Nama Iwan Fridolin mungkin tak setenar beberapa penyair arus utama dalam sejarah puisi Indonesia modern, tetapi justru dalam ketenangannya itulah ia mengukir suara yang jernih, tajam, dan memikat. Lahir di Jakarta pada 18 November 1946, lalu dibesarkan di Telukbetung, Lampung, latar geografis dan kultural ini memberikan nuansa khas pada sajak-sajaknya—penuh napas bumi, getir hidup, dan suara batin yang tak lekang oleh waktu.
Bagi mereka yang rajin menyusuri halaman-halaman lama majalah Horison, nama Iwan Fridolin hadir sebagai kehadiran yang konsisten dan penuh makna. Ia bukan penyair musiman. Ia menulis dengan ketekunan seorang yang merasa bahwa kata bukan semata hiasan, melainkan cermin dari pencarian batin yang terus-menerus. Puisinya adalah ruang senyap tempat manusia bersua dengan dirinya sendiri—kadang dalam kepedihan, kadang dalam keheningan yang menenangkan.
Gaya bahasa Iwan Fridolin tidak berisik. Ia tidak menggunakan metafora yang meledak-ledak atau struktur yang terlalu eksperimental. Tetapi justru dari kesederhanaan itulah muncul kekuatan: suara yang intim, reflektif, dan jujur. Puisinya tidak menuntut pembaca untuk terperangah, melainkan mengajak mereka untuk diam sejenak, merenung, dan mungkin merasa sedikit lebih manusiawi.
Latar hidupnya yang berpindah dari Jakarta ke Telukbetung juga menciptakan semacam ketegangan emosional yang menarik dalam puisinya. Di satu sisi, ada semangat urban yang membayang; di sisi lain, ada kerinduan pada tanah, pada alam, pada keseharian yang bersahaja. Ketegangan itu membuat puisi-puisinya tidak datar. Ia menjadi semacam jembatan antara modernitas kota dan kedalaman lokalitas.
Yang mencolok dari karya Iwan Fridolin adalah kepedulian kemanusiaan yang lembut tetapi kuat. Ia tidak menulis slogan atau kritik sosial secara lantang, tetapi menyelipkan permenungan tentang penderitaan, kesendirian, dan harapan melalui imaji-imaji yang puitis dan penuh empati. Ia menyentuh isu besar dengan cara yang sunyi, dan karena itu justru lebih menggugah.
Kepekaan inilah yang menjadikan Iwan Fridolin sebagai penyair yang mendalam—ia menulis bukan untuk mengejutkan, tetapi untuk mengingatkan. Puisinya mengandung semacam spiritualitas tersembunyi, bukan dalam arti religius, tetapi dalam rasa hormat terhadap pengalaman manusia, baik yang indah maupun yang getir.
Sayangnya, seperti banyak penyair yang tidak terlalu mengejar gemerlap publikasi atau popularitas media, karya-karya Iwan Fridolin bisa dibilang jarang dibukukan atau dikaji secara luas. Ini sebuah kehilangan bagi sastra Indonesia. Dalam atmosfer sastra yang kadang terlalu sibuk dengan wacana tren atau identitas, suara seperti Iwan Fridolin justru penting—sebagai pengingat bahwa puisi juga tentang kesetiaan kepada nurani, tentang menjaga kemanusiaan dalam bentuk yang paling jujur.
Keberadaannya di majalah Horison adalah bukti bahwa ia bukan nama sembarangan. Horison adalah panggung bergengsi yang selektif terhadap kualitas, dan kehadiran Iwan Fridolin di sana menandakan betapa puisinya memiliki bobot. Ia bukan penyair yang menulis untuk mengejar publikasi, tetapi penyair yang menulis karena memang perlu, karena puisi baginya adalah bagian dari hidup, bukan sekadar profesi atau pencitraan.
Maka dari itu, jika kita berbicara tentang peta puisi Indonesia, Iwan Fridolin layak untuk mendapat tempat yang lebih layak dalam ingatan dan penghargaan. Ia adalah suara dari Telukbetung yang mengalir pelan, namun meninggalkan jejak dalam—seperti riak air yang tak terlihat riuh, tapi terus menyentuh dasar hati.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Iwan Fridolin untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.