kini berstatus “Siaga”.
Namun, ancaman banjir rob di Maluku menjadi berkali lipat lebih berbahaya karena faktor kerusakan ekologis. Mengacu pada berbagai laporan riset termasuk investigasi oleh IndoProgress, pesisir Maluku mengalami tekanan hebat akibat aktivitas investasi. Pembukaan lahan untuk tambang nikel dan pembangunan infrastruktur pendukung industri (smelter/pelabuhan khusus) yang telah membabat hutan mangrove yang selama ini menjadi benteng alami. Tanpa sabuk hijau ini, energi gelombang pasang akan menghantam langsung pemukiman warga tanpa hambatan.
Benang Merah
Terdapat korelasi langsung antara kedua wilayah ini: Kerusakan lingkungan yang dibiarkan + Pengawasan yang lemah = Bencana. Sumatera adalah bukti dampak nyata (realized risk) dari rumus tersebut, sementara Maluku adalah bom waktu yang sedang berdetak (potential risk).
Meski penyebab teknis seperti hujan dan pasang surut laut tidak bisa dihindari, banyak aturan yang dilanggar:
1. Tata Ruang yang “Luwes” di Zona Rawan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sering kali diubah atau dilanggar demi mengakomodasi pembangunan komersial di zona rawan bencana. Di Sumatera, daerah resapan air berubah menjadi beton. Di Maluku, zona sempadan pantai yang seharusnya terlarang bagi bangunan permanen justru dipadati infrastruktur industri.
2. Formalitas Izin Lingkungan (AMDAL)
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kerap kali hanya menjadi dokumen administratif pelengkap izin, bukan instrumen ilmiah pengendali dampak. Banyak proyek investasi berjalan tanpa kajian hidrologi yang mendalam, mengabaikan potensi perubahan bentang alam yang memicu banjir.
3. Kewajiban Mitigasi Tidak Dijalankan Optimal
Kewajiban pemerintah dalam UU Penanggulangan Bencana untuk melakukan mitigasi sering kali diabaikan. Peringatan dini sering berhenti di group WhatsApp pejabat tanpa tindak lanjut evaluasi mandiri atau simulasi bencana kepada warga yang terdampak langsung.
Dampak dari kelalaian ini harus dibayar mahal. Di Sumatera, kerugian tidak hanya berupa kerusakan fisik infrastruktur jalan dan jembatan, tetapi juga inflasi ekonomi akibat terhambatnya distribusi barang. Warga miskin adalah kelompok yang paling menderita karena kehilangan aset dan mata pencaharian.
Di Maluku, jika potensi banjir rob 1-12 Desember ini tidak diantisipasi, risikonya bukan hanya genangan air. Intrusi air laut akan merusak sumber air tawar, mempercepat korosi bangunan, dan dalam jangka panjang akan menyebabkan abrasi permanen yang menghilangkan tanah warga. Kita sedang menyaksikan proses penghilangan “ruang hidup” rakyat secara sistematis akibat kebijakan yang abai.
Penyebab Utama: Investasi di Atas Ekologi
Akar masalah dari kekacauan ini adalah paradigma pembangunan yang menempatkan investasi ekstraktif di atas daya dukung ekologi. Pemerintah daerah yang tergiur oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor tambang dan perkebunan, cenderung melonggarkan pengawasan.
Ada keengganan politik (lack of political will) untuk menindak perusahaan yang merusak lingkungan karena takut dianggap “anti-investasi”. Akibatnya, langkah preventif minim dilakukan. Peringatan BMKG dianggap angin lalu dan baru menjadi perhatian ketika korban jiwa sudah jatuh.
Hentikan “Business as Usual”
Negara tidak bisa terus-menerus “menyapu banjir” dengan bantuan sembako. Perlu langkah korektif bagi pemangku kebijakan:
1. Audit Investigatif Tata Ruang
Pemerintah pusat harus melakukan audit independen terhadap izin-izin pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan daerah aliran sungai. Cabut izin perusahaan yang terbukti menduduki zona konservasi atau resapan air.
2. Sistem Peringatan Dini yang Responsif
Ubah peringatan BMKG menjadi aksi nyata. Pemerintah daerah di Maluku harus segera menyiapkan jalur evakuasi dan tempat perlindungan sementara sebelum tanggal puncak pasang laut terjadi.
3. Rehabilitasi Ekologis Berbasis "Polluter Pays"
Bebankan biaya pemulihan ekosistem (reboisasi mangrove, normalisasi sungai) kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah terdampak. Jangan bebankan ini pada APBD semata.
4. Penegakan Hukum Lingkungan
Aparat penegak hukum harus berani memidana korporasi maupun pejabat yang memanipulasi AMDAL atau melanggar tata ruang yang menyebabkan bencana.
Banjir yang merendam Sumatera hari ini adalah kenyataan pahit yang tak bisa diubah. Namun, bagi Maluku, hari ini adalah peringatan terakhir. Kita hanya memiliki waktu sempit untuk bersiap. Kebijakan mitigasi dan tata kelola ruang harus diperbaiki detik ini juga. Jika tidak, pola yang sama akan terus berulang, dan kita hanya akan menjadi bangsa yang sibuk mengurusi bencana buatan kita sendiri.
Biodata Penulis:
Natania Stefi Graciela saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.