Japi Panda Abdiel Tambajong, yang lebih dikenal dengan nama pena Remy Sylado, adalah salah satu tokoh besar dalam dunia sastra, seni, dan budaya Indonesia. Lahir pada 12 Juli 1945 di Malino, Makassar, ia dikenal sebagai sastrawan, dosen, novelis, penulis, penyanyi, aktor, dan mantan wartawan. Dengan karier yang membentang lebih dari lima dekade, Remy Sylado memberikan kontribusi luar biasa dalam berbagai bidang seni dan sastra di Indonesia.
Karier dan Kontribusi di Dunia Seni
Sebagai aktor, Remy tampil dalam berbagai film layar lebar, mendapatkan apresiasi kritis atas perannya dalam film seperti Tinggal Sesaat Lagi (1986), Akibat Kanker Payudara (1987), dan 2 dari 3 Laki-Laki (1989), yang membuatnya dinominasikan untuk Piala Citra sebagai Aktor Pendukung Terbaik di Festival Film Indonesia. Salah satu film populer yang diadaptasi dari novelnya adalah Ca-bau-kan (2002), berdasarkan novel Ca-bau-kan: Hanya Sebuah Dosa (1999).
Dalam bidang sastra, Remy adalah pelopor gerakan puisi mbeling, yang muncul pada dekade 1970-an. Gerakan ini mendobrak konvensi puisi konvensional dengan gaya yang lebih bebas, kritis, dan dekat dengan realitas sosial. Dalam esainya, ia mengkritik kemapanan dalam dunia sastra yang dinilainya terlalu elitis dan kaku.
Selain itu, Remy juga dikenal sebagai seorang Munsyi, yaitu ahli bahasa yang aktif menggali dan mengenalkan kembali kosa kata bahasa Indonesia yang sudah jarang digunakan. Ia menguasai berbagai bahasa asing dan sering menulis dengan pendekatan linguistik yang mendalam. Karyanya seringkali didukung dengan riset yang ekstensif, termasuk penelusuran arsip-arsip lama di Perpustakaan Nasional maupun luar negeri.
Pendidikan dan Latar Belakang
Remy Sylado dibesarkan dalam lingkungan keluarga Tambajong di Makassar, kemudian menghabiskan masa kecil dan remajanya di Semarang dan Solo. Latar belakang agamanya yang kuat membuatnya sempat dikirim ke seminari oleh orang tuanya. Ia melanjutkan pendidikannya di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Solo dan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Selain itu, ia juga menempuh pendidikan di Akademi Bahasa Asing di Jakarta.
Di dunia jurnalistik, ia mengawali kariernya sebagai wartawan di harian Sinar Harapan (1963–1965) dan kemudian menjadi redaktur di berbagai media seperti Tempo (Semarang, 1965–1966), Aktuil (Bandung, 1970-an), Top (1973–1976), Fokus (1982–1984), dan Vista (1984). Selain itu, ia juga mengajar di Akademi Sinematografi Bandung sejak 1971.
Karya-Karya Remy Sylado
Sebagai penulis produktif, Remy Sylado telah menelurkan berbagai karya dalam berbagai genre, mulai dari novel, puisi, esai, hingga kritik sastra dan musik. Beberapa novel terkenalnya antara lain:
- Ca-bau-kan: Hanya Sebuah Dosa (1999)
- Kerudung Merah Kirmizi (2002) – Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa
- Paris van Java (2005)
- Sam Po Kong (2011)
Selain novel, Remy juga menulis buku nonfiksi dan esai kritis tentang musik, seperti Menuju Apresiasi Musik (1983). Sebagai musisi, Remy menyalurkan gagasannya melalui Remy Sylado Company, sebuah kelompok musik yang mengusung genre rock dan country. Ia juga menulis lirik-lirik lagu yang dipengaruhi oleh kritik sosial, seperti yang tergambar dalam narasi Organisasi Sex Bebas (Orexas) di majalah Aktuil.
Puisi Mbeling dan Perlawanan terhadap Kemapanan Sastra
Remy Sylado mencetuskan puisi mbeling, sebuah gerakan sastra yang menentang estetika konvensional yang dianggap terlalu formal dan elitis. Dalam puisi mbeling, bahasa sehari-hari, bahkan yang dianggap kasar atau tabu, bisa digunakan selama tetap memiliki dampak sosial dan menyampaikan pesan dengan kuat. Gerakan ini merupakan bentuk kritik terhadap sikap feodal Orde Baru yang menurut Remy terlalu kaku dalam seni dan budaya.
Salah satu kutipannya yang terkenal dalam konteks ini adalah:
"Puisi adalah pernyataan akan apa adanya. Jika puisi adalah apa adanya, dengan begitu terjemahan mentalnya hendaknya diartikan bahwa tanggung jawab moral seorang seniman ialah bagaimana ia memandang semua kehidupan dalam diri dan luar lingkungannya secara menyeluruh, lugu, dan apa adanya."
Ciri Khas dan Kepribadian
Selain karya-karyanya yang unik, Remy Sylado juga dikenal dengan gaya berpakaian serba putih yang khas. Penampilannya ini terinspirasi oleh Elvis Presley, salah satu tokoh musik yang dikaguminya. Ia juga tetap menggunakan mesin ketik dalam menulis karya-karyanya, menunjukkan dedikasi dan kedisiplinan dalam berkarya secara otentik.
Selain aktif di bidang sastra dan film, Remy Sylado juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai seminar, terutama dalam bidang teologi dan budaya. Sebagai akademisi, ia pernah mengajar di beberapa perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta, seperti Akademi Sinematografi, Institut Teater dan Film, serta Sekolah Tinggi Teologi.
Warisan dan Pengaruhnya dalam Sastra Indonesia
Kepergian Remy Sylado pada 12 Desember 2022 meninggalkan duka mendalam bagi dunia sastra dan seni Indonesia. Namun, karya-karyanya tetap hidup dan terus mempengaruhi generasi penulis serta seniman yang datang setelahnya. Sebagai seorang inovator dalam berbagai bidang seni, ia telah membuka jalan bagi banyak seniman muda untuk berani berekspresi dan menantang batasan-batasan yang ada dalam dunia sastra, musik, dan seni peran.
Dengan dedikasinya yang tinggi terhadap seni dan budaya, Remy Sylado telah menciptakan warisan yang tak ternilai bagi Indonesia. Gagasan-gagasannya tentang kebebasan berekspresi, keberanian melawan konvensi, serta eksplorasi mendalam terhadap bahasa dan sejarah tetap relevan hingga kini. Nama Remy Sylado akan terus dikenang sebagai sosok yang telah memperkaya dan membentuk lanskap sastra dan seni Indonesia dengan penuh keberanian dan orisinalitas.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Remy Sylado untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.
