Dalam peta kesusastraan Indonesia, Darius Umari barangkali bukan nama yang mencolok di antara deretan penyair yang sering dibahas di ruang-ruang akademik atau dikutip di buku pelajaran. Namun, seperti cahaya kecil yang setia menyinari sudut-sudut gelap, karya-karya Darius hadir dengan ketulusan dan kesahajaan yang justru menjadi kekuatannya. Lahir pada tanggal 5 November 1942 di Talang, Sumatra Barat, Darius adalah salah satu penyair yang memaknai puisi bukan sebagai panggung gemerlap, melainkan sebagai ruang batin yang tenang untuk menyampaikan suara hati dan kesaksian hidup.
Awal Perjalanan: Dari Pertanian ke Penyiaran, Lalu ke Puisi
Perjalanan hidup Darius Umari cukup unik. Ia sempat mencicipi bangku kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang, namun hanya bertahan selama satu setengah semester. Ketertarikannya tampaknya lebih tertuju pada dunia kata-kata daripada bilangan-bilangan agronomis. Pada Agustus 1964, ia bergabung dengan Radio Republik Indonesia (RRI) Padang dan bekerja di sana hingga akhir tahun 1968. Kehidupan di dunia penyiaran kemungkinan besar mempertemukannya dengan berbagai narasi kehidupan dan dinamika sosial yang memperkaya batinnya sebagai penulis.
Tahun 1969 menjadi titik balik lain dalam hidupnya. Darius mengikuti pendidikan tugas belajar RRI di Akademi Penerangan Jakarta, memperdalam pemahamannya tentang komunikasi dan media. Di tengah kesibukannya sebagai penyiar dan mahasiswa, ia mulai menulis—sebuah aktivitas yang menjadi bagian integral dari jiwanya hingga hari ini.
Jejak Sastra: Puisi, Cerpen, dan Dua Novel
Darius Umari memulai karier menulisnya sekitar tahun 1964. Ia pertama-tama menulis untuk harian lokal di Padang, lalu perlahan-lahan menjangkau media nasional seperti majalah Horison. Keberhasilannya menembus Horison menunjukkan bahwa puisinya memiliki kualitas literer yang cukup tinggi, mengingat Horison dikenal sebagai wadah para sastrawan terkemuka Indonesia pada masa itu.
Selain puisi, Darius juga menulis cerita pendek ringan dan menyelesaikan dua novel. Keberadaan karya prosa tersebut menunjukkan bahwa ia tidak terbatas pada satu bentuk ekspresi saja. Dalam dunia sastra, kemampuan untuk menulis lintas genre merupakan keistimewaan tersendiri.
Penyair yang Mengendap dalam Kesenyapan
Darius Umari bukanlah penyair yang sibuk membangun citra atau melambung dalam gemerlap panggung sastra. Namanya tidak terlalu banyak disebut dalam kritik sastra populer atau dibicarakan dalam forum-forum besar. Namun, justru karena itu, puisinya terasa jujur, tenang, dan mendalam. Ia adalah jenis penyair yang lebih suka mengendap di balik layar, membiarkan kata-katanya bicara sendiri tanpa perlu bising klarifikasi.
Puisinya yang dimuat dalam berbagai media, terutama Horison, mengandung kepekaan terhadap kehidupan, baik sebagai individu maupun bagian dari masyarakat yang terus berubah. Gaya bahasanya sederhana namun memuat kedalaman makna. Ia tidak mengejar kemegahan metafora atau kemilau diksi yang kompleks, melainkan menawarkan narasi batin yang renyah dan reflektif.
Antologi Bersama: Jejak Darius dalam Peta Sastra Nasional
Kehadiran Darius Umari dalam dunia sastra nasional secara simbolik dapat dilihat melalui keterlibatannya dalam dua antologi puisi penting. Pertama, ia tampil dalam Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern, Volume 3 yang diterbitkan pada tahun 1987. Tonggak merupakan proyek monumental yang disunting oleh Linus Suryadi AG untuk mendokumentasikan perkembangan puisi Indonesia modern dari masa ke masa. Masuknya nama Darius Umari dalam volume ini menandakan pengakuan terhadap eksistensinya sebagai bagian dari sejarah puisi Indonesia modern.
Antologi kedua yang memuat puisinya adalah Jakarta-Berlin: Dalam Cermin Puisi (2002), yang menyandingkan suara penyair Indonesia dan Jerman dalam satu bingkai budaya. Dalam antologi lintas negara seperti ini, karya Darius menjadi representasi suara Indonesia di tengah dialog antarbangsa, menunjukkan bahwa puisinya memiliki daya jelajah yang melampaui batas-batas lokalitas.
Antara Tradisi dan Modernitas: Sumatra Barat sebagai Latar Eksistensial
Latar belakang Darius Umari sebagai putra Minangkabau memiliki pengaruh tersendiri dalam karya-karyanya. Sumatra Barat adalah tanah yang kaya dengan warisan sastra lisan, filsafat adat, dan semangat merantau yang khas. Meski tidak eksplisit dalam bentuk etnografis, jejak nilai-nilai tersebut bisa dirasakan dalam puisinya—dalam pilihan kata yang hemat namun bermakna, dalam pemikiran yang kontemplatif, dan dalam nuansa keprihatinan sosial yang sering muncul secara halus.
Karya-karyanya menunjukkan bahwa ia mampu berdialog dengan akar tradisi tanpa harus terperangkap dalam romantisme masa lalu. Ia tampak lebih tertarik pada bagaimana manusia modern—dalam segala pergolakannya—tetap harus mencari pegangan batin di tengah arus perubahan.
Ketulusan sebagai Gaya, Kesederhanaan sebagai Kekuatan
Dalam dunia sastra yang sering diramaikan oleh eksperimen bentuk dan gaya, Darius Umari menempuh jalur yang berbeda. Ia tidak menampilkan puisi sebagai wahana eksibisi intelektual, tetapi lebih sebagai perenungan jujur. Barangkali itulah yang membuat karya-karyanya terasa tulus—karena ia menulis bukan untuk memikat, tetapi untuk menyampaikan sesuatu yang diyakininya penting, entah itu tentang kehidupan, alam, masyarakat, atau spiritualitas.
Kesederhanaan menjadi kekuatan utama Darius. Dalam puisinya, kita tidak dibawa pada labirin bahasa, melainkan pada jalan setapak yang mengajak kita berhenti sejenak dan merenungi sesuatu yang sering kita lupakan. Sebagai pembaca, kita diajak untuk tidak terburu-buru, untuk kembali mendengar suara batin kita sendiri.
Jejak Sunyi yang Tak Terlupakan
Darius Umari adalah contoh nyata bagaimana seorang penyair bisa tetap memiliki tempat yang istimewa dalam khazanah sastra Indonesia, meskipun tidak menempuh jalan popularitas. Karya-karyanya yang tersebar dalam media dan antologi bersama menunjukkan kontribusinya yang konsisten. Ia tidak hanya menulis, tetapi juga merekam zamannya, merekam kehidupan dengan cara yang puitik namun tetap membumi.
Sebagai bagian dari generasi penyair yang muncul pada dekade 1960-an, Darius Umari telah memberikan suara yang berbeda—suara yang tenang namun penuh makna, suara yang tak berteriak namun menggetarkan. Dan dalam dunia sastra yang terus bergerak ini, suara semacam itu akan selalu dibutuhkan. Ia adalah bukti bahwa dalam sunyi pun, puisi tetap bisa berbicara keras.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Darius Umari untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.