Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kumpulan Puisi karya Sindhunata

Di tengah gejolak arus modernitas yang sering kali menenggelamkan akar budaya dan kearifan lokal, nama Sindhunata berdiri kokoh sebagai suara yang terus menggemakan semangat spiritualitas dan kebijaksanaan dalam bingkai sastra Indonesia. Lebih dari sekadar penyair atau novelis, Sindhunata adalah seorang imam, intelektual, dan penjaga budaya yang mempersembahkan karya-karyanya sebagai ziarah batin—sebuah perenungan panjang tentang kemanusiaan, identitas, dan harapan.

Nama lengkapnya adalah Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J., seorang imam Katolik dari Ordo Serikat Yesus (Yesuit) yang lahir dengan nama Liem Tiong Sien pada 12 Mei 1952 di Kota Batu, Jawa Timur. Nama pena "Sindhunata" kemudian menjadi penanda karya-karya yang tidak hanya sarat makna, tapi juga berakar dalam pada pengalaman hidup dan spiritualitas Jawa. Dalam balutan panggilan akrab “Rama Sindhu”, ia menulis dengan liris sekaligus filosofis, membaurkan iman dan kebudayaan, mistik dan logika, simbol dan realitas.

Buku Nonfiksi

  • Baba Bisa Menjadi Indonesier: Bung Hatta, Liem Koen Hian, dan Sindhunatha, Menyorot Masalah Cina di Indonesia (1988)
  • Hoffen auf den Ratu-Adil: das eschatologische Motiv des "Gerechten Königs" im Bauernprotest auf Java während des 19. und zu Beginn des 20. Jahrhunderts (1992, Disertasi)
  • Sayur Lodeh Kehidupan: Teman dalam Kelemahan (1998, Editor)
  • Sisi Sepasang Sayap: Wajah-Wajah Bruder Jesuit (1998)
  • Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya (1999, Editor)
  • Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan: Mengenang Y.B. Mangunwijaya (1999, Editor)
  • Membuka Masa Depan Anak-Anak kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI (2000)
  • Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (2000, Editor)
  • Sakitnya Melahirkan Demokrasi (2000)
  • Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman: Pilihan Artikel Basis (2001, Editor)
  • Long and Winding Road, East Timor (2001)
  • Bola di Balik Bulan (2002)
  • Bola-Bola Nasib (2002)
  • Air Mata Bola (2002)
  • Jembatan Air Mata: Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur (2003)
  • Mengasih Maria: 100 tahun Sendangsono (2004, Editor)
  • Kambing Hitam: Teori Rene Girard (2006)

Buku Fiksi

  • Anak Bajang Menggiring Angin (1983)
  • Aburing Kupu-Kupu Kuning (1995)
  • Nderek Sang Dewi ing Ereng-erenging Redi Merapi (1995)
  • Semar Mencari Raga (1996)
  • Cikar Bobrok (1998)
  • Mata Air Bulan (1998)
  • Bayang-Bayang Ratu Adil (1999)
  • Bisikan Daun-Daun Sabda (2000)
  • Sumur Kitiran Kencana (2000)
  • Tak Enteni Keplokmu: Tanpa Bunga dan Telegram Duka (2000)
  • Air Kata-Kata (2003)
  • Ilmu Ngglethek Prabu Minohek (2004)
  • Segelas Beras untuk Berdua (2006)
  • Dari Pulau Buru ke Venesia (2006)
  • Burung-Burung di Bundaran HI (2006)
  • Ekonomi Kerbau Bingung (2006)
  • Petruk Jadi Guru (2007)
  • Putri Cina (2007)
  • Menyusu Celeng (2019)
  • Anak Bajang Mengayun Bulan (2022)

Penyair, Filosof, Imam: Tiga Nafas dalam Satu Tarikan

Keunikan Sindhunata terletak pada perpaduan identitas yang ia bawa. Sebagai imam Yesuit, ia terlatih dalam disiplin rohani dan intelektual; sebagai sastrawan, ia peka pada bahasa, irama, dan simbol; dan sebagai pemikir Jawa, ia akrab dengan dunia mitos dan spiritualitas lokal. Semua elemen ini menyatu dalam puisi-puisi dan prosa yang ia hasilkan, menciptakan semesta sastra yang tak hanya menyentuh pikiran tetapi juga menyapa hati pembacanya.

Puisi: Bisikan Daun-daun Sabda

Dalam kumpulan puisinya, Air Kata-Kata (2003), Sindhunata tidak sekadar menyusun larik-larik indah. Ia menyalurkan filosofi hidup, kritik sosial, hingga doa-doa yang membumi. Tak heran jika puisinya bisa melebur ke dalam budaya pop melalui transformasi menjadi lagu hip hop oleh musisi dari Jogja Hip Hop Foundation. “Ora Cucul Ora Ngebul”, “Ngelmu Pring”, hingga “Cintamu Sepahit Topi Miring” bukan hanya menghadirkan puisi ke pentas musik, tapi juga menjadikan sindiran sosial dan kebijaksanaan Jawa sesuatu yang relevan dan hidup dalam konteks kekinian.

Anak Bajang Menggiring Angin: Puisi dalam Wujud Prosa

Meski banyak dikenal sebagai penyair, karya yang paling melekat dalam benak publik adalah novelnya Anak Bajang Menggiring Angin (1983). Buku ini bukan sekadar novel adaptasi dari kisah Ramayana. Sindhunata membacakannya ulang dengan sensitivitas budaya dan spiritualitas yang dalam. Ia menggambarkan Rama bukan hanya sebagai pahlawan, melainkan sosok yang bergulat dengan takdir, pengorbanan, dan pertanyaan eksistensial. Prosa puitis yang digunakannya menjadi jembatan antara tradisi lisan Jawa dengan pemikiran teologis dan eksistensialis.

Novel ini adalah contoh nyata bagaimana Sindhunata membaurkan antara puisi, mitos, dan refleksi. Ia bukan sekadar mengangkat kisah wayang, tetapi merekonstruksi ulang mitos itu sebagai kendaraan untuk menyampaikan renungan filosofis. Dalam dunia di mana banyak sastra kontemporer lebih mengedepankan realisme keras dan eksplisit, Sindhunata tetap setia pada gaya puitik yang simbolik dan meditatif.

Simbolisme Jawa dan Mistisisme Sosial

Dalam banyak puisinya, Sindhunata menggunakan simbol-simbol yang bersumber dari alam, dunia pewayangan, dan kosmologi Jawa. Dalam puisinya yang diangkat menjadi lagu "Ngelmu Pring", misalnya, ia mengangkat bambu sebagai simbol keteguhan, kelenturan, dan kekosongan yang sarat makna. Pring bukan hanya batang tanaman; ia adalah falsafah hidup. Sindhunata mengajarkan bahwa dalam kekosongan, manusia bisa belajar menerima dan dalam kelenturan, manusia bisa bertahan dari kerasnya hidup.

Simbolisme yang digunakan bukanlah hiasan estetis belaka, melainkan jalan masuk menuju refleksi yang lebih dalam tentang kondisi manusia. Puisi-puisi Sindhunata kerap menghadirkan sosok seperti Semar, Petruk, dan tokoh-tokoh rakyat lainnya untuk menyuarakan kritik sosial secara halus namun tajam. Dalam "Petruk Jadi Guru" (2007), misalnya, ia menampilkan karakter punakawan sebagai pencerah di tengah kabut kekuasaan dan korupsi. Di sini, puisi bertransformasi menjadi suara protes yang cerdas dan penuh jenaka, tanpa kehilangan empati.

Sindhunata dan Keterlibatan Sosial

Puisi dalam pandangan Sindhunata bukan hanya untuk dinikmati secara estetis, tetapi juga menjadi instrumen kesadaran dan keterlibatan. Hal ini tampak dalam kiprahnya sebagai wartawan Kompas, editor majalah Basis, serta sebagai penggagas dan editor berbagai buku nonfiksi yang membedah isu sosial, pendidikan, dan politik. Ia menulis Sakitnya Melahirkan Demokrasi (2000) bukan sebagai agitasi, tapi sebagai ekspresi keprihatinan yang reflektif.

Sebagai imam, ia tidak berdiri di menara gading moral. Sebaliknya, ia masuk dalam pusaran penderitaan umat dan bangsa. Ia menulis tentang tragedi pengungsi Timor Timur dalam Jembatan Air Mata (2003) dengan sensitivitas spiritual yang tinggi, menjadikan puisi dan prosa sebagai bentuk pelayanan dan kesaksian.

Harapan Mesianik dan “Ratu Adil”

Disertasi doktoralnya di Hochschule für Philosophie München membahas konsep Ratu Adil sebagai harapan mesianik masyarakat Jawa. Ini bukan tema yang biasa dijumpai dalam karya akademis, namun Sindhunata menjadikannya sebagai inti pemikirannya yang kemudian banyak mewarnai karya-karya fiksinya. Dalam Bayang-Bayang Ratu Adil (1999), ia menggambarkan pencarian manusia Jawa akan keadilan dalam bentuk figur mitologis, yang sesungguhnya adalah refleksi dari kerinduan pada perubahan struktural dan spiritual.

Puisi dan prosa Sindhunata adalah bagian dari upaya membangun imajinasi kolektif tentang dunia yang lebih adil, sekaligus spiritual. Ia tidak menawarkan jawaban mudah. Seperti Semar yang bersifat ambigu—berwajah lucu tapi bersuara dalam—Sindhunata mengajak pembacanya menyelami ambiguitas hidup dengan kearifan, bukan kemarahan.

Sastra sebagai Perjalanan Rohani

Apa yang membuat puisi-puisi Sindhunata istimewa bukan semata karena kecakapan bahasanya, melainkan karena kedalaman rohaninya. Dalam setiap kata, ada semacam doa yang tak terucap; dalam setiap bait, ada kesunyian yang menyuarakan perenungan panjang tentang nasib, cinta, penderitaan, dan harapan. Ia tidak menulis untuk mengejutkan, tapi untuk menenangkan dan membangunkan.

Sindhunata menunjukkan bahwa sastra Indonesia masih memiliki ruang untuk spiritualitas dan keheningan. Bahwa di tengah kegaduhan dunia digital, masih ada suara yang perlahan, halus, tapi menggugah. Ia menjadi pengingat bahwa puisi bukan hanya tentang estetika, melainkan tentang makna hidup yang terus dicari dan direnungkan.

Kata yang Menjadi Doa

Sindhunata bukan hanya penyair. Ia adalah penyaksi zaman, penafsir kebudayaan, dan pendoa dalam diam. Puisi-puisinya bukan sekadar hiburan, melainkan undangan untuk memahami dunia dari dalam, dari akar, dari tanah yang subur oleh kearifan lokal. Dari lereng Gunung Panderman di Batu, ia membawa suara Jawa yang lembut namun tegas, mistis namun logis, lokal namun universal.

Dalam karyanya, Sindhunata mengembalikan sastra kepada fungsinya yang hakiki: sebagai cermin batin manusia dan cahaya yang menuntun dalam gelap. Dan selama kata-kata masih bisa mengalir seperti air, selama suara Semar dan Ratu Adil masih hidup dalam benak rakyat, puisi-puisi Sindhunata akan tetap bernapas, menghidupkan, dan menyala sebagai obor kebijaksanaan.

Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Sindhunata untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.

    Kumpulan Puisi karya Sindhunata

© Sepenuhnya. All rights reserved.