Pada halaman ini kami akan menghimpun Puisi Bertema Corona atau Virus Covid-19 yang ditulis beberapa tahun ini oleh beberapa Penyair. Berikut beberapa contoh di antaranya:
Wabah - Gunoto Saparie
bintang kemukus di langit sepi
menggelisahkan hati saat dini hari
di tengah wabah aku tersaruk pada tepi
seribu ayat dan sejuta puisi tak berarti
selalu ada yang berangkat tiap hari
dan tak pernah mereka kembali
cinta ternyata hanya seakan abadi
selalu ada yang terhempas dalam sunyi
siapakah yang menulis namaku di pintu?
siapakah yang membisikkan inisialku di telinga?
pada panggilan terakhir di lepas subuh itu
Engkau pun menagih tanpa kata-kata begitu saja
Puisi Singkat 3 Bait tersebut di atas sedikit tidaknya telah mengisahkan kegelisahan penyair tentang pandemi ini.
Berkah Covidologi - Eka Budianta
Covid-19 membuatmu sadar
Satu kali makan di restoran
Cukup untuk sepekan hidup di desa
Dan bikin kita mengerti
Nelayan, peternak dan petani
Harus tetap bekerja di luar
Agar yang tinggal dalam rumah
Tetap makan sate dan gulai ikan
Minum susu, menikmati nasi
Mengunyah roti gandum yang gurih
Tidak takut lapar dan sedih.
Tuhan memberi kita nafas
Melalui virus corona
Sehingga kamu dan aku
Bersaudara dengan manusia
Di seluruh dunia
Insyaf, meriam dan bom
Taktik perang dan tipu-daya
Bukan kebanggaan, bukan prestasi segala bangsa.
Puisi Eka Budianta juga menghadirkan kegelisahan terhadap Corona, namun Eka Budianta tetap mencoba bersikap positif.
Covid-19: Sajak Terakhir Sebelum Punah - Aslan Abidin
di bawah langit murung musim penghujan, kami
diburu gerombolan pembunuh tak terlihat. mereka menyusup dari
negeri jauh, seperti tikus dan agama. mewabah menjangkit
memasuki mata, hidung, dan mulut.
mereka memangsa tenggorok dan paru-paru, hingga kami tak
bisa bernafas dan mati. kami terkepung, meringkuk
kecut dalam kota tertutup dan sepi. hanya sekelompok agamawan
tolol penyebar agama dan wabah, berteriak pongah di jalanan:
"jangan takut virus corona, takutlah hanya
kepada tuhan!" sampai tenggorok dan paru-paru mereka
dilahap dan mati konyol. maut – yang seringkali berbuat
serampangan, kadang terasa memilih korban dengan tepat.
kami dikejar pembunuh tak kasat mata. hanya jejaknya yang dapat
kami kenali, kuburan memanjang melingkari bumi, membuat
kami bergidik ngeri. orang-orang berpapasan berpenuh curiga,
saling tatap waswas sebagai makhluk berbahaya.
mungkin dia telah terjangkit – dan dari mata, hidung,
serta mulutnya, pembunuh itu bersiap menerjang
menerkam. kami telah menutup diri, mengunci rapat
pintu dan jendela, tetapi terasa mereka terus berdesir mendekat.
kami diburu komplotan pembunuh tak terlihat.
mereka membentangkan daftar panjang kematian – membuat
kami gemetar mengeja nama-nama asing sampai
orang-orang yang kami kenali.
di depan angka-angka kosong berikutnya, yang menganga
bagai liang lahat itu — kau tercekat bertanya: "akankah juga
tertera namaku?" — ya, kau sedang di ujung ajal. pembunuh itu
tanpa rasa bersalah. kebenarannya adalah kematianmu.
lalu di atas kubur mayat-mayat kita, tumbuh subur
rumput hijau, meliuk disentuh kupu-kupu dan desir
angin, kicau burung serta sinar cerah matahari. bumi betapa
indah – setelah monster teramat buas itu punah, manusia.
Puisi yang agak sedikit panjang yang ditulis oleh Aslan Abidin sepertinya telah mengupas habis tentang apa dan bagaimana Corona telah mengacaukan suasana negeri.