Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kumpulan Puisi karya Aoh K. Hadimadja

Dalam sejarah sastra Indonesia, nama Aoh K. Hadimadja—kadang dieja Aoh Karta Hadimadja atau A.K. Hadimaja—mungkin tidak sepopuler Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, atau Sutan Takdir Alisjahbana. Namun, di balik ketenangannya, karya-karya Aoh menyimpan getar spiritual, ketekunan intelektual, dan semangat keterasingan yang justru menjadi identitas khasnya. Lahir di Bandung pada 15 September 1911, dan wafat pada 17 Maret 1973, Aoh tidak sekadar menjadi saksi zaman; ia adalah penafsirnya, dengan pena sebagai senjata dan puisi sebagai napasnya.

Kehidupan yang Mengembara, Menulis yang Mengakar

Menarik untuk disimak bahwa kehidupan Aoh nyaris seperti sajak panjang yang tak selesai ditulis. Dibesarkan sebagai anak patih, ia memiliki akses pendidikan ke sekolah Belanda, meski hanya tamat MULO. Namun, keterbatasan formal itu tidak menjadi tembok penghalang. Ketekunannya membaca—terutama saat masa pemulihan di Sanatorium Cisarua—menjadi titik balik dalam hidupnya. Di sana, sakit fisik disublimasi menjadi kekuatan batin, dan kebosanan dilawan dengan membuka lembaran demi lembaran buku sastra dan agama. Tidak berlebihan jika dikatakan, sanatorium itu melahirkan seorang penyair yang peka terhadap spiritualitas dan eksistensi manusia.

Aoh K. Hadimadja

Dalam perjalanan hidupnya, Aoh berpindah-pindah kota dan negara: dari Sukabumi ke Jakarta, dari Medan ke Amsterdam, dari Kuala Lumpur hingga London. Ia bekerja sebagai wartawan, penerjemah, penyiar BBC, dan redaktur. Namun, di mana pun berada, ia tidak pernah meninggalkan dunia tulis-menulis. Justru, perpindahan geografis tersebut memperkaya perspektif kepenulisannya. Dunia Aoh adalah dunia lintas batas, namun puisinya selalu kembali ke tanah, Tuhan, dan manusia.

Puisi sebagai Jalan Spiritual

Bila Chairil Anwar meletupkan semangat individual dan pemberontakan, maka Aoh K. Hadimadja menulis dengan nada yang lebih hening, mendalam, dan spiritual. Puisinya “Di Bawah Kaki Kebesaran-Mu,” yang dimuat pada majalah Pantja Raja tahun 1946, dengan jelas memperlihatkan getaran teosofis yang kuat. Ia menulis seakan sedang berdzikir melalui bait-bait. Tidak mengherankan bila sosok seperti HAMKA, yang juga dikenal karena kedalaman religiusnya, menjadi guru sekaligus inspirasi Aoh. Ia tidak hanya membaca karya HAMKA, tetapi juga bertatap muka dan berdiskusi dengan tokoh besar itu dan ayahandanya. Ini memperlihatkan bahwa spiritualitas Aoh bukan sekadar efek bacaan, melainkan hasil perjumpaan langsung dengan sumber-sumber hikmah.

Sajak-sajak Aoh tidak berniat menjadi provokatif. Ia tidak menyuarakan amarah politik atau jeritan sosial secara lantang. Ia justru membisikkan kebeningan dan kontemplasi. Dalam dunia yang riuh dengan propaganda dan agitasi, Aoh hadir sebagai oase sunyi—penulis yang menyodorkan renungan.

Pengaruh yang Sunyi, Namun Menyeluruh

Ada pendapat yang menyebut bahwa Aoh bukanlah pengarang besar karena karyanya tidak "menonjol". Tapi sebenarnya, ukuran ketenaran bukanlah satu-satunya parameter kualitas sastra. Justru karya-karya Aoh membuktikan bahwa kualitas bisa tumbuh diam-diam, seperti akar yang menancap dalam. Penghargaan Anugerah Seni dari pemerintah tahun 1972 adalah pengakuan bahwa karyanya memiliki bobot yang layak diapresiasi. Bahkan BBC London pun mengabadikan namanya dalam "Sayembara Sajak BBC" yang rutin digelar sejak 1976.

Keberadaannya dalam dunia jurnalistik dan penerbitan juga tidak bisa dianggap sepele. Keterlibatannya dalam rubrik Khatulistiwa di harian Indonesia Raya menunjukkan bagaimana ia terus mengikuti denyut nadi kesusastraan Indonesia meski dari kejauhan. Tidak hanya itu, ia pun membimbing anak-anaknya menulis puisi berbahasa Inggris, memperlihatkan bahwa semangat literasi dalam dirinya tidak pernah padam.

Ragam Karya dan Gaya

Karya Aoh menyeberangi genre: dari puisi, cerpen, novel, drama, hingga esai sastra. Ia seperti tidak membatasi diri pada satu bentuk ekspresi. Karya-karya seperti Zahrah (1950), Pecahan Ratna (1971), Poligami (1975), Sepi Terasing (1975), hingga Manusia dan Tanahnya (1972) memperlihatkan keragaman tematik dan bentuk yang memperkaya khazanah sastra Indonesia.

Buku Zahrah, yang mencakup sajak dan drama Lakbok, menjadi bukti penting akan kemampuannya dalam menyatukan bentuk naratif dan lirikal. Bahkan sebagian isinya dimuat dalam Anthropology of Modern Indonesian Poetry (1964) karya Burton Raffel, yang menandakan pengakuan dari luar negeri terhadap mutu karyanya.

Yang menarik, Aoh juga tertarik pada kajian estetika sastra. Dalam buku Seni Mengarang dan Aliran Klasik, Romantik, dan Realisme dalam Kesusasteraan, ia menunjukkan sisi lain dari dirinya sebagai pemikir sastra. Di tengah hingar-bingar pergolakan ideologi dan revolusi kebudayaan pada era 50–70an, Aoh memilih posisi sebagai pengamat, pendidik, dan pelurus arah.

Menulis sebagai Tindakan Melawan Keterasingan

Aoh adalah seorang pengembara, dalam arti geografis maupun eksistensial. Ia lama membujang demi menulis, bahkan harus diwakili adiknya Ramadhan K.H. ketika menikah karena berada jauh di London. Ia menulis bukan untuk ketenaran, tetapi sebagai bentuk perjuangan batin. Bahkan, naskah roman terakhirnya ditemukan tidak selesai di rumahnya di Cipete—sebuah metafora bahwa hidup dan karyanya senantiasa dalam proses, dalam pencarian.

Dalam novel Sepi Terasing, misalnya, bisa terbaca getaran personal yang mengindikasikan betapa kuatnya pengaruh pengalaman pribadinya terhadap penciptaan fiksi. Judulnya saja sudah menyiratkan rasa sunyi dan keterasingan, sebuah tema yang sangat dekat dengan jiwa Aoh.

Suara yang Tetap Layak Didengar

Aoh K. Hadimadja bukanlah penyair yang mencuri perhatian dengan gaya flamboyan atau ide kontroversial. Ia adalah penyair yang menenun kata demi kata dengan tenang, sabar, dan khidmat. Ia menulis seperti seorang sufi merangkai dzikir: tidak untuk dipuji, tetapi untuk menghidupi. Dalam dunia sastra yang kadang terlalu keras menilai berdasarkan sorotan publik, Aoh menunjukkan bahwa yang sunyi pun bisa bergema panjang.

Ia adalah penulis yang memilih diam, tetapi meninggalkan gema. Ia pergi di usia 62 tahun, namun sajak-sajaknya tetap hidup—di dalam buku, di dalam ingatan, dan di dalam setiap pembaca yang mencari keheningan dalam kata-kata. Tidak heran jika pada akhirnya, negara mengakui jasa-jasanya. Namun yang paling penting adalah bahwa sastra Indonesia pernah memiliki seorang Aoh K. Hadimadja—dan itu adalah anugerah.

Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Aoh K. Hadimadja untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.

    Kumpulan Puisi karya Aoh K. Hadimadja

© Sepenuhnya. All rights reserved.