Leon Agusta, atau Ridwan Ilyas Sutan Badaro, bukan sekadar nama dalam daftar panjang penyair Indonesia. Ia adalah sosok yang memilih jalan sunyi untuk menulis, bukan sebagai pekerjaan, bukan pula demi tujuan menjadi penyair, melainkan karena hasrat batin yang tak bisa disangkal. Lahir di Sigiran, Maninjau, Sumatra Barat, pada 5 Agustus 1938 dan wafat di Padang pada 10 Desember 2015, Leon menyisakan jejak mendalam di dunia sastra Indonesia. Puisi baginya bukan medium pencapaian, melainkan wadah pencarian. Ungkapan terkenalnya, "Menulis puisi bukan pekerjaan, menjadi penyair bukan tujuan," mencerminkan keyakinan bahwa puisi adalah bagian dari eksistensi, bukan sekadar profesi.
Buku Tunggal
- Monumen Safari: kumpulan puisi (1966)
- Lagu Senja dari Tenggara: kumpulan puisi (1974)
- Catatan Putih: kumpulan puisi (1975)
- Di Sudut-Sudut New York itu: novel (1977)
- Di Bawah Bayangan Sang Kekasih: novel (1978)
- Kisah Kepergiannya: novel (1979)
- Hukla: kumpulan puisi (1979)
- Berkemah dengan Putri Bangau: kumpulan puisi anak-anak (1981)
- Hedona dan Masochi: kumpulan cerpen (1984)
- Hedona dan Masochi: kumpulan cerpen (1984)
- Gendeng Pengembara: kumpulan puisi (2012)
Dari Guru ke Dunia Puisi
Perjalanan hidup Leon bermula dari dunia pendidikan. Setelah menamatkan Sekolah Guru A (SGA) di Payakumbuh tahun 1956, ia mengajar di Sekolah Guru B (SGB) Bengkalis selama delapan tahun. Namun, pekerjaan ini tidak cukup menampung gelora batinnya. Ia merasa tidak selaras dengan rutinitas formal. Di sinilah titik tolaknya meninggalkan kenyamanan dan memilih menekuni puisi sebagai jalan hidup. Pilihan itu bukan tanpa risiko. Ia sadar, menjadi penyair tak akan mencukupi kebutuhan keluarga. Maka ia memperluas cakrawala: menulis cerita pendek, novel, esai, hingga menerjemahkan naskah drama dan artikel asing.
Leon bahkan pernah bekerja di night club—sebuah realitas yang tidak lazim bagi seorang sastrawan, tetapi menunjukkan kesediaannya menapaki jalan hidup dengan penuh kejujuran dan keberanian. Semua itu menjadi bagian dari mozaik perjalanan yang memperkaya perspektif dalam karya-karyanya.
Penyair dengan Latar Hidup yang Luka
Karya-karya Leon menyimpan aura melankolis yang kental. Banyak yang menyebutnya sebagai “penyair berwajah sayu” yang menciptakan puisi-puisi sendu. Namun, melankolia dalam sajak-sajaknya bukanlah hasil reka-rekaan puitis. Itu lahir dari pengalaman traumatik: ayahnya dibunuh oleh PRRI, kakaknya—anggota PRRI—tewas tertembak tentara, dan adik perempuannya diculik oleh kelompok yang sama. Kehilangan beruntun itu menorehkan luka mendalam, yang kemudian bertransformasi menjadi puisi-puisi penuh penghayatan tentang kehilangan, cinta, kematian, dan absurditas hidup.
Leon tidak pernah menjual kesedihannya, tapi ia memahatnya dalam bait demi bait yang jujur dan tajam. Puisi-puisinya menjadi tempat persembunyian dan perlawanan sekaligus: sembunyi dari ingatan yang menyakitkan dan melawan kenyataan yang brutal.
Antara Teater, Sastra, dan Dunia
Leon adalah seniman multidimensi. Selain menulis puisi dan prosa, ia juga aktif dalam dunia teater. Ia memimpin Bengkel Teater Padang (1971–1974), yang kala itu menjadi salah satu titik vital perkembangan seni pertunjukan di Sumatra Barat. Ia bahkan berkeliling ke kota-kota pusat teater di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada 1977, dan menghadiri Festival Teater Internasional di Nancy, Prancis. Ia bukan sekadar pengamat, melainkan pelaku seni yang haus akan perkembangan global.
Keikutsertaannya dalam International Writing Program di University of Iowa (1976–1977) menempatkannya dalam lingkaran penulis dunia. Di sanalah ia memperluas jaringan, menyerap perspektif baru, dan menyegarkan narasi-narasi lokal Indonesia melalui lensa global. Namun, meski sempat mencicipi atmosfer sastra Barat, Leon tetap teguh dengan akar kebudayaannya.
Gaya dan Estetika yang Unik
Puisi-puisi Leon tidak mudah dikotakkan dalam satu gaya. Ia mampu bermain di antara romantisme dan absurditas, antara prosa liris dan narasi teatrikal. Dalam Monumen Safari (1966), kita menjumpai kekayaan metafora yang nyaris surealis. Dalam Gendeng Pengembara (2012), ada nuansa kegilaan yang dikemas dengan elegan dan satiris. Ia juga menunjukkan kedekatan dengan budaya anak-anak melalui Berkemah dengan Putri Bangau (1981), yang membuktikan bahwa imajinasi Leon tidak terkungkung oleh batas usia pembaca.
Dalam banyak puisinya, ia menyisipkan pengamatan sosial secara halus namun tajam. Ia menggabungkan kekayaan bahasa Minang, Betawi, dan Inggris yang ia kuasai, menciptakan warna lokal-global yang khas. Leon tahu bagaimana membuat puisi menjadi relevan tanpa kehilangan keindahan.
Bukan Nama, Tapi Jejak
Nama Leon Agusta mungkin tidak sefamiliar Chairil Anwar atau Sapardi Djoko Damono di telinga masyarakat umum. Tapi dalam khazanah sastra Indonesia, jejaknya tidak bisa diabaikan. Ia menulis sejak 1958, dan terus konsisten hingga akhir hayatnya. Puisi-puisinya pernah dimuat di Horison, Dewan Sastra, dan media sastra Malaysia. Ia juga hadir secara fisik dalam berbagai forum sastra internasional. Tidak banyak penyair Indonesia yang mempunyai pengalaman sekomprehensif itu.
Salah satu kekuatan Leon adalah konsistensinya: menulis puisi tidak untuk dipuji atau dikenang, melainkan karena dorongan internal yang terus membara. Bahkan ketika menulis novel dan cerpen, ia tetap lebih dikenal sebagai penyair. Bukan karena prosa-prosanya buruk, tetapi karena puisinya terlalu kuat untuk dilupakan.
Kehidupan Pribadi yang Tak Lazim
Dalam hal kehidupan pribadi, Leon juga memilih jalan yang tidak umum. Ia menikah dua kali—pertama dengan Lisa dari Padang (1966) dan kedua dengan Maggie dari Amerika (1978). Dari dua pernikahan itu, ia dikaruniai sebelas anak. Maggie, yang ia temui saat mengikuti program di Iowa, adalah pengajar seni dan alumni Jurusan Fine Art. Hubungan mereka menjadi contoh perjumpaan antara dua dunia: Minangkabau dan Amerika, tradisi dan modernitas.
Pilihan hidupnya yang melampaui batas-batas konvensional sejalan dengan puisi-puisinya yang menolak dikurung dalam pola tetap. Ia hidup sebagai seniman dalam arti paling sejati: tidak tunduk pada aturan sosial, tidak tunduk pada pasar, dan tidak tunduk pada glamorisasi sastra.
Warisan dan Peringatan
Sejak kepergiannya pada 10 Desember 2015, dunia sastra Indonesia kehilangan salah satu suara yang paling otentik dan melankolis. Namun, karya-karya Leon tetap hidup. Ia telah menulis puluhan buku, dari Monumen Safari hingga Gendeng Pengembara, dari Catatan Putih hingga Hukla. Kumpulan puisinya menjadi saksi perjalanan panjang seorang anak Maninjau yang menolak menjadi guru biasa dan memilih menjadi penyair luar biasa.
Puisi Leon bukan untuk dibaca sekali lalu ditinggalkan. Ia seperti sumur dalam yang menuntut pembaca untuk terus menimba. Membaca puisinya adalah membaca hidup, bukan kehidupan yang penuh glamor, tapi kehidupan yang penuh luka, kegetiran, cinta, dan keteguhan.
Menjadi Penyair Tanpa Pernah Memintanya
Leon Agusta adalah penyair yang tidak mengejar status sebagai penyair. Ia tidak menciptakan karya demi reputasi, tapi demi kejujuran pada dirinya sendiri. Justru karena itulah, puisinya menyentuh dan berdaya tahan. Ia membuktikan bahwa puisi tidak perlu megah untuk bermakna, tidak perlu dikenal untuk abadi.
Ketika dunia terus sibuk merayakan nama-nama besar, Leon Agusta tetap berdiri di sudutnya yang sunyi, melantunkan puisi seperti doa yang lahir dari luka, pengembaraan, dan cinta. Ia tidak pernah meminta dikenang, tapi siapa pun yang membaca karyanya akan sulit untuk melupakannya.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Leon Agusta untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.
