Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Survival Guide Wisata Gunungkidul: Hadapi Jalan Ekstrem, Toilet Rame, dan Penjual ‘Bakpia Anget’

Jangan lewatkan pesona pantai Gunungkidul! Nikmati panorama, aktivitas seru, dan budaya belanja oleh-oleh yang bikin liburan semakin lengkap.

Oleh Khansa Almasatul Jannah

Hampir setiap tahun saya berwisata ke Gunungkidul. Setidaknya sekali saya pasti menyempatkan diri. Entah mengapa, tujuan akhirnya hampir selalu sama. Ya, pantainya. Pantai Gunungkidul itu semacam magnet yang susah dijelaskan. Pantainya banyak. Pilihannya juga beragam. Mulai Parangtritis, Baron, Drini, Indrayanti, Mesra, sampai Watu Kodok yang namanya lucu itu.

Survival Guide Wisata Gunungkidul

Di tiap pantai, selalu ada penjual makanan. Menawarkan barang dagangan yang sebenarnya hampir sama. Yang berbeda biasanya harga dan cara mereka menawari. “Monggo, bakpianya masih anget,” begitu sapaan klasik yang akrab dan mematikan logika dompet. Tapi pengalaman di pantai bukan itu saja. Ada tiga hal yang selalu muncul tiap saya ke sana. Tiga hal yang bikin saya antara geleng-geleng dan ngakak capek sendiri.

Jalan Berkelok Nan Curam

Saya selalu naik bus pariwisata ke Gunungkidul. Perjalanan itu seperti naik wahana tapi tiketnya tidak bisa direfund. Jalurnya melewati hutan dan batuan karst yang kokoh. Indah, sebenarnya. Tapi keindahan itu sering diiringi keringat dingin yang menetes pelan. Terutama saat bus mulai menanjak di jalur yang sempit dan panjang.

Pengalaman paling menakutkan terjadi ketika bus kami macet di tanjakan. Mesin meraung, tapi roda seperti kehilangan harapan hidup. Tiba-tiba bus bergerak mundur. Hanya beberapa meter, tapi cukup membuat semua orang berteriak seperti peserta lomba karaoke yang fals. Saya sendiri langsung memejamkan mata. Sambil berdoa cepat-cepat. Jujur saja, rasanya jantung seperti berhenti sebentar.

Tikungan sempit datang silih berganti. Bus berpapasan dengan bus lain yang ukurannya sama-sama besar. Kanan-kiri hanya jurang yang tampak gelap. Jika malam tiba, situasinya makin seram. Banyak jalan gelap gulita tanpa penerangan. Hanya lampu kendaraan yang bekerja ekstra.

Kalau sudah macet panjang, saya sering turun sebentar. Ngopi di warung pinggir jalan sambil menunggu suasana longgar. Lalu saya selalu berpikir hal yang sama. “Bagaimana bisa bus sebesar ini lewat jalur seperti ini?” Tapi begitulah Gunungkidul. Jalannya ekstrem, tapi tetap dicintai wisatawan.

Kamar Mandi Sangat Banyak, tetapi Tetap Selalu Ramai

Setelah main air di pantai, kamar mandi jadi tujuan utama. Gunungkidul rajin membangun toilet. Jumlahnya banyak dan tersebar di banyak titik. Namun nyatanya, antreannya tetap panjang. Seperti antre sembako gratis yang diumumkan mendadak. Orang-orang membawa baju basah, handuk, dan sisa-sisa pasir di kaki.

Saya biasanya antre bersama keluarga. Bukan demi kekompakan. Lebih karena takut diserobot orang lain yang tiba-tiba muncul dari samping. Udara dingin dan tubuh basah bukan kombinasi ideal. Pernah saya hampir flu karena antre terlalu lama. Namun budaya antre kamar mandi itu selalu terjadi. Pantai ramai. Orang butuh mandi. Fasilitas banyak tapi tetap tidak cukup.

Seorang penjaga toilet pernah berkata sambil mengelap tangan. “Hari biasa saja rame begini, Mas. Apalagi liburan.” Saya cuma mengangguk. Tidak perlu penjelasan lebih panjang. Antrean panjang adalah bagian dari paket wisata Gunungkidul.

Rest Area Sama dengan Belanja Oleh-Oleh

Setelah bersih dan rapi, saya biasanya mampir ke rest area. Tempat itu bukan sekadar lokasi istirahat. Fungsinya lebih mendekati pasar yang ditaruh di pinggir pantai. Banyak penjual berjajar rapi dengan dagangan hampir sama. Keripik, ikan asin, gelang pantai, kaus, hingga bakpia.

Harga mereka beragam. Bahkan jika barangnya kembar identik. “Ya namanya penjual. Beda orang, beda rasa,” kata saya setiap kali kebingungan memilih toko. Tapi apa pun yang terjadi, rayuan bakpia selalu sukses menggoyahkan tekad saya. “Monggo bakpianya, Mbak. Masih anget.” Kalimat itu ampuh. Bahkan jika saya tidak berniat belanja apa pun.

Tawar-menawar adalah adegan wajib. Pembeli menawar rendah. Penjual memasang wajah kecut. Lalu semuanya berakhir damai. Terutama jika yang menawar adalah ibu-ibu. Mereka punya bakat alami dalam menawar tanpa tedeng aling-aling.

Bakpia tetap jadi oleh-oleh pilihan saya. Rasanya enak dan aman dibawa pulang. Apalagi untuk keluarga yang selalu bertanya, “Ngapain aja di sana?” Setidaknya bakpia bisa menjadi bukti bahwa saya tidak lupa identitas seorang wisatawan Jawa bagian selatan pulang harus bawa kotak makanan.

Pada Akhirnya, Saya Tetap Kembali ke Pantai

Meski banyak drama kecil, saya tetap menyukai pantai Gunungkidul. Hamparan ombaknya selalu menghibur. Anginnya mengusir penat dengan cara yang lembut. Saat berdiri di bibir pantai, saya merasa waktu melambat sedikit. Pemandangan itu membuat saya lupa pada tanjakan ekstrem dan antrean kamar mandi.

Saya sering enggan pulang ketika hari sudah sore. Namun rasa enggan itu justru membuat saya ingin kembali. Gunungkidul tidak pernah berubah drastis. Jalannya tetap membuat jantung naik turun. Toiletnya tetap penuh. Rest area-nya tetap menggoda. Tapi justru itu daya tariknya. Sejenis kekacauan kecil yang membuat wisata terasa hidup.

Saya yakin, saya akan kembali lagi. Mungkin tahun depan. Mungkin lebih cepat. Gunungkidul selalu punya cerita. Dan saya selalu ingin menjadi bagian dari ceritanya.

Biodata Penulis:

Khansa Almasatul Jannah saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.