Nama Aspar Paturusi barangkali lebih dulu bergema di panggung teater atau layar sinetron ketimbang di lembar-lembar buku puisi. Namun, bagi siapa pun yang mengikuti perkembangan sastra Indonesia, khususnya dari wilayah timur Nusantara, Aspar adalah sosok yang tak terpisahkan dari narasi besar kesusastraan Indonesia modern. Ia bukan hanya penyair, tetapi juga aktor, dramawan, novelis, guru, aktivis seni, bahkan organisator kesenian. Kompleksitas inilah yang menjadikan Aspar Paturusi sebagai figur lintas medium—menjembatani kata dan panggung, menautkan sastra dan kehidupan.
Lahir pada 10 April 1943 di Bulukumba, Sulawesi Selatan, Aspar mengawali karier kepenulisannya sejak usia sangat muda. Karya pertamanya berupa naskah drama dipentaskan oleh siswa SMEA Makassar pada 1959, menandai awal dari keterlibatan panjangnya dalam dunia kesenian. Ia kemudian tampil sebagai penulis, aktor, dan sutradara, mengukir reputasi di Makassar hingga ke panggung internasional di Taiwan, Singapura, dan Malaysia.
Namun, warisan paling abadi dari Aspar adalah puisinya—yang lahir dari laut, mengalir dalam ombak Losari, dan menggema di berbagai antologi nasional seperti Tonggak III, Antologi Puisi Indonesia, Puisi Bosnia, hingga Matahari Cinta Samudera Kata. Puisinya tidak hanya merefleksikan identitas lokal Sulawesi Selatan, tetapi juga mengusung universalitas: cinta, pengorbanan, sejarah, dan spiritualitas. Judul-judul seperti Sukma Laut, Perahu Badik, atau Ranjang Cinta memperlihatkan kesetiaan pada simbol-simbol budaya Bugis-Makassar, sambil merayakan semangat kosmopolitan.
Aspar adalah penulis yang tak pernah tinggal diam dalam satu ruang. Ia menulis novel anak-anak seperti Kampung si Etin, mencipta roman puitis seperti Pulau, dan menuangkan perenungan dalam naskah drama spiritual seperti Perahu Nuh II. Keberagamannya bukan bentuk kebingungan estetika, melainkan kekayaan naratif dan kegelisahan kreatif yang terus mencari bentuk paling jujur untuk menyampaikan realitas dan mimpi-mimpi manusia.
Keterlibatannya dalam dunia organisasi seni juga layak diapresiasi. Sebagai pendiri Dewan Kesenian Makassar dan Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, Aspar menunjukkan bahwa kesenian tidak hidup dalam ruang privat, melainkan harus diorkestrasi dalam wadah kolektif agar berdampak luas. Ia adalah contoh ideal dari seorang “seniman publik”—yang tidak hanya mencipta, tapi juga mengabdi kepada ekosistem budaya yang lebih besar.
Pencapaiannya di dunia sinetron—termasuk penghargaan sebagai Aktor Terbaik dalam Festival Sinetron Indonesia tahun 1990—hanya menegaskan bahwa kepekaan sastranya mampu diterjemahkan dengan baik ke dalam seni peran. Di sinilah letak kekuatannya: Aspar Paturusi bukan hanya penyair yang menulis puisi, tapi penyair yang hidup dalam setiap bentuk seni yang ia tekuni.
Buku
- Sajak-Sajak dari Makassar (Antologi Puisi, 1974)
- Arus (Novel, 1976)
- Pulau (Novel, 1976)
- Kampung si Etin (Novel Anak-Anak, 1977)
- Hilangnya Sayap si Tikus (Novel Anak-Anak, 1979)
- Sukma Laut (Puisi, 1985)
- Kratz (Antologi Puisi, 1988)
- Tonggak III (Antologi Puisi, 1991)
- Ombak Losari (Antologi Puisi, 1993)
- Secangkir Harapan (Puisi, 2011)
- Badik (Puisi, 2011)
- Ranjang Cinta (Puisi, 2013)
- Perahu Badik: Membaca Laut (Puisi, 2015)
- Matahari Cinta Samudera Kata (Antologi Puisi, 2016)
Kini, ketika gelombang baru sastra Indonesia terus mencari bentuk dan suara, karya-karya Aspar Paturusi menjadi pengingat bahwa kekayaan identitas lokal bukanlah batas, melainkan jembatan menuju semesta yang lebih luas. Ia telah membuktikan bahwa dari Bulukumba pun, suara puisi bisa menggetarkan panggung dunia.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Aspar Paturusi untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.