Di antara riuh-rendah sejarah kesusastraan Indonesia, nama N. A. Hadian mungkin tidak bergema sekuat Chairil Anwar atau Taufiq Ismail. Namun bagi siapa pun yang bersinggungan serius dengan puisi Indonesia, terutama dari Sumatera Utara, nama ini adalah nyala api yang tak pernah padam. Hadian, yang lahir di Medan pada 21 September 1932 dan wafat pada 22 Maret 2007, adalah penyair dengan ketekunan yang tak bisa diremehkan. Ia bukan sekadar penulis puisi, melainkan pengembara spiritual dan sosial yang menapaki kehidupan dengan bait-bait sebagai pijakan, dan rakyat sebagai tujuannya.
Dijuluki “Presiden Puisi,” N. A. Hadian adalah sebuah fenomena yang langka dalam khazanah sastra kita. Bukan karena ia memenangkan banyak penghargaan bergengsi, melainkan karena kehidupannya sendiri adalah puisi yang tak berhenti mengalir. Ia menjadikan puisi sebagai jalan hidup, bukan sekadar ekspresi estetika. Baginya, puisi adalah alat perlawanan, sarana pembebasan, dan bentuk cinta paling jujur kepada masyarakatnya.
Puisinya: Pendek, Tajam, Penuh Jiwa
Puisi-puisi N. A. Hadian dikenal pendek, nyaris seperti haiku dalam bentuk Indonesia yang lebih riuh dan berani. Namun di balik pendeknya baris-baris itu, terkandung semangat pemberontakan dan kedalaman makna yang luar biasa. Tak perlu panjang-panjang—cukup beberapa bait saja, ia sudah mampu membedah kenyataan sosial dan menyayat nurani pembacanya.
Satu hal yang paling menonjol dalam puisinya adalah diksi. Ia pandai memilih kata, tidak pernah mubazir. Kata-kata yang muncul dalam puisinya bukan sekadar hiasan, melainkan semacam senjata kecil yang tepat sasaran. Di saat banyak penyair lebih asyik dengan keindahan bentuk, N. A. Hadian berjuang menyuntikkan makna yang menggugah. Puisinya bukan tempat berlindung dari realitas, melainkan ruang perlawanan terhadap absurditas dunia.
Hidupnya: Puisi yang Berjalan Kaki
Yang paling menyentuh dari N. A. Hadian bukan hanya karyanya, melainkan cara ia menjalani hidup. Bayangkan seorang penyair yang dijuluki "Presiden Puisi" masih harus menjual puisinya dari tangan ke tangan demi menyambung hidup. Ia membawa dus berisi buku puisi ke fakultas-fakultas, menyapa dosen dan mahasiswa, dan tidak sekali pun merasa malu. Di situ letak keagungannya—kesederhanaan yang tulus, dan keyakinan bahwa puisi bisa menjadi bekal hidup meski tidak menghasilkan kekayaan materi.
Ia tidak pernah memanfaatkan kedekatannya dengan pejabat untuk memperkaya diri. Meski berteman dengan tokoh-tokoh penting, ia tetap memilih berjalan kaki di kota Medan, membawa buku di atas kepalanya sebagai peneduh sekaligus penanda identitasnya. Dalam zaman ketika segala sesuatu diukur dengan materi dan pencitraan, N. A. Hadian hadir sebagai anomali yang mengingatkan kita akan nilai yang sesungguhnya dari sebuah kehidupan berkesenian: kejujuran, integritas, dan pengabdian.
Sastra Sebagai Pengabdian, Bukan Panggung Ketokohan
Bagi N. A. Hadian, menjadi penyair bukanlah karier atau status sosial—melainkan laku hidup. Ia menulis bukan untuk dipuja, tapi untuk menghidupkan. Ia menyisipkan puisi dalam setiap interaksinya: kepada petugas kebersihan, mahasiswa, wartawan, pejabat. Ia menulis untuk menyembuhkan, menguatkan, memberi arah. Puisi adalah tangannya yang menjangkau masyarakat. Bukan hanya karya sastra, tapi juga aksi kemanusiaan.
Dalam masyarakat yang semakin terasing dari kesusastraan, sikap N. A. Hadian menjadi relevan lebih dari sebelumnya. Ia tidak menunggu undangan resmi atau panggung megah untuk menyuarakan puisinya. Ia menggelar panggungnya sendiri, di jalan-jalan kota, di kampus, di tengah masyarakat. Bahkan ketika sakit dan nyaris tak berdaya, ia tetap menulis. Dunia boleh menutup pintu, tapi ia membuka jendela kata-kata.
Warisan yang Terlupakan dan Upaya Menghidupkannya Kembali
Sayangnya, seperti banyak penyair besar di negeri ini, penghargaan kepada N. A. Hadian lebih banyak datang setelah ia tiada. Hidupnya diabaikan, perjuangannya dipandang sebelah mata. Padahal kontribusinya terhadap dunia sastra—khususnya puisi Sumatera Utara—sangat besar. Beruntung, masih ada komunitas seperti Komunitas Katakata di Taman Budaya Sumatera Utara yang mencoba menghargainya dengan menerbitkan buku puisinya berjudul Catatan dari Kamar Tua.
Buku ini bukan hanya himpunan karya, tapi juga bentuk perlawanan terhadap kelupaan kolektif. Ketika negara dan institusi formal gagal mengakui pentingnya peran seorang seniman, masyarakatlah yang harus mengambil alih. Penerbitan ini, meski sederhana, adalah tanda bahwa puisi N. A. Hadian tetap hidup, tetap berdetak di hati orang-orang yang peduli pada nilai kemanusiaan.
N. A. Hadian dan Tanggung Jawab Moral Kita
Dari N. A. Hadian, kita belajar bahwa seni bukan soal kemewahan atau pamor, tapi soal kejujuran dan keberanian. Puisi bukan sekadar komoditas untuk dibanggakan di festival, melainkan alat untuk menyampaikan rasa, suara, dan nurani.
Kini, setelah kepergiannya, saatnya kita bertanya: apakah kita akan terus melupakan mereka yang telah memberi nyawa pada dunia sastra kita? Ataukah kita akan mulai menghargai, bukan hanya saat mereka telah tiada, tetapi saat mereka masih hadir di tengah kita?
Presiden Puisi yang Membumi
N. A. Hadian bukan hanya seorang penyair—ia adalah sebuah pernyataan. Bahwa sastra bisa hidup berdampingan dengan rakyat, bahwa puisi bisa menjadi jalan spiritual, sosial, dan intelektual. Di era ketika sastra kerap menjadi produk eksklusif untuk segelintir elit, sosok seperti N. A. Hadian hadir sebagai pengingat bahwa yang paling penting dari sebuah puisi bukanlah bentuk atau tepuk tangan—melainkan ketulusannya menyapa manusia.
“Puisiku untuk rakyat, meski tidak memiliki wilayah,” katanya. Dan memang benar, puisinya hidup tanpa batas, menembus sekat, dan menyentuh siapa saja yang masih percaya bahwa kata bisa menjadi cahaya.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya N. A. Hadian untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.