Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kumpulan Puisi karya Melki Deni

Di tengah gempuran dunia digital yang makin tak terbendung, muncul suara-suara muda dari daerah yang justru tak kalah lantang dalam menyuarakan kegelisahan zaman. Salah satu suara itu adalah Melki Deni, seorang penyair muda asal Flores, Nusa Tenggara Timur, yang menempuh studi di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere. Dalam usia yang relatif muda, Melki telah merilis buku puisi perdananya bertajuk TikTok. Aku Tidak Klik Maka Aku Paceklik! (Yogyakarta: Moya Zam Zam, 2022)—sebuah judul yang tampaknya lebih dari sekadar permainan kata, melainkan sebuah kritik tajam yang dibungkus dalam semangat jenaka dan reflektif.

Membicarakan Melki Deni bukan hanya tentang membicarakan seorang mahasiswa yang kebetulan menulis puisi. Ia adalah figur yang merumuskan ulang makna penyair dalam konteks digital dan lokalitas yang saling bertubrukan. Lahir dan dibesarkan di wilayah pinggiran yang kaya secara kultural namun kerap terpinggirkan secara wacana, Melki membuktikan bahwa puisi bukan lagi milik pusat. Ia menjadikan Ledalero bukan hanya tempat studi, tetapi juga landasan spiritual dan intelektual untuk melahirkan puisi-puisi yang menggugat zaman.

Antara Klik dan Paceklik: Kritik Sosial yang Halus tapi Menggigit

Judul buku puisinya, TikTok. Aku Tidak Klik Maka Aku Paceklik!, sudah cukup menjadi semacam manifesto. TikTok, sebagai representasi era platform dan algoritma, dijadikan simbol kehidupan modern yang serba cepat, singkat, dan kadang hampa. Di sisi lain, frasa “tidak klik maka aku paceklik” adalah kiasan yang ironis sekaligus reflektif. Sebab dalam dunia konten saat ini, eksistensi seseorang bisa semudah satu sentuhan jempol, dan seketika juga bisa dilupakan dalam gulungan waktu tiga detik. Jika tidak viral, maka tidak makan. Jika tidak terlihat, maka tidak dianggap. Inilah zaman absurditas yang coba ditelanjangi Melki.

Puisi Melki Deni

Namun, Melki tidak menyampaikan kritik sosial dengan cara yang berat atau berpretensi tinggi. Ia mengemas puisi-puisinya dengan metafora ringan, dialog sehari-hari, dan simbol-simbol kekinian yang dekat dengan pembaca muda. Dalam beberapa puisinya, ia menyisipkan humor satir, menjadikan puisi bukan menara gading, tetapi warung kopi tempat berbagi keresahan dan tawa. Pendekatan semacam ini mengingatkan bahwa puisi tak harus selalu rumit untuk bisa menyentuh.

Suara Lokal yang Mengglobal

Melki Deni tumbuh dan besar di Flores, sebuah pulau dengan tradisi sastra lisan yang kuat, ritus-ritus adat yang kaya, dan lanskap yang puitis secara alami. Tak heran jika sebagian puisinya menyimpan jejak bunyi-bunyi lokal, aroma tanah, bahkan denyut religiusitas yang khas dari NTT. Namun menariknya, puisi-puisi ini tidak semata berkutat pada romantisme lokal. Melki justru membawa lokalitas itu ke tengah arus globalisasi, menjadikannya semacam poros untuk melawan homogenisasi budaya.

Karya-karyanya tidak jatuh pada glorifikasi kampung halaman semata, melainkan menjadikannya tempat pijak untuk mengkritik perubahan sosial, merespons ketimpangan digital, hingga mempertanyakan makna kemanusiaan dalam sistem ekonomi klikbait.

Dari Ledalero ke Layar: Tradisi dan Teknologi dalam Napas Puisi

Sebagai mahasiswa, tentu Melki Deni hidup dalam atmosfer akademik yang kental dengan filsafat, teologi, dan humaniora. Hal ini tampak dari kedalaman diksi dan kontemplasi dalam puisi-puisinya. Ia bukan sekadar memotret realitas, tetapi juga menginterogasinya. Ada semacam kesadaran reflektif dalam puisinya yang mengingatkan pada tugas filosofis: bertanya, meragukan, dan mencari makna yang tersembunyi di balik wajah dunia.

Menariknya, pemikiran filosofis ini justru hadir dalam medium yang sangat modern: buku puisi berjudul TikTok! Inilah paradoks yang memperkaya pembacaan atas Melki Deni. Ia berdiri di tengah dua dunia—tradisi dan teknologi—dan tidak memilih salah satunya. Ia menulis bukan untuk mengasingkan diri dari zaman, melainkan untuk berdialog dengannya, bahkan jika perlu, mengganggunya.

Penyair Muda, Jalan Panjang

Melki Deni adalah representasi dari gelombang penyair muda Indonesia. Karya-karya seperti miliknya menunjukkan bahwa pusat kebudayaan hari ini bisa berpindah dengan sangat cair, terutama dalam era internet yang mendekatkan jarak geografis namun memperlebar jurang kesenjangan wacana.

Sebagai penyair muda, jalan Melki tentu masih panjang. Buku pertamanya ini adalah permulaan yang menjanjikan, tapi juga menjadi tantangan. Ia sudah menunjukkan keberanian untuk mengangkat isu-isu yang tak lazim diangkat oleh penyair muda: ekonomi digital, eksistensialisme media sosial, hingga kegetiran hidup di balik layar ponsel. Ke depan, tantangan Melki adalah menjaga konsistensi sekaligus eksplorasi. Ia harus tetap menggali kedalaman pikirannya tanpa kehilangan kesegaran bentuk.

Yang menarik dari Melki adalah semangatnya untuk menjadikan puisi sebagai alat perubahan—bukan dalam pengertian klise revolusioner, tapi sebagai ruang refleksi yang merangsang nalar dan rasa. Ia adalah suara yang tidak berteriak, tapi mampu menampar. Ia tidak menggurui, tapi mengundang pembaca untuk berdiskusi.

Menanti Ledakan Berikutnya

Jika TikTok. Aku Tidak Klik Maka Aku Paceklik! adalah letupan awal, maka publik sastra Indonesia layak menanti ledakan-ledakan berikutnya dari Melki Deni. Akan sangat menarik melihat bagaimana ia berkembang, baik secara bentuk maupun isi, apakah akan terus bergulat dengan tema-tema digital dan budaya populer, ataukah akan menggali lebih dalam akar-akar kultural dari Flores yang menjadi rahim puisinya.

Apapun itu, Melki telah menempatkan dirinya sebagai salah satu suara penting dalam peta puisi Indonesia kontemporer—seorang penyair muda yang tak hanya menulis tentang dunia, tapi juga menulis untuk menantangnya. Dari Ledalero yang tenang, ia mengirim pesan yang nyaring: bahwa puisi masih relevan, bahkan di era klik dan paceklik.

Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Melki Deni untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.

    Kumpulan Puisi karya Melki Deni

© Sepenuhnya. All rights reserved.