Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Telaga Claket: Oase Kecil di Boyolali yang Diam-Diam Jadi Favorit Pemburu Foto Natural

Yuk menepi sejenak ke Telaga Claket di Selo, Boyolali—tempat sunyi yang menawarkan alam apa adanya dan ketenangan tanpa gimmick.

Oleh Nuriyatin Fighya

Boyolali punya banyak tempat alam yang sering luput dari liputan media maupun katalog wisata resmi. Salah satu yang kini naik daun secara perlahan adalah Telaga Claket, sebuah cekungan air tenang yang tersembunyi di antara perbukitan Desa Claket, Selo. Ia bukan destinasi yang “wah”—tidak ada pintu masuk besar, tidak ada dekorasi kekinian, bahkan akses jalannya pun masih sederhana. Tapi justru karena kesederhanaan itu, telaga kecil ini memikat para pencari suasana natural, terutama pemburu foto lanskap yang sedang bosan dengan tempat Instagramable yang serba buatan.

Telaga Claket

Hal pertama yang terasa begitu tiba di Telaga Claket adalah keheningan. Tidak seperti telaga yang dikelola secara komersial, tempat ini memberi ruang bagi pengunjung untuk benar-benar mendengar suara angin dan burung. Airnya tenang, memantulkan bukit dan pepohonan seperti cermin raksasa. Banyak fotografer datang pagi sekali untuk mengejar kabut tipis yang menggantung di permukaan air, menciptakan suasana dramatis yang sulit ditemukan di tempat lain.

Tetapi keindahan alam biasanya datang beriringan dengan tantangan konservasi. Telaga Claket menghadapi isu klasik: tekanan wisata. Kunjungan yang meningkat membawa risiko sampah, erosi jalan, hingga potensi kerusakan vegetasi di sekitar telaga. Beruntung, komunitas pemuda desa mulai mengambil peran. Mereka membuat jalur masuk yang lebih jelas, memberi imbauan tentang larangan membuang sampah, sampai merencanakan pengelolaan berbasis desa. Telaga ini punya potensi menjadi destinasi yang tertata, tetapi tetap natural.

Pada sisi lain, Claket sebenarnya menyimpan nilai ekologis penting. Telaga seperti ini biasanya terbentuk dari cekungan alami yang menampung air hujan dan mata air kecil di sekitarnya. Keberadaannya membantu menjaga kelembaban tanah, menyediakan habitat bagi biota air, dan menjadi penyangga lingkungan bagi desa. Dalam konteks perubahan iklim—yang mulai membuat musim kemarau lebih panjang—telaga kecil seperti Claket memiliki fungsi strategis sebagai reservoir alami. Inilah bagian yang jarang disadari para pengunjung.

Dari sudut pandang wisata, Telaga Claket juga menawarkan alternatif healing yang tidak dipaksakan. Kita tidak menemukan spot foto berbentuk hati, lampu-lampu dekoratif, atau wahana swafoto dari kayu. Justru tempat ini lebih cocok untuk mereka yang ingin menepi sejenak dari riuh kota, atau untuk pasangan yang ingin piknik sederhana tanpa harus antre spot foto. Semakin banyak orang merasa lelah dengan wisata penuh gimmick, semakin relevan keberadaan tempat seperti Claket.

Tentu, bukan berarti telaga ini harus anti-perubahan. Pengelolaan yang tepat tetap perlu dilakukan agar lingkungan dan kenyamanan warga terjaga. Tetapi arah pengembangannya dapat mengikuti prinsip “low-impact tourism”: wisata yang tidak merusak alam, meminimalkan fasilitas permanen, dan memberi ruang besar bagi warga sebagai pengelola utama. Dengan model semacam ini, Telaga Claket bisa tumbuh tanpa kehilangan identitasnya sebagai oase alami.

Pada akhirnya, magnet Telaga Claket bukan pada kehebohan visual, melainkan pada kemampuan tempat ini membuat kita berhenti sejenak—mendengarkan alam, mengatur napas, dan merasakan kembali ritme kehidupan yang pelan. Di tengah budaya wisata yang semakin serba cepat, telaga kecil ini mengingatkan bahwa alam tidak perlu dimodifikasi besar-besaran untuk membuat orang terpikat. Ia cukup menjadi dirinya sendiri.

Biodata Penulis:

Nuriyatin Fighya saat ini aktif sebagai mahasiswa dan bisa disapa di Instagram @n.fghyaa

© Sepenuhnya. All rights reserved.