Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Taqwa: Sistem Operasi Moral untuk Era Kecerdasan Buatan (AI)

Yuk jelajahi bagaimana kecerdasan buatan dan Taqwa bisa berjalan berdampingan, membentuk generasi digital yang cerdas, adil, dan berintegritas.

Oleh Azmi Zulfa Zahara

Bayangkan ini: Anda sedang mengerjakan tugas kuliah. Anda tidak perlu repot membaca puluhan jurnal. Cukup ketik perintah ke AI, dan dalam hitungan detik, esai yang rapi tersaji di depan mata. Fantastis, bukan?

Selamat datang di era Kecerdasan Buatan (AI), sebuah teknologi yang tidak hanya mengubah cara kita bekerja, tapi juga mendefinisikan ulang cara kita belajar dan berpikir. AI mampu meniru kreativitas, menganalisis data, bahkan memproduksi informasi dengan kecepatan super yang belum pernah ada sebelumnya.

Pertanyaannya, jika AI sudah sangat cerdas, lalu apa peran Pendidikan Agama Islam (PAI) di tengah badai digital ini?

Sistem Operasi Moral untuk Era Kecerdasan Buatan

PAI harus berperan sebagai penjaga gawang moral. Perang kita hari ini bukan lagi melawan kebodohan konvensional, melainkan melawan dilema etika yang sangat kompleks: Bias algoritma (ketidakadilan data), hilangnya orisinalitas (plagiarisme instan), hingga krisis identitas digital. Jika kecerdasan adalah kemampuan memproses data, maka kebijaksanaan digital (Digital Wisdom) adalah kemampuan memproses kebenaran dan kebaikan. Dan inilah saatnya kita melihat ke jantung ajaran Islam: Taqwa.

Taqwa, GPS Moral Otomatis di Era Digital

Selama ini, kita mungkin menganggap Taqwa hanya sebatas ritual dan rasa takut kepada Allah. Namun, dalam konteks digital yang serba cepat dan abu-abu, hasil penelitian kepustakaan menunjukkan bahwa Taqwa adalah sistem self-control dan kesadaran moral tertinggi bisa kita sebut "GPS Moral Otomatis" yang sangat relevan untuk menghadapi AI. Taqwa memastikan kita tetap berada di jalur kebaikan, bahkan ketika tidak ada orang lain yang melihat.

1. Taqwa sebagai De-Biasing Agent (Penangkal Ketidakadilan)

Salah satu bahaya terbesar AI adalah bias yang tersembunyi dalam algoritma. Data yang digunakan untuk "melatih" AI seringkali mencerminkan prasangka sosial, rasial, atau gender yang ada di dunia nyata. Akibatnya, AI bisa jadi mengambil keputusan yang diskriminatif dan tidak adil, memperburuk ketidaksetaraan yang sudah ada.

Konsep Taqwa menuntut individu untuk selalu bertindak adil (al-'adl) dan lurus (istiqamah) dalam setiap tindakan, termasuk saat berinteraksi dengan teknologi. Taqwa mengajarkan bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh data atau algoritma, melainkan oleh kemuliaan di sisi Allah. Pembelajaran PAI harus menanamkan kemampuan kritis pada remaja/mahasiswa untuk mengevaluasi dan menyikapi hasil AI yang mengandung potensi bias atau ketidakadilan, karena bertentangan dengan prinsip dasar Islam (Hasanuddin, 2022). Dengan Taqwa, kita punya filter keadilan yang aktif. Filter ini memungkinkan kita untuk bertanya: Apakah hasil AI ini sudah sesuai dengan nilai kemanusiaan dan keadilan, atau hanya merefleksikan data buruk dari masa lalu?

2. Taqwa sebagai Penjaga Orisinalitas (Anti-Plagiarisme Instan)

AI menghadirkan tantangan serius terhadap orisinalitas dalam berkarya. Mahasiswa/remaja cenderung memanfaatkan AI untuk menyelesaikan tugas secara instan. Kondisi ini berpotensi besar berisiko menurunkan kualitas daya nalar dan analisis, serta melemahkan integritas akademik mereka. Inilah yang oleh para ahli kognitif disebut Pelepasan Kognitif (Cognitive Offloading): ketika otak kita secara pasif menyerahkan proses berpikir dan pemecahan masalah yang rumit kepada mesin. Jika ini terus terjadi, otot-otot berpikir kritis kita akan melemah.

Taqwa berbanding lurus dengan kejujuran (al-sidq). Jika seseorang memiliki taqwa, ia akan merasa diawasi oleh Dzat Yang Maha Mengetahui, bahkan dalam ruang online yang serba anonim. Kesadaran ini menciptakan tanggung jawab moral digital yang lebih dalam. Hal ini tidak hanya tentang tidak menjiplak, tetapi juga tentang memenuhi Amanah (kepercayaan) untuk mengembangkan potensi diri secara maksimal.

Pembelajaran PAI harus mendorong seseorang untuk menggunakan AI sebagai co-pilot yang membantu, bukan sebagai driver yang mengambil alih kemudi kreativitas dan etos kerja mereka. Padahal, Islam menekankan prinsip Itqan yang berarti melakukan pekerjaan dengan mutu terbaik dan penuh ketelitian. Taqwa mendorong kita untuk berjuang mencapai kualitas itu, meski AI menawarkan jalan pintas yang mudah. Dalam konteks ini, PAI mengajarkan bahwa tugas manusia sebagai Khalifah di muka bumi memerlukan kreasi orisinal dan solusi yang otentik, bukan sekadar kompilasi data yang dihasilkan mesin.

3. Pandangan Kritis

Sebagai sebuah pandangan kritis, PAI tidak boleh terjebak pada aspek ibadah formal saja. PAI harus bermetamorfosis menjadi Pendidikan Etika Digital Terapan. Konsep Taqwa harus diajarkan bukan hanya secara teoretis, tetapi diimplementasikan melalui skenario nyata (simulasi kasus etika AI, seperti deepfake atau data privacy). Sebagai seorang peneliti, hal ini bukan hanya tugas kurikulum, tapi tugas peradaban. Jika kita gagal memberikan basis moral ini, kita hanya akan mencetak pengguna teknologi yang canggih secara skill namun kosong secara sense of purpose.

Bagi seseorang khususnya remaja saat ini, konsep identitas seringkali terpecah antara dunia nyata dan dunia maya. Taqwa berfungsi sebagai perekat identitas yang memastikan perilaku di dunia digital (virtual identity) sejalan dengan nilai-nilai akhlak yang diajarkan dalam Islam (Mustafa, 2021). Tanpa Taqwa, AI yang cerdas hanya akan menghasilkan generasi yang hebat dalam teknologi, tetapi kurang dalam kemanusiaan.

Transformasi Pembelajaran PAI

Kita harus menerima bahwa perubahan besar akibat AI pasti terjadi. Tugas utama PAI saat ini adalah memanusiakan teknologi. Pembelajaran PAI harus bergerak dari menghafal rukun Islam ke memprogram nurani dengan software Taqwa. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai Taqwa dalam kurikulum PAI, kita tidak hanya melahirkan individu yang takut pada dosa, tetapi melahirkan pionir digital yang mampu memanfaatkan kecerdasan buatan secara etis, adil, dan bertanggung jawab. Inilah kunci menuju Kebijaksanaan Digital yang sejati sebuah perpaduan antara kecerdasan buatan dan hati nurani yang tak tergantikan.

Daftar Pustaka:

  1. Al-Mubarak, M., & Sabiq, A. (2023). The Integration of Islamic Ethics (Taqwa) into Artificial Intelligence Curricula for Enhancing Digital Responsibility. Journal of Islamic Education and Technology.
  2. Floridi, L. (2019). Establishing the Rules for a Good AI Society. The Oxford Handbook of Ethics of AI. (Kutipan untuk dasar etika AI)
  3. Hasanuddin, D. (2022). PAI dan Isu Bias Algoritma: Kajian Filosofis Konsep Keadilan dalam Pembelajaran Akhlak Digital. Jurnal Pendidikan Islam Kontemporer.
  4. Mustafa, Z. (2021). Rethinking Islamic Education for the Digital Age: Taqwa as the Core of Digital Identity Formation. International Journal of Islamic Studies and Social Sciences.
  5. Syarif, H. (2020). From Obedience to Conscience: Recontextualizing Taqwa for Ethical Decision-Making in the Era of Automation. Islamic Ethics and Civilization Review.

Biodata Penulis:

Azmi Zulfa Zahara saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Pendidikan Agama Islam, di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.