Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kumpulan Puisi karya Ayatrohaedi

Dalam lanskap sastra Indonesia modern, nama Ayatrohaedi barangkali tidak sepopuler penyair-penyair kontemporer yang mewarnai panggung-panggung pembacaan puisi di kota-kota besar. Namun, warisan kultural dan intelektual yang ditinggalkannya menjadikan sosok ini lebih dari sekadar penyair—ia adalah jembatan antara tradisi dan modernitas, antara bahasa daerah dan bahasa nasional, antara sastra dan ilmu.

Dilahirkan di Jatiwangi, Jawa Barat, pada 5 Desember 1939, Ayatrohaedi tumbuh sebagai anak dari tanah Sunda yang meresapi denyut nadi kebudayaannya sejak dini. Ia tidak hanya tumbuh sebagai penyair, tetapi juga sebagai arkeolog, ahli bahasa, dan filolog. Kombinasi ini membuat karya-karyanya begitu kaya, tidak hanya dalam aspek estetika, melainkan juga dalam struktur dan semantik. Ayatrohaedi adalah bukti hidup bahwa penyair bisa menjadi ilmuwan, dan ilmuwan bisa menulis puisi dengan hati yang lembut.

Karya Ayatrohaedi dalam bahasa Indonesia

  • Yang Tersisih (cerpen, 1965)
  • Warisan (cerpen, 1965)
  • Panji Segala Raja (cerita anak, 1974)
  • Pabila dan Dimana (kumpulan puisi, 1977)
  • Bahasa Sunda di Daerah Cirebon (studi, 1985)

Karya Ayatrohaedi dalam bahasa Sunda

  • Hujan Munggaran (kumpulan cerpen, 1960)
  • Kabogoh Tere (novel, 1967)
  • Pemapag (kumpulan puisi, 1972)

Karya terjemahan Ayatrohaedi

  • Puisi Negro (bunga rampai, 1976)
  • Senandung Ombak (novel, Yukio Mishima, 1976)
  • Tata Bahasa dan Ungkapan Bahasa Sunda (karya J. Kats dan M. Soeriadiradja, 1980)
  • Tata Bahasa Sunda (karya D.K. Adiwinata, 1985).

Sebagai editor buku

  • Kepribaian Budaya Bangsa (kumpulan esai, 1986)

Kesederhanaan yang Menggerakkan

Dalam dunia yang sering kali memuja keindahan yang rumit, Ayatrohaedi menghadirkan kebalikan yang menyentuh. Puisinya tidak berusaha untuk mengagetkan atau membelokkan makna. Ia berbicara tentang cinta, alam, tanah kelahiran, dan Tuhan dengan kejujuran yang nyaris langka. Kritik sastra dari Korrie Layun Rampan maupun A. Teeuw menyoroti hal ini: Ayatrohaedi adalah penyair kesahajaan. Dan justru dalam kesahajaan itu, puisinya menjadi kuat.

Ayatrohaedi

Sajak-sajaknya seperti lukisan dengan warna-warna lembut yang membuat pembacanya berhenti sejenak dan menghela napas. Tidak ada pretensi, tidak ada pengkaburan pesan lewat diksi-diksi mewah yang menyulitkan. Ayatrohaedi ingin dimengerti, bukan dikagumi. Dan justru karena itu ia layak dikagumi.

Buku kumpulan puisi seperti Pabila dan Dimana (1977) atau Pemapag (1972, dalam bahasa Sunda) adalah contoh dari bagaimana suara batin Ayatrohaedi bukan hanya dapat terdengar, tetapi terasa. Ia menulis bukan untuk panggung, melainkan untuk ruang batin para pembacanya. Puisinya menjadi teman dalam keheningan, bukan tontonan di keramaian.

Bahasa dan Identitas

Ayatrohaedi memiliki relasi yang sangat dalam dengan bahasa. Ia bukan hanya menulis dalam bahasa Indonesia dan Sunda, tetapi juga mendalaminya hingga ke akar-akar sejarah dan sistemnya. Ia menguasai bahasa Jawa Kuno, Sunda Kuno, Sanskerta, hingga bahasa-bahasa asing seperti Belanda dan Prancis. Pengetahuan ini bukan hanya akademik, tetapi menjadi bagian dari cara berpikir dan cara berkaryanya.

Disertasi doktoralnya Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa adalah tonggak penting dalam studi dialektologi di Asia Tenggara. Ia melihat bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi medan kebudayaan yang menyimpan sejarah, identitas, dan peradaban. Oleh karena itu, ketika ia menulis puisi, sesungguhnya ia sedang merawat budaya.

Pilihan Ayatrohaedi untuk menulis juga dalam bahasa Sunda adalah sikap yang sarat makna. Di tengah arus sentralisasi bahasa dan budaya, ia tetap setia pada bahasa ibu. Ia menegaskan bahwa sastra daerah bukanlah anak tiri, tetapi bagian penting dari tubuh sastra Indonesia. Dengan begitu, ia menempuh jalan sunyi yang tidak banyak dilirik, tetapi sangat penting.

Menulis Sejak Remaja, Berkarya Seumur Hidup

Ayatrohaedi mulai menulis sejak remaja. Cerpen pertamanya seperti Yang Tersisih dan Warisan muncul di tahun 1965. Lalu ia menulis cerita anak, novel, puisi, dan esai, bahkan menerjemahkan karya-karya besar seperti Senandung Ombak karya Yukio Mishima. Sungguh menakjubkan, bagaimana seseorang bisa menjelajah begitu banyak genre dan bahasa dengan kualitas yang tetap terjaga.

Namun, ia tidak pernah menjadi bintang panggung. Ia tidak menghunus puisinya sebagai senjata protes, tetapi menyulamnya sebagai pelipur lara. Bahkan ketika puisinya berbicara tentang keresahan, ia tetap menghadirkannya dengan tenang dan jujur. Di sini letak kekuatan Ayatrohaedi: ia tidak perlu berteriak untuk didengar.

Peran Akademisi dan Budayawan

Perjalanan karier Ayatrohaedi juga mencerminkan integritas dan pengabdiannya pada dunia akademik. Ia tidak hanya mengajar di berbagai universitas ternama seperti Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran, tetapi juga aktif mengelola jurnal dan menjadi bagian dari komunitas intelektual yang serius. Ia menjadi Ketua Jurusan Arkeologi di UI, Pembantu Rektor IKJ, hingga Pemimpin Redaksi Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia.

Namun, meskipun mengemban peran akademik, Ayatrohaedi tidak pernah tercerabut dari akar kesenimanannya. Ia tetap menulis, tetap mengamati, dan tetap menyuarakan bahasa batin masyarakat yang sering kali tidak terdengar. Keterlibatannya dalam berbagai organisasi seni dan budaya menunjukkan komitmen yang kuat untuk menjadikan ilmu bukan hanya sebagai menara gading, tetapi jembatan bagi masyarakat.

Warisan yang Tak Pernah Usang

Kematian Ayatrohaedi pada 18 Februari 2006 di Sukabumi, memang menandai berakhirnya satu fase kehidupan, tetapi tidak mengakhiri pengaruhnya. Karya-karyanya tetap hidup, bukan hanya di perpustakaan dan rak buku, tetapi dalam setiap diskusi kebahasaan, dalam setiap puisi yang bersahaja, dalam setiap usaha untuk menjembatani tradisi dan modernitas.

Ia tidak mencari ketenaran, tetapi menyusuri jalan literasi dengan dedikasi. Ia tidak menulis untuk lomba atau apresiasi, tetapi karena ia tahu, ada hal-hal yang hanya bisa disampaikan lewat puisi dan bahasa.

Mang Ayat, Suara Hening yang Bergema Panjang

Mang Ayat, demikian ia dipanggil dengan penuh hormat, adalah contoh bahwa sastrawan tidak perlu glamor untuk bermakna. Ia menulis dengan hati, bekerja dengan integritas, dan mencintai budaya dengan sepenuh jiwa. Dalam dunia sastra Indonesia yang kadang riuh dengan nama besar dan citra publik, Ayatrohaedi justru tampil sebagai suara hening yang bergema panjang.

Kesetiaannya pada bahasa, kecintaannya pada budaya lokal, dan kesederhanaannya dalam mengungkapkan kehidupan adalah warisan yang tak ternilai. Maka ketika membaca puisi-puisinya, kita tidak hanya membaca kata-kata, tetapi juga mendengar detak jantung kebudayaan yang dijaganya dengan tekun.

Ayatrohaedi tidak pernah pergi. Ia hanya berpindah tempat, dari kertas ke kesadaran kita.

Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Ayatrohaedi untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.

    Kumpulan Puisi karya Ayatrohaedi

© Sepenuhnya. All rights reserved.