Oleh Nuriyatin Fighya
Jika ada contoh terbaik tentang transformasi ruang yang berhasil, Tebing Breksi adalah kandidat kuatnya. Tempat ini dulunya hanyalah kawasan tambang batu kapur yang meninggalkan tebing-tebing besar. Setelah aktivitas tambang dihentikan, warga sekitar—bersama pemerintah—melakukan penataan yang akhirnya mengubahnya menjadi salah satu destinasi paling ramai di Jogja.
Yang membuat Tebing Breksi begitu menarik adalah karakter visualnya. Dinding-dinding tebing yang dipahat rapi menciptakan lanskap geologis yang unik. Saat matahari sore menyentuh permukaan batu, warna keemasan muncul dan menciptakan suasana yang ideal untuk berfoto. Tidak heran jika golden hour di Breksi menjadi rebutan fotografer dan pengunjung.
Namun Breksi bukan hanya soal foto. Transformasinya dari bekas tambang menjadi kawasan wisata adalah cerita tentang ekonomi kreatif lokal. Warga sekitar menjadi pengelola utama, membuka tempat makan, menyewakan jeep, hingga membuat atraksi seni. Pendapatan desa meningkat signifikan. Ini bukti bahwa ruang rusak pun bisa hidup kembali jika komunitas diberdayakan.
Meski demikian, ada tantangan yang harus terus diperhatikan: tekanan wisata yang sangat tinggi. Pada hari libur, jumlah pengunjung bisa membludak. Potensi kerusakan jalur, sampah, serta keausan tebing perlu diantisipasi. Pengelola mulai membuat pembatasan area dan jalur khusus agar struktur tebing tetap aman.
Tebing Breksi adalah representasi sempurna tentang bagaimana tempat buatan manusia pun bisa menjadi destinasi alam-kultural yang menarik. Ia bukan sekadar “spot foto viral”, tetapi simbol bahwa ruang publik bisa lahir dari ruang yang sebelumnya tidak dianggap bernilai.
Biodata Penulis:
Nuriyatin Fighya saat ini aktif sebagai mahasiswa dan bisa disapa di Instagram @n.fghyaa