Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kumpulan Puisi Karya Acep Syahril

Dalam peta sastra Indonesia, banyak penyair yang namanya dikenal karena karya-karyanya terbit di media nasional, buku, atau tampil di panggung-panggung terbatas. Namun, Acep Syahril hadir dengan cara berbeda. Lahir di Kuningan, Jawa Barat, 25 November 1963, ia memilih jalan kepenyairan yang membumi: membacakan puisi langsung di tengah masyarakat, di pasar, di sekolah, di alun-alun, bahkan di ruang-ruang publik yang jauh dari atmosfer “sastra elite”. Sejak 1982, ia mendekatkan puisinya kepada rakyat dengan cara yang unik—ia bersedia membacakan puisinya di mana saja, kecuali di pemakaman saat upacara pemakaman dan di dalam pesawat terbang.

Acep Syahril

Langkah ini menunjukkan keberanian sekaligus keyakinan bahwa puisi bukanlah milik ruang eksklusif, melainkan milik semua orang. Dengan itu, Acep Syahril seakan ingin menghapus jarak antara dunia sastra dan denyut kehidupan masyarakat sehari-hari.

Membawa Puisi ke Jalan Raya

Jika kebanyakan penyair menunggu audiens datang ke panggung sastra, Acep Syahril justru membawa puisinya ke tengah masyarakat. Inilah terobosan penting: puisi tidak lagi sekadar teks di buku atau media, melainkan suara hidup yang menyapa langsung orang-orang. Membacakan puisi di ruang publik berarti mempertaruhkan interaksi spontan, karena audiensnya bukan hanya mereka yang memang “siap” mendengar sastra, melainkan siapa pun yang kebetulan berada di tempat itu.

Bentuk keberanian ini jarang dimiliki penyair lain. Sebab, membacakan puisi di ruang publik berarti siap berhadapan dengan sikap acuh, reaksi spontan, bahkan cibiran. Namun, justru di situlah letak keistimewaannya: Acep Syahril menunjukkan bahwa puisi bisa tetap hidup di tengah hiruk-pikuk masyarakat.

Karya: Dari Kritik Sosial hingga Cermin Kehidupan

Kumpulan Puisi Tunggal

  1. Ketika Indonesia Berlari (1995)
  2. Negri Yatim (2009)

Antologi Puisi Bersama

  1. Riak-Riak Batanghari (1988)
  2. Serambi 1, 2, 3 (1991-1994)
  3. Dua Arus (Bohemian)
  4. Orbit Poros (1992)
  5. Perjalanan 3 Penyair (1993)
  6. Jejak: Penyair se-Sumatera (1993)
  7. Rendezvous (1993)
  8. Percik Pesona 2 (1994)
  9. Muaro: Antologi Puisi Penyair Jambi (1995)
  10. Kelopak (1997)
  11. Zamrud khatulistiwa: Antologi Gurit Nusantara? (1997)
  12. Dari Bumi Lada (1996)
  13. Mimbar: Juru Gurit Abad 21 (1996)
  14. Bumi Minyak (2003)
  15. Tanah Pilih (2008)
  16. Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009)
  17. Rumpun Kita: Antologi Puisi Khas Sampena (2009)
  18. Akulah Musi: Antologi Pertemuan Penyair Nusantara V (2011)
  19. Antologi Puisi Indonesia EQUATOR (2011); Dalam tiga basa: Indonesia, Inggris, dan Jerman. Memuat 216 gurit bersama 108 juru gurit dari seluruh Indonesia.
  20. Senja Di Batas Kata: Antologi Puisi Penyair Nusantara Raya (2011)
  21. Antologi Puisi SINAR SIDDIQ (2012)
  22. Requiem bagi ROCKER, Seri Dokumentasi Sastra Antologi Puisi Pendhapa 14 (2012); 128 Penyair Indonesia.
  23. Sauk Seloko: Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI (2012)
  24. Dan lain sebagainya.

Buku Umum

  1. Keranjang Air Mata: Kumpulan Surat-Surat TKW Indramayu (2009)
  2. TUMBUH: Apresiasi Puisi Karya Pelajar (2011)
  3. Esai-Esai Budaya Dari Kota Mangga (2012)

Karya-karya Acep Syahril banyak berbicara tentang Indonesia, tentang luka-luka sosial, juga tentang kegetiran yang sering terlupakan. Dalam kumpulan puisi tunggal Ketika Indonesia Berlari (1995) dan Negeri Yatim (2009), ia menyoroti kondisi bangsa dengan bahasa yang sederhana tetapi menghunjam. Puisinya mengandung kritik, kepedulian, dan juga harapan.

Ia bukan tipe penyair yang bermain dengan kata-kata rumit. Puisinya lugas, jernih, dan mudah dicerna. Namun di balik kesederhanaannya, ada kedalaman makna. Ia tahu betul bahwa audiensnya adalah masyarakat luas, sehingga ia memilih gaya tutur yang komunikatif tanpa kehilangan daya puitik.

Selain menulis puisi, Acep juga produktif dalam menulis buku umum seperti Keranjang Air Mata: Kumpulan Surat-Surat TKW Indramayu (2009). Buku ini menyuarakan suara-suara buruh migran—suatu tema yang jarang disentuh penyair pada masanya. Ia tidak hanya menjadi penyair yang berjarak, tetapi juga pengarsip penderitaan dan kerinduan kaum pinggiran.

Karya lain seperti TUMBUH: Apresiasi Puisi Karya Pelajar (2011) dan Esai-Esai Budaya dari Kota Mangga (2012) menunjukkan konsistensinya untuk tidak hanya berkarya, tetapi juga mendidik generasi baru serta merawat kebudayaan lokal.

Guru Sastra yang Membekali Generasi Muda

Peran Acep Syahril tidak berhenti pada panggung pembacaan puisi. Ia juga mengajar ekstrakurikuler sastra dan jurnalistik di SMP dan SMA di Indramayu serta di berbagai kota lain. Dalam peran ini, ia tidak hanya menjadi penyair, melainkan juga pembimbing yang melahirkan generasi baru penulis.

Mengajar ekstrakurikuler sastra artinya membangun ruang apresiasi di kalangan remaja. Di tengah derasnya arus globalisasi, langkah ini penting untuk menjaga agar tradisi membaca dan menulis tidak hilang. Dalam hal ini, Acep Syahril seperti petani yang menanam benih literasi di tanah yang barangkali kering, tetapi dengan kesabaran ia terus menumbuhkannya.

Peran di Dunia Pers dan Kebudayaan

Selain mengajar, Acep juga aktif di media massa. Ia memimpin seksi pendidikan, sastra, dan budaya di SKU Sinar Pagi. Posisi ini menegaskan bahwa kepeduliannya bukan hanya pada sastra sebagai seni, tetapi juga sebagai media pendidikan publik. Dengan menulis esai-esai budaya dan artikel di surat kabar, ia menghubungkan dunia sastra dengan isu-isu kehidupan nyata masyarakat.

Hal ini memperlihatkan Acep sebagai sosok yang tidak membiarkan puisinya hidup sendirian di menara gading. Ia mengawinkan puisi dengan realitas sosial, membiarkannya berdialog dengan problem kemiskinan, buruh migran, pendidikan, bahkan budaya lokal.

Acep Syahril dan Demokratisasi Puisi

Jika harus dirumuskan, kontribusi terbesar Acep Syahril adalah pada upaya demokratisasi puisi. Ia menjadikan puisi sebagai milik bersama, bukan hanya milik segelintir kalangan intelektual. Ketika ia membacakan puisi di pasar, di jalan raya, atau di sekolah-sekolah, ia sedang menegaskan bahwa sastra adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.

Demokratisasi ini juga terlihat dari cara ia merangkul para pelajar dan masyarakat dalam setiap aktivitasnya. Ia tidak menganggap puisi sebagai sesuatu yang sakral dan harus dijaga jaraknya, melainkan sesuatu yang bisa menyatu dengan denyut nadi rakyat.

Menjaga Nyala di Tengah Arus Zaman

Acep Syahril adalah bukti bahwa seorang penyair bisa tetap relevan dengan masyarakat luas tanpa harus kehilangan identitasnya. Ia hadir bukan hanya sebagai penulis yang produktif, tetapi juga sebagai penggerak yang menghidupkan sastra di ruang publik.

Di tengah era digital hari ini, ketika sastra sering dianggap kalah pamor dibanding hiburan instan, warisan semangat Acep terasa penting. Ia menunjukkan bahwa puisi masih bisa berdiri tegak, asal kita mau membawanya kembali ke tengah masyarakat, menghidupkannya bukan hanya di halaman buku, tetapi juga di jalanan, di sekolah, bahkan di ruang-ruang paling sederhana tempat manusia berkumpul.

Penyair yang Tidak Membatasi Dirinya

Acep Syahril adalah penyair yang menolak terkungkung oleh batas-batas formal sastra. Ia menolak puisi hanya berdiam diri di lembar buku atau panggung eksklusif. Ia memilih jalan panjang, melelahkan, tetapi mulia: menjadikan puisi sebagai suara hidup yang menyalami siapa saja.

Melalui karya-karyanya, kegiatan literasi, dan kehadirannya di ruang publik, ia telah membangun jembatan antara dunia sastra dan masyarakat. Dalam diri Acep Syahril, kita melihat sosok penyair yang tidak hanya menulis kata-kata, tetapi juga menulis kehidupan.

Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi Karya Acep Syahril untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.

    Kumpulan Puisi Karya Acep Syahril

© Sepenuhnya. All rights reserved.