Dalam lanskap sastra Indonesia, nama Fridolin Ukur mungkin tidak sefamiliar Chairil Anwar atau Sapardi Djoko Damono, tetapi kehadirannya dalam sejarah puisi Indonesia meninggalkan jejak yang sangat khas dan tak tergantikan. Lahir di Tamiang Layang, Kalimantan Tengah, pada 5 April 1930, dan wafat di Jakarta pada 26 Juni 2003, Fridolin Ukur menulis puisi seperti seorang pendeta menyampaikan khotbah—tenang, penuh keyakinan, namun tetap menggugah. Ia bukan hanya seorang penyair Angkatan ’66, tetapi juga seorang pendeta, teolog, dan intelektual yang mampu menjembatani ruang rohani dan estetika dalam puisinya.
Buku
- Malam Sunyi (kumpulan puisi, Badan Penerbit Kristen, 1961)
- Darah dan Peluh (kumpulan puisi, Badan Penerbit Kristen, 1963)
- Belas Tercurah (kumpulan puisi, Satya Wacana, 1980)
- Iklan dari Surga (Kumpulan renungan, Pustaka Sinar Kasih, 1980)
- Wajah Cinta (Kumpulan puisi, Badan Penerbit Kristen, 2000)
Puisi sebagai Medium Spiritualitas dan Perjuangan
Fridolin Ukur tidak pernah menyembunyikan identitas kekristenannya dalam karya-karyanya. Justru, aspek teologis inilah yang menjadi fondasi dalam membentuk suara khasnya dalam puisi. Buku puisinya yang berjudul Malam Sunyi (1961), Darah dan Peluh (1963), Belas Tercurah (1980), dan Wajah Cinta (2000), semuanya memancarkan semangat spiritual yang tidak menggurui, tetapi justru mengundang perenungan. Seakan ia ingin mengajak pembaca untuk mengintrospeksi diri, menilik sisi gelap kemanusiaan, dan akhirnya menemukan harapan dalam keheningan malam.
Tetapi Fridolin tidak berhenti di batas gereja. Puisinya juga menyuarakan keprihatinan sosial dan ketimpangan yang nyata. Dalam “Puisi Sengketa”, misalnya, ia mengecam keras borosnya anggaran dalam Sidang Dewan Gereja Indonesia, sebuah sikap yang tidak biasa bagi seorang pendeta. Kritiknya tajam, namun tetap dalam koridor etika seorang rohaniwan. Di sinilah letak kekuatan Fridolin: ia bukan hanya penyair, ia adalah nabi sastra—mengkritik bukan karena benci, tapi karena cinta yang terlalu besar pada kebenaran dan keadilan.
Warisan Kata dari Pedalaman Kalimantan
Fridolin adalah anak Dayak yang menempuh jalan intelektual dan spiritual yang jarang dilalui oleh orang seusianya dan setanah kelahirannya pada masa itu. Latar belakangnya sebagai anak daerah yang kemudian menjadi doktor teologi, menunjukkan betapa kuat tekadnya dalam mengejar ilmu dan pelayanan. Disertasinya Tantang Jawab Suku Dayak adalah refleksi mendalam tentang interaksi antara iman Kristen dan budaya lokal, yang menggambarkan betapa kompleksnya medan misi dan modernitas di Kalimantan. Buku ini bukan hanya sumbangan akademik, tetapi juga semacam catatan etnografis rohani yang penuh empati.
Dari pengalaman itu, puisinya tumbuh bukan dari menara gading, tetapi dari lumpur kehidupan nyata—dari suara para buruh perempuan yang megap-megap seperti yang ia tulis, hingga keheningan malam yang menyimpan air mata orang kecil. Inilah yang membuat Fridolin Ukur unik: ia tidak mengangkat suara dari atas mimbar, tetapi dari bawah altar, dari tanah tempat manusia berdiri dan Tuhan mendengarkan.
Fridolin Ukur dan Angkatan ’66: Sebuah Tafsir Baru
Memasukkan Fridolin Ukur ke dalam Angkatan ’66 adalah sebuah pengakuan terhadap keberagaman suara dalam generasi itu. Angkatan ini dikenal sebagai angkatan yang berani, politis, dan penuh semangat pembaruan. Tapi Fridolin datang dengan nada yang berbeda: lembut, reflektif, dan kontemplatif. Namun, bukan berarti ia pasif. Justru dalam puisinya, ia menyerukan keberanian untuk berdamai, untuk menyayangi musuh, dan untuk mempertahankan nilai-nilai moral di tengah kerusakan zaman.
Penyair Angkatan ’66 lain bisa jadi menumpahkan keresahan mereka melalui simbol-simbol revolusi, sementara Fridolin menyalurkan keresahannya melalui lambang-lambang spiritualitas yang tak kalah politis. Doa-doa yang ia tuliskan dalam puisi bukanlah permohonan kosong, tetapi seruan perubahan—baik untuk individu maupun bangsa.
Kritik Sastra dan Pengakuan Akademik
Beberapa kritikus telah memberikan apresiasi tinggi terhadap karya-karya Fridolin Ukur. Ch. Kiting menyebutnya sebagai “Penyair Kristen Indonesia”, sebuah gelar yang tidak sembarangan. Sementara itu, Kornelius K.W.A. bahkan menyandingkannya dengan Dante Alighieri, penyair besar Italia abad pertengahan. Perbandingan ini mungkin terdengar berlebihan, tetapi ada benarnya. Seperti Dante dengan Divine Comedy-nya, Fridolin juga menulis dari kerangka moral dan spiritual yang kuat, menjadikan puisinya lebih dari sekadar karya seni—mereka adalah ajakan ziarah bagi jiwa.
Puisi-puisi Fridolin juga dimuat dalam berbagai publikasi internasional seperti National-Zeitung Basel dan Zurichsee Zeitung, menandakan bahwa puisinya menembus batas geografis dan kultural. Ia tidak hanya berbicara kepada umat Kristiani, tetapi kepada siapa pun yang masih memiliki kepekaan terhadap suara nurani.
Estetika yang Mengalir dari Kebijaksanaan Hidup
Satu hal yang membuat puisi-puisi Fridolin terasa abadi adalah karena mereka ditulis bukan semata-mata dari pikiran, melainkan dari pengalaman. Fridolin pernah menjadi tentara muda, lalu meninggalkannya demi panggilan menjadi pendeta. Ia pernah menjadi dosen, rektor, sekretaris umum lembaga gereja, dan tetap menulis puisi di sela-sela tanggung jawabnya. Ketika seseorang hidup dalam begitu banyak dimensi, ia tidak bisa menulis tanpa kesungguhan. Itulah yang membuat puisinya terasa otentik.
Bahasa yang ia gunakan dalam puisi cenderung sederhana, tetapi penuh lapisan makna. Dalam Wajah Cinta, misalnya, kita tidak akan menemukan metafora berbelit, melainkan kejujuran yang nyaris menyakitkan. Namun dalam kesederhanaannya itu, puisi-puisi Fridolin mampu menyentuh pembaca di ruang terdalam jiwa.
Fridolin Ukur dalam Peta Sastra Indonesia
Hari ini, nama Fridolin Ukur belum mendapat tempat yang layak dalam kurikulum sastra Indonesia, apalagi di media arus utama. Namun justru di sinilah letak ironi dan panggilan zaman. Di tengah dunia yang semakin bising dengan puisi-puisi tentang patah hati dan keputusasaan yang estetis, karya Fridolin adalah oasis yang menyodorkan kedalaman spiritual dan harapan. Ia mengingatkan bahwa puisi bisa menjadi bentuk ibadah, bisa menjadi jembatan antara langit dan bumi.
Bagi mereka yang merasa jenuh dengan puisi-puisi kontemporer yang dangkal, membaca Fridolin Ukur adalah seperti pulang ke rumah. Puisinya tidak menyapa pembaca dengan teriakan, tapi dengan pelukan. Ia tidak memaksa, tetapi mengajak. Ia tidak marah, tetapi merawat luka dengan kelembutan.
Fridolin Ukur telah pergi, tetapi kata-katanya tinggal. Dan selama masih ada jiwa yang haus akan makna, puisi-puisinya akan terus dibaca. Tidak hanya sebagai karya sastra, tetapi sebagai lentera rohani yang menuntun di tengah malam sunyi.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Fridolin Ukur untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.