Kasim Mansur adalah nama yang mungkin kurang sering terdengar dalam diskusi arus utama sastra Indonesia, namun posisinya dalam sejarah puisi Indonesia modern justru mencerminkan perjalanan batin dan sejarah bangsa yang kompleks. Lahir di Surabaya pada 1 Mei 1923, Kasim Mansur merupakan bagian dari generasi yang tumbuh di tengah bayang-bayang kolonialisme, menyaksikan Jepang datang dan pergi, lalu menyambut revolusi kemerdekaan dengan pena dan kata-kata. Seperti halnya banyak penulis sezamannya, ia menjadikan puisi sebagai alat perjuangan, sekaligus ruang permenungan spiritual.
Dalam rentang 1946—1952, puisi-puisi Kasim Mansur banyak dimuat di berbagai media yang kala itu menjadi garda depan pergerakan kebudayaan dan nasionalisme, seperti Pudjangga Baroe, Mimbar Indonesia, Arena, hingga Gelombang Zaman. Puisi-puisinya tidak berdiri di menara gading estetika semata; ia hadir dalam konstelasi waktu yang penuh gejolak, di mana kata-kata bukan hanya untuk dibaca, tetapi juga untuk membakar semangat, menyuarakan keresahan, dan mencatat luka kolektif sebuah bangsa yang tengah berjuang merebut martabatnya.
Namun, sisi menarik dari Kasim Mansur bukan hanya pada keterlibatannya dalam diskursus revolusi, melainkan pada transformasi estetik yang dialaminya. Menurut pengamatan H.B. Jassin, sosok sahabat sekaligus kritikus terkemuka yang sangat menghargai karya Kasim, puisi-puisi Kasim Mansur pada akhirnya berkembang ke arah simbolik dan mistik. Ini adalah arah yang menarik, sebab menunjukkan bahwa sang penyair tidak terjebak dalam retorika perlawanan yang stagnan, tetapi terus bergerak, mencari kedalaman makna dalam keheningan spiritual.
Peralihan dari puisi revolusioner ke puisi simbolik dan mistik menunjukkan semacam kegelisahan eksistensial. Setelah darah, peluh, dan air mata perjuangan ditumpahkan, apa yang tersisa? Mungkin bagi Kasim Mansur, jawaban atas kekosongan itu ditemukan dalam dunia simbol dan kepercayaan akan sesuatu yang transenden. Dalam puisinya yang berjudul Perang dan Cinta—yang kemudian diabadikan dalam buku Perintis Sastera (1951)—kita bisa menangkap dualitas antara kehancuran dan harapan, antara kekerasan sejarah dan kelembutan rasa.
Kehadiran Kasim Mansur dalam antologi Gema Tanah Air yang dihimpun H.B. Jassin pada 1948 menjadi bukti penting bahwa suara puisinya diakui sebagai bagian dari napas nasionalisme kebudayaan Indonesia. Ia juga tercatat dalam Bibliografi Karya Sastra Indonesia oleh Kratz (1988), dengan 68 puisi dan 3 cerpen, yang menegaskan bahwa kontribusinya tidaklah marginal.
Namun, seperti banyak penyair yang hidup dalam bayang-bayang tokoh besar lainnya, nama Kasim Mansur kemudian seperti tenggelam. Ini adalah ironi dalam sejarah sastra kita: penyair yang mencatat dan menyuarakan denyut nadi bangsanya justru terlupakan oleh generasi setelahnya. Mungkin karena ia tidak membangun narasi "keakuan" yang keras atau tidak cukup aktif dalam panggung-panggung kebudayaan formal. Tapi sesungguhnya, di balik itu semua, Kasim Mansur telah meninggalkan jejak penting—sebuah suara yang mengalir dari darah revolusi menuju sunyi mistik yang dalam.
Membaca kembali Kasim Mansur hari ini bukan sekadar nostalgia, melainkan sebuah keharusan. Ia mewakili siklus lengkap seorang penyair: dari penyaksi sejarah, penyambung lidah rakyat, hingga menjadi perenung hakikat hidup. Dalam masa ketika puisi sering kali tereduksi menjadi ekspresi pribadi yang dangkal, sosok seperti Kasim Mansur justru memberikan pelajaran penting tentang keterlibatan, kedalaman, dan evolusi kesadaran seorang penyair.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Kasim Mansur untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.