Dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern, nama A.D. Donggo mungkin tidak sepopuler Chairil Anwar atau Pramoedya Ananta Toer, tetapi jejak yang ditinggalkannya begitu khas dan penting untuk dibicarakan. Lahir pada 21 Desember 1931 di Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dari keluarga petani, A.D. Donggo berhasil membuktikan bahwa suara dari daerah—yang sering dianggap pinggiran—mampu masuk dan memberi warna pada wacana sastra nasional. Dari tangan dan pikirannya lahirlah puisi, cerpen, esai, kritik, hingga sandiwara radio yang tak hanya merekam zamannya, tetapi juga memperlihatkan keutuhan visi seorang intelektual yang berangkat dari akar budaya lokal.
Dari Bima ke Pusat Sastra Indonesia
Kariernya dimulai sejak tahun 1950-an, ketika ia mulai menulis dan menyebarkan karya ke berbagai media. Perjalanan panjangnya sebagai jurnalis dan redaktur memperlihatkan betapa ia bukan sekadar penyair, tetapi juga penjaga denyut intelektual bangsa. Ia pernah menjadi korektor dan redaktur Mimbar Indonesia (1952–1961), lalu melanjutkan kiprahnya di Suluh Indonesia, Warta Dunia, ElBahar, Harian Empat Lima, hingga majalah Matahari. Jejaknya ini penting karena memperlihatkan bahwa A.D. Donggo menempatkan diri di titik perlintasan: antara dunia kesusastraan dan dunia jurnalistik, antara ruang estetik dan ruang publik.
Dalam konteks itu, karya-karya A.D. Donggo tidak bisa dipandang hanya sebagai ekspresi pribadi, melainkan juga catatan sosial-politik yang hidup. Ia menyaksikan masa demokrasi liberal, terpaan Orde Lama, hingga kebekuan Orde Baru. Sebagai redaktur, ia tentu bersentuhan langsung dengan gagasan, konflik ideologis, dan denyut politik yang bergejolak di negeri ini.
Karya-Karya yang Berlapis Waktu
- Wangi Tanah Nusantara (novel, 1963)
- Di Persimpangan Jalan (novel, 1982)
- Hilang Menjelang Fajar (drama radio, 1987)
- Ketika Kubur Itu Selesai Digali (novel, 1993)
- Perjalanan Berdua (puisi, bersama M. Poppy Hutagalung, 1999)
- Batas yang Kian Memanjang (novel, 2001)
- Antara Masa Lalu dan Tali Leher (cerpen, 2005)
- Teguh Anak Jadah (novel, 2005)
- Aku Seorang Pelacur (novel pendek, 2005)
- Kemerdekaan Dimulai dari Lidah (novel, 2008)
Bila menelusuri daftar karya A.D. Donggo, kita menemukan betapa kaya sekaligus beragam ekspresinya. Novel “Wangi Tanah Nusantara” (1963), misalnya, memuat semangat kebangsaan yang khas era pasca-kemerdekaan. Novel “Di Persimpangan Jalan” (1982) bahkan dijadikan bacaan sekolah, menandakan pengakuan bahwa karya A.D. Donggo relevan dengan pembentukan karakter generasi muda.
Karyanya yang lain, seperti “Hilang Menjelang Fajar” (drama radio, 1987), memperlihatkan bahwa ia tak hanya piawai menulis prosa, tetapi juga mampu mengolah medium suara menjadi ruang dramatik yang menyentuh khalayak luas. Puisi-puisinya—misalnya dalam kumpulan “Perjalanan Berdua” (1999, bersama M. Poppy Hutagalung)—memperlihatkan sisi lirisme yang berpadu dengan kesadaran sosial.
Novel-novel berikutnya seperti “Ketika Kubur Itu Selesai Digali” (1993), “Batas yang Kian Memanjang” (2001), atau “Kemerdekaan Dimulai dari Lidah” (2008), memperlihatkan ketajaman A.D. Donggo dalam melihat perubahan sosial. Judul-judul itu saja sudah menunjukkan keberaniannya: menyinggung kemerdekaan, menyoal batas, bahkan mengangkat kisah seorang pelacur dalam “Aku Seorang Pelacur” (2005). Ia seperti tidak pernah takut mengganggu kenyamanan pembaca, sebab baginya sastra adalah medium untuk bicara terus terang.
Suara Pinggiran yang Menjadi Pusat
Sebagai anak petani dari Bima, kiprah A.D. Donggo memberi pesan kuat: sastra Indonesia tidak hanya lahir di pusat-pusat kota Jawa. Suaranya mewakili suara daerah, suara marjinal, yang sering terpinggirkan dari wacana besar sastra nasional. Justru di situlah letak pentingnya A.D. Donggo—ia menjadi jembatan yang menghadirkan Nusa Tenggara Barat dalam peta sastra Indonesia.
Kita bisa melihat semangat itu misalnya dalam bagaimana ia menulis tentang tanah, masyarakat kecil, hingga pergulatan moral manusia. Kehidupan orang kecil dan suara lokal mendapatkan tempat dalam puisinya, dalam cerpen-cerpennya, dan dalam novel-novelnya. Ia membuktikan bahwa sastra Indonesia tidak tunggal, melainkan jamak, penuh dialek, penuh perspektif yang berbeda.
Warisan yang Terlupakan
Sayangnya, meski produktif dan memiliki karya yang beragam, A.D. Donggo tidak sepopuler sastrawan lain. Inilah yang patut kita kritisi. Apakah karena ia berasal dari daerah, sehingga tidak masuk radar kritik sastra arus utama yang banyak berpusat di Jawa? Ataukah karena karyanya lebih sering tersebar di media cetak ketimbang dibukukan secara masif?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting, sebab sastra Indonesia sering kali “lupa” pada tokoh yang berasal dari luar pusat. Padahal, justru dari orang-orang seperti A.D. Donggo, kita mendapatkan perspektif lain tentang Indonesia. Ia menulis dari Bima, dari pinggiran, tetapi suaranya punya daya jangkau nasional.
Mengapa Kita Harus Membaca Kembali A.D. Donggo
Membaca A.D. Donggo berarti membaca sejarah panjang bangsa ini dari perspektif seorang sastrawan yang juga jurnalis. Ia menyaksikan dan merekam zamannya dengan berbagai medium. Dari puisi, kita melihat lirisme sosialnya. Dari novel, kita membaca pergulatan manusia Indonesia di tengah perubahan sosial-politik. Dari sandiwara radio, kita menemukan jejak kesenian rakyat yang pernah populer.
Lebih dari itu, membaca A.D. Donggo adalah membaca kembali identitas kita sebagai bangsa yang majemuk. Ia membawa suara Bima, membawa aroma tanah Nusantara, membawa cerita-cerita tentang persimpangan jalan yang tidak hanya dialami tokoh-tokohnya, tetapi juga bangsa ini.
A.D. Donggo adalah satu dari sekian sastrawan yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih besar dalam sejarah sastra Indonesia. Ia produktif, beragam, dan konsisten, meski berasal dari latar belakang sederhana. Dari Bima, ia menulis tentang Indonesia. Dari dunia jurnalistik, ia menyambungkan sastra dengan realitas. Dari puisi hingga novel, ia merajut wacana yang melintasi generasi.
Sudah saatnya kita membaca ulang A.D. Donggo, bukan hanya untuk memberi penghargaan, tetapi juga untuk memperkaya pemahaman kita tentang betapa luas dan pluralnya sastra Indonesia. Sebab melalui suaranya, kita tahu bahwa Indonesia tidak hanya ditulis dari pusat, tetapi juga dari pinggiran yang sesungguhnya menyimpan inti kehidupan bangsa ini.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya A.D. Donggo untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.