Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kumpulan Puisi karya Chairul Harun

Dalam jagat sastra Indonesia, nama Chairul Harun mungkin tak sepopuler Pramoedya Ananta Toer atau Taufik Ismail. Namun, warisan intelektual dan kultural yang ditinggalkannya pantas disandingkan dengan para pemikir besar bangsa. Chairul Harun bukan hanya seorang sastrawan, tetapi juga budayawan, wartawan, dosen, dan pemikir yang menyalakan obor kesadaran sosial dari Sumatra Barat.

Lahir di Kayutanam, Sumatra Barat, pada Agustus 1940, Chairul Harun hidup dalam pusaran kebudayaan Minangkabau yang sarat nilai, namun juga tak luput dari paradoks. Kepekaannya terhadap dinamika sosial dan kebudayaan tercermin kuat dalam karya-karyanya, terutama dalam novel terkenalnya, Warisan. Dalam novel ini, ia menguliti sisi gelap adat Minangkabau yang dikenal menganut sistem matrilineal, tetapi bisa menjadi alat perebutan kekuasaan dan harta ketika dilumuri nafsu manusia. Kritik Chairul tak digelontorkan secara keras, melainkan lewat kisah yang hidup dan mengalir, menjadikan pembacanya merenung alih-alih sekadar bereaksi.

Puisi Chairul Harun

Salah satu kekuatan Chairul Harun adalah kemampuannya menggabungkan peran sebagai wartawan dan sastrawan. Gaya penulisannya padat, tajam, tetapi tetap puitis. Pengalaman jurnalistiknya di berbagai media seperti Harian Umum Haluan, Angkatan Bersenjata, hingga menjadi koresponden Tempo memberinya bekal untuk menulis dengan disiplin dan kepekaan terhadap realitas. Bahkan ketika ia menjadi dosen tidak tetap di ASKI Padangpanjang, ia tetap menulis dan mengomentari kehidupan masyarakat melalui berbagai kanal, seperti rubrik Komentar di Harian Singgalang.

Chairul Harun tidak menulis untuk menyanjung adat, tetapi untuk memurnikannya dari praktik-praktik menyimpang. Dalam hal ini, ia adalah seorang humanis kritis, yang melihat adat bukan sebagai warisan sakral yang tak boleh disentuh, melainkan sebagai sistem sosial yang harus selalu dievaluasi demi kemaslahatan manusia. Ini adalah pandangan yang berani, terutama bagi seorang intelektual Minang yang berkiprah di tengah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat.

Karyanya yang lain, seperti saduran Cindua Mato dan Sutan Pangaduan, memperlihatkan betapa Chairul Harun ingin menjembatani sastra klasik Minangkabau dengan pembaca modern. Ia tidak sekadar menyadur, tapi mentransformasikannya dengan pendekatan yang lebih kontekstual. Ini adalah usaha yang sangat penting dalam menjaga keberlangsungan warisan budaya lokal di tengah derasnya arus globalisasi.

Lebih dari sekadar penulis, Chairul Harun adalah seorang pemikir yang melihat sastra sebagai alat kontrol sosial—gagasan ini tampak jelas dalam makalahnya “Sastra sebagai Human Control.” Bagi Chairul, sastra bukan hanya ruang kontemplasi estetika, tetapi medan perjuangan nilai. Ia memanfaatkan puisi, cerita anak, dan novel sebagai kendaraan untuk menyampaikan kritik sosial, pendidikan moral, dan ajakan untuk berpikir ulang terhadap struktur budaya yang kita anggap final.

Ironisnya, kiprah intelektual dan karya Chairul Harun masih belum sepenuhnya mendapat apresiasi nasional yang layak. Ia adalah contoh tokoh daerah yang kontribusinya melampaui batas geografis, tetapi sering tertutup bayang-bayang para sastrawan yang bermukim di pusat-pusat kekuasaan budaya seperti Jakarta atau Yogyakarta. Padahal, justru dari pinggiran itulah lahir suara-suara yang jernih dan bebas dari polusi kepentingan.

Karya

  1. Monumen Safari (antologi puisi bersama Leon Agusta, Rusli Marzuki Saria, dan Z. Bakry, 1966)
  2. Matajo (cerita anak, 1974)
  3. Maranginang (cerita anak, 1974)
  4. Warisan (novel, 1976)
  5. Sang Gubernur (novel, 1977)
  6. Cindua Mato (cerita rakyat, 1977)
  7. Sutan Pangaduan (saduran, 1977)
  8. 60 Jam yang Gawat (cerita anak, 1978)
  9. Ganda Hilang (cerita bersambung, 1981)
  10. Sastra sebagai Human Control (antologi esai, 1984)
  11. Razak Anak Pensiunan (cerita anak, 1985)

Kini, lebih dari dua dekade sejak wafatnya pada 19 Februari 1998, Chairul Harun seharusnya mendapat tempat yang lebih tinggi dalam sejarah sastra dan kebudayaan Indonesia. Warisan pemikirannya tentang adat, kemanusiaan, dan tanggung jawab sosial dalam berkesenian tetap relevan di tengah masyarakat yang kerap terjebak pada romantisme masa lalu tanpa evaluasi.

Chairul Harun telah pergi, tetapi suaranya masih bisa kita dengar—dalam halaman-halaman novelnya, dalam larik-larik puisinya, dan dalam setiap usaha untuk menjadikan kebudayaan sebagai alat pemberdayaan, bukan penindasan.

Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Chairul Harun untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.

    Kumpulan Puisi karya Chairul Harun

© Sepenuhnya. All rights reserved.