Oleh Avira Flora Astia Zuliana
Dulu, bawa bekal nasi tiwul ke sekolah langsung diejek teman, “ihhhh, panganan wong ndeso”, kata mereka sambil tertawa. Sekarang nasi tiwul menjadi terkenal, banyak orang antre hanya untuk mencicipi kelezatan nasi tiwul. Banyak resto yang mulai menjual “nasi tiwul premium” seharga tiga puluh ribu seporsi. Dunia memang berputar, dulu tiwul dianggap makanan orang desa dan buat malu, sekarang tiwul sering dicari sudah seperti mutiara Wonogiri.
Awal Kemunculan Tiwul
Tiwul adalah makanan sederhana tetapi penuh makna dan cerita. Nasi tiwul terbuat dari gaplek, singkong kering yang ditumbuk halus, lalu dibentuk bulat kecil, dan dikukus. Masyarakat Wonogiri menyebutnya “penyelamat saat paceklik”. Dulu harga beras mahal, dari situ muncul solusi. Dari dapur banbu beralas tanah, uap tiwul jadi aroma harapan.
Wonogiri dikenal sebagai Kota Gaplek. Julukan ini bukan ejekan, melainkan pengakuan dari sejarah. Pada masa kolonial hingga tahun 1970-an, gaplek atau singkong kering menjadi sumber pangan utama masyarakat Wonogiri. Dalam Jurnal Sejarah dan Budaya (2020), disebutkan bahwa penduduk Wonogiri bertahan hidup dengan gaplek saat harga beras melambung ke langit. Tiwul jadi simbol adaptasi terhadap keadaan ekonomi.
Dianggap Sebelah Mata
Namun, citra tiwul tak selezat rasanya. Di mata sebagian orang, tiwul identik dengan “wong mlarat”. Tiwul juga dianggap “ndeso”, tak pantas disajikan untuk masyarakat kalangan atas. Banyak anak muda dulu ragu mengaku kalau keluarganya masih makan nasi tiwul. Padahal di balik butiran tiwul, tersimpan cerita rakyat kecil, ketahanan, dan kemandirian yang tak dimiliki nasi putih.
Berputar waktu, kini tiwul tampil dengan wajah baru. Di restoran kita bisa menemui menu seperti “nasi goreng tiwul” atau “nasi campur tiwul” dan berbagai olahan tiwul lainnya. Lucunya, makanan yang dianggap kuno kini masuk daftar food blogger dengan caption: “kuliner lokal aesthetic dan sehat.”
Fenomena ini menunjukkan perubahan cara pandang terhadap tradisi. Generasi muda mulai sadar bahwa makanan bukan sekedar urusan perut, tetapi juga identitas bangsa. Ketika makanan tradisioanal dikemas ulang dengan tampilan modern, nilainya naik. Menurut data Dinas Pariwisata Wonogiri (2023), penjualan produk olahan tiwul meningkat 40% dalam tiga tahun terakhir. Artinya peminat makanan lokal mulai tumbuh kembali.
Kesenangan atau Kesengsaraan?
Namun, dibalik terkenalnya makanan lokal, ada renungan yang patut dipertimbangkan. Mengapa kita baru bangga setelah tiwul dibungkus gaya modern? Mengapa rasa hormat tradisi harus menunggu validasi?. Tiwul sudah indah sejak lama, mulai dari kesederhanaan, nilai gizi, dan lahir dari kerja keras tangan ibu-ibu desa.
Bagi masyarakat lokal Wonogiri, tiwul bukan sekedar makanan. Tiwul adalah kenangan, simbol kesederhanaan, dan bentuk cinta pada tanah sendiri. Balam tiap kukusan tiwul, ada cerita orang tua yang pantang menyerah menghadapi masa paceklik. Ada pelajaran bahwa ketahanan pangan dimulai dari menghargai apa yang tumbuh di tanah milik sendiri, bukan dari impor beras yang datang entah dari mana.
Orang tua dulu sering mengatakan “Mangan ora mangan sing penting syukur.” Kalimat itu terasa sederhana, tapi sejalan dengan filosofi tiwul. Bahwa hidup tak selalu mewah, tapi harus disyukuri dan dihargai. Tiwul mengajarkan menerima hidup apa adanya, tanpa kehilangan harga diri.
Tiwul Patut Dicari
Kini, ketika dunia sibuk mencari makanan sehat dan rendah gula, tiwul kembali dicari. Kandungan seratnya yang tinggi dan indeks glikemik yang rendah, menjadikan alternatif bagi penderita diabetes. Bahkan menurut penelitian Universitas Sebelas Maret (2020), tiwul berpotensi sebagai pangan fungsional lokal. Makanan yang dulu dicibir sebagai “pengganti beras orang miskin” justru terbukti lebih sehat.
Mungkin inilah karma baik bagi makanan sederhana. Tiwul tak butuh perawatan mahal untuk tetap sesuai perkembangan zaman. Tiwul bertahan karena kejujuran, seperti masyarakat Wonogiri yang tetap memelihara tradisi tanpa kehilangan arah.
Sekarang, setiap melihat tiwul di restoran, saya tersenyum kecil. Bukan karena senang tiwul menjadi trend, tapi karena akhirnya banyak orang mulai melihat nilai di balik kesederhanaan. Nasi putih boleh lebih populer, tapi tiwul punya cerita yang lebih dalam tentang daya juang, bertahan, rasa syukur, dan kebanggaan yang tak pernah tergantikan.
Wajib Dicoba!
Jadi, kalau suatu hari kamu ke Wonogiri dan disuguhi tiwul, jangan buru-buru menolak. Duduklah, hirup aromanya, lalu makan perlahan. Di setiap suapannya, ada sejarah panjang yang tak diajarkan di sekolah. Ada kisah tentang bagaimana orang-orang sederhana bertahan, mencintai tanah mereka, dan mengubah keterbatasan menjadi suatu berlian.
Tiwul mungkin lahir dari kesulitan, tapi tiwul tumbuh menjadi simbol kekuatan. Tiwul bukti bahwa yang sederhana tak selalu rendah, dan yang ndeso belum tentu kalah bermartabat. Tak perlu malu makan tiwul, karena di dalamnya ada sejarah, kerja keras, dan rasa syukur yang tak bisa digantikan nasi putih. Lagipula, tidak semua yang coklat itu murahan terkadang justru di sanalah letak indentitas dan rasa asli Indonesia.
Biodata Penulis:
Avira Flora Astia Zuliana saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.