Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kumpulan Puisi karya Faris Al Faisal

Dalam peta sastra Indonesia kontemporer, nama Faris Al Faisal hadir sebagai suara yang tak sekadar berbunyi, tetapi mengakar pada tanah kelahirannya: Indramayu, Jawa Barat. Ia bukan hanya penyair, melainkan penjaga nyala api sastra dan kebudayaan di wilayah yang sering terabaikan dalam pembicaraan sastra nasional. Ketekunannya dalam membina, menulis, dan mempopulerkan karya dari daerah membuktikan bahwa sastra bukan hanya milik metropolitan. Ia adalah denyut hidup yang bisa tumbuh di mana saja—termasuk dari tepian Sungai Cimanuk yang tenang namun penuh riwayat.

Faris bukan nama yang lahir dari gelembung instan. Ia membangun eksistensinya dengan kesabaran dan konsistensi. Keterlibatannya di Komite Sastra Dewan Kesenian Indramayu (DKI) dan Lembaga Kebudayaan Indramayu (LKI) memperlihatkan bahwa ia tidak hanya menulis untuk dirinya sendiri, tetapi untuk komunitas. Lebih jauh lagi, ia menjadi perwujudan dari semangat penyair yang tidak sekadar mencipta puisi, tetapi juga menciptakan ruang bagi puisi untuk tumbuh dan berakar dalam masyarakat.

Puisi: Tol-Tol Itu sampai ke Laut

Salah satu hal paling menarik dari sosok Faris adalah kemampuannya menyandingkan lokalitas dengan universalitas. Buku puisinya yang berjudul Dari Lubuk Cimanuk ke Muara Kerinduan ke Laut Impian adalah bukti nyata bagaimana sebuah sungai kecil di Indramayu bisa menjadi metafora yang luas bagi manusia-manusia modern yang tenggelam dalam hasrat dan pencarian jati diri. Faris tidak terjebak dalam glorifikasi lokalitas semata, melainkan membubuhkan refleksi yang dalam mengenai identitas, cinta, dan keberadaan.

Dari sisi estetika, puisi-puisi Faris menyiratkan kedalaman spiritualitas dan kematangan emosi. Ia menyampaikan gagasan dengan bahasa yang puitis tanpa menjadi rumit. Banyak puisinya terasa seperti bisikan yang membelai perasaan pembaca, dan ini membuatnya mudah diterima lintas kalangan, termasuk dalam ajang-ajang internasional. Keberhasilannya meraih penghargaan dalam Sayembara Menulis Puisi Islam ASEAN di Sabah, Malaysia, atau menjadi juara pada Lomba Cipta Puisi tingkat Asia Tenggara, membuktikan bahwa sajak-sajaknya mampu menembus batas-batas geografis dan ideologis.

Faris Al Faisal juga bukan penyair yang mengabaikan dunia nyata. Ia menulis dengan menyadari konteks sosial dan spiritual, sering kali menghadirkan puisi yang menjadi refleksi dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam puisinya terdapat sentuhan agama, nilai-nilai tradisional, dan gagasan kontemporer yang saling bersinergi tanpa saling meniadakan. Inilah kekuatan yang membuat puisinya memiliki nyawa panjang—tidak hanya untuk dibaca, tapi juga untuk direnungkan.

Namun, di balik keberhasilannya sebagai penyair, Faris juga dikenal sebagai penulis fiksi, esais, dan pegiat budaya yang serius. Novel Bunga Narsis, kumpulan cerpen Bunga Rampai Senja di Taman Tjimanoek, dan novelet Bingkai Perjalanan menampilkan kepekaannya terhadap manusia, lingkungan, dan kompleksitas sosial di daerahnya. Bahkan, keterlibatannya dalam menyusun buku nonfiksi seperti Mengenal Rancang Bangun Rumah Adat di Indonesia menunjukkan komitmennya terhadap pelestarian kebudayaan Nusantara.

Di luar pencapaian individual, kekuatan utama Faris terletak pada dedikasinya sebagai penggerak kebudayaan lokal. Di masa ketika banyak sastrawan mengejar panggung ibukota, Faris justru membangun panggungnya sendiri di Indramayu. Ia tidak sekadar menunggu pengakuan dari luar, melainkan menciptakan gerakan dari dalam—sebuah gerakan yang berbasis pada cinta terhadap bahasa ibu, tradisi, dan komunitas.

Kegiatan seperti “1 Jam Baca Puisi Dunia” yang digagasnya pada World Poetry Day di Gedung Kesenian Mama Soegra bukanlah sekadar selebrasi sastra, melainkan pernyataan bahwa Indramayu juga punya suara dalam jagat puisi global. Faris berhasil memosisikan kampung halaman bukan sebagai keterbatasan, tapi sebagai keunggulan. Dan itu tidak mudah, apalagi di tengah derasnya arus dominasi budaya populer dan globalisasi yang sering menggilas ekspresi lokal.

Nama Faris tercatat dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia” yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi, suatu pengakuan penting bahwa karyanya relevan dalam lanskap puisi Indonesia. Tetapi sejujurnya, pencapaian Faris melampaui sekadar daftar nama. Ia telah menghidupkan dan menggerakkan sastra dari titik pinggiran, membawa pesan bahwa sastra sejati tidak membutuhkan panggung megah, hanya butuh kesungguhan dan keyakinan.

Sebagai ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Indramayu dan Ketua Lembaga Basa dan Sastra Dermayu, Faris menjadi figur yang menginspirasi generasi baru penulis dan seniman. Ia tidak hanya menyulut bara semangat berkesenian, tetapi juga menjaga bara itu tetap menyala dalam kesunyian daerah yang jauh dari sorotan. Melalui kepenulisan dan kerja kulturalnya, Faris membuktikan bahwa sastra bukan hanya tentang menulis, tetapi tentang menyentuh dan menghidupkan kembali ruang-ruang batin masyarakat.

Di era yang serba cepat dan instan ini, sosok seperti Faris Al Faisal adalah pengingat bahwa sastra masih punya tempat untuk tumbuh secara organik. Ia menunjukkan bahwa puisi bukan sekadar aksesoris kehidupan, tetapi bagian dari perjuangan panjang dalam memahami diri, lingkungan, dan kemanusiaan secara utuh. Karyanya adalah undangan untuk menyelami kehidupan dengan lebih dalam, lebih jujur, dan lebih tenang.

Faris adalah bukti bahwa dari sebuah kota kecil pun bisa lahir penyair besar—bukan karena popularitas, tetapi karena keberanian untuk tetap setia pada akar dan merayakan keindahan yang sunyi.

Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Faris Al Faisal untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.

    Kumpulan Puisi karya Faris Al Faisal

© Sepenuhnya. All rights reserved.