Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kumpulan Puisi karya Slamet Sukirnanto

Dalam sejarah panjang kesusastraan Indonesia modern, nama Slamet Sukirnanto layak ditempatkan sebagai figur yang tak hanya berperan sebagai penyair, tetapi juga sebagai penegas arah, penggerak perlawanan, dan pemikir yang tak henti memperjuangkan makna sastra dalam denyut sosial-politik bangsanya. Dilahirkan di Solo pada 3 Maret 1941 dan wafat pada 23 Agustus 2014, Slamet Sukirnanto adalah bagian penting dari Angkatan 66, sebuah generasi sastra yang dibentuk oleh dinamika politik nasional dan peralihan zaman yang penuh turbulensi.

Buku

  • Jaket Kuning; kumpulan puisi (Balai Pustaka, 1967)
  • Kidung putih; kumpulan puisi (Balai Pustaka, 1967)
  • Gema Otak Terbanting; kumpulan puisi (Balai Pustaka, 1974)
  • Bunga Batu; kumpulan puisi (Balai Pustaka, 1979)
  • Pertemuan Teater; kumpulan esei (1980) editor bersama Ikranagara dan Wahyu Sihombing
  • Catatan Suasana; kumpulan puisi (Balai Pustaka, 1982)
  • Luka Bunga; kumpulan puisi (Balai Pustaka, 1991);
  • Mimbar Penyair Abad 21 (Balai pustaka, 1996) editor bersama Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri
  • Gergaji; kumpulan puisi (Balai Pustaka, 2001)
  • Perjalanan Pulang; kumpulan puisi (Balai Pustaka, 2003)

Puisi yang Membara dari Api Aksi dan Nurani Sosial

Karya-karya Slamet Sukirnanto tidak pernah hadir dari ruang kosong. Puisi-puisinya—seperti yang terangkum dalam Jaket Kuning, Kidung Putih, hingga Gema Otak Terbanting—adalah bentuk dokumentasi nurani dari masa-masa penuh gejolak. Jaket Kuning sendiri ditulis di tengah gelombang demonstrasi mahasiswa yang mengguncang rezim Orde Lama, menjadikan kumpulan puisi ini lebih dari sekadar artefak estetika: ia adalah dokumen sejarah, suara keberanian, dan refleksi sebuah generasi.

Puisi Slamet Sukirnanto

Slamet tidak memisahkan dunia batin penyair dengan realitas sosial politik. Justru dari persinggungan keduanya itulah puisinya menemukan intensitas emosional dan nilai politik yang tajam. Dalam Gema Otak Terbanting atau Luka Bunga, tergambar jelas sensitivitasnya terhadap penderitaan rakyat, ketimpangan sosial, dan kegetiran eksistensial manusia Indonesia. Baginya, puisi adalah alat, bukan sekadar medium, melainkan senjata yang membelah kabut ketidakadilan dan menggugah nurani pembacanya.

Jejak Langkah Seorang Aktivis-Penyair

Slamet Sukirnanto bukan penyair yang hanya menulis dari balik meja. Sejak muda, ia sudah terjun dalam arus besar sejarah Indonesia. Selama menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, ia aktif dalam demonstrasi menumbangkan Orde Lama dan bahkan sempat menjabat Ketua Presidium KAMI Pusat, mewakili DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Dari tahun 1967 hingga 1971, ia menjadi anggota DPRGR dan MPRS sebagai wakil mahasiswa, peran yang jarang disandang oleh sastrawan seusianya.

Di titik ini, Slamet menandai dirinya sebagai figur langka—penyair sekaligus politisi, aktivis sekaligus seniman. Dan meskipun langkahnya sempat merambah wilayah kekuasaan formal, Slamet tidak pernah meninggalkan nurani kesenimanannya. Justru melalui jabatan-jabatan itulah ia menyalurkan gagasan kebudayaan yang berpihak pada rakyat kecil.

Kritik Radikal atas Kesusastraan Mapan

Tak kalah penting dalam perjalanan kariernya adalah perannya dalam Pengadilan Puisi tahun 1974 di Bandung. Dalam peristiwa yang dianggap sebagian orang sebagai satire tajam atas praktik sastra mapan kala itu, Slamet bertindak sebagai “Jaksa Penuntut.” Ia menggugat dominasi media sastra, kritikus yang dianggap beku dalam perkembangan, serta penyair-penyair mapan yang dianggap menghambat regenerasi.

Dengan berani, Slamet Sukirnanto menuntut agar tokoh-tokoh seperti H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung “dipensiunkan,” Horison dicutibesarkan, dan penyair-penyair seperti Subagio Sastrowardoyo, Rendra, dan Goenawan Mohamad dilarang menulis. Tentu saja, semua itu bersifat simbolik dan hiperbolik. Tapi peristiwa tersebut mencerminkan kekecewaan dan keresahan mendalam terhadap stagnasi dalam dunia sastra Indonesia. Slamet, sekali lagi, menunjukkan bahwa sastra tidak boleh steril dari konflik zaman dan bahwa setiap penyair harus terus berjuang untuk ruang yang adil bagi suara baru.

Estetika Sosial dan Kemanusiaan yang Membumi

Slamet Sukirnanto bukanlah tipikal penyair metaforis yang sibuk mencari keindahan dalam keterasingan. Puisinya bertumpu pada fakta kehidupan, terutama realitas rakyat jelata. Latar belakang hidupnya yang sederhana—anak tukang batu dan buruh cuci—memberikan warna kuat pada karyanya. Ia mengerti lapar, ia memahami luka, dan ia menuliskannya dalam diksi yang padat namun menghunjam.

Dalam puisi “Kere Hati”, misalnya, Slamet memotret kegetiran hidup dengan kejujuran emosional yang tajam. Bagi dia, puisi bukan sekadar seni untuk seni, tetapi seni untuk keadilan, seni untuk perubahan. Meski kadang kehilangan kepercayaan pada manusia, Slamet tetap menaruh harapan pada puisi—sebagai medium yang tak hanya mencatat, tetapi juga menggerakkan.

Perjalanan Kreatif yang Konsisten dan Produktif

Dari Jaket Kuning hingga Perjalanan Pulang, Slamet Sukirnanto menunjukkan kesinambungan dan konsistensi dalam berkarya. Puisi-puisinya menjejak dari masa ke masa, memotret perubahan zaman dari sudut pandang yang manusiawi. Selain sebagai penyair, ia pun dikenal sebagai penulis esai, kritik seni, dan editor sejumlah buku penting, seperti Pertemuan Teater dan Mimbar Penyair Abad 21.

Produktivitasnya tak terbatas hanya pada puisi. Ia aktif di berbagai organisasi seni dan budaya, seperti Dewan Kesenian Jakarta, Badan Sensor Film, hingga ICMI. Keterlibatannya dalam lembaga-lembaga ini menunjukkan bahwa ia tak hanya ingin bersuara lewat puisi, tapi juga ingin membentuk kebijakan kebudayaan secara lebih luas dan struktural.

Keteladanan sebagai Budayawan Indonesia

Sosok Slamet Sukirnanto adalah gambaran penyair yang tidak elitis. Ia tidak mengagungkan dirinya sebagai "seniman besar" tetapi hadir di tengah masyarakat, mengamati, menyuarakan, dan memperjuangkan. Kesederhanaannya tampak dari latar belakang keluarga hingga gaya hidupnya. Namun, di balik kesederhanaan itu, menyala semangat intelektual dan keberanian moral yang luar biasa.

Ia bukan hanya mencintai sastra, tetapi memperjuangkannya. Ia bukan hanya merayakan estetika, tapi juga menggugat tatanan. Ia bukan hanya menyusun kata, tapi membangun makna. Dan di atas semua itu, Slamet Sukirnanto adalah pengingat bahwa penyair bisa menjadi agen perubahan, penjaga nurani, sekaligus pelindung nilai-nilai kemanusiaan.

Warisan yang Layak Dikenang dan Dihidupkan

Kini, setelah kepergiannya pada 23 Agustus 2014, jejak Slamet Sukirnanto tak pernah benar-benar lenyap. Karya-karyanya masih bisa dibaca dan direnungkan oleh generasi baru. Di tengah kondisi sosial yang terus berubah, puisi-puisinya tetap relevan—terutama sebagai penanda bahwa sastra Indonesia tidak pernah lahir dari keheningan, tapi dari denyut perlawanan, nurani sosial, dan kesadaran sejarah.

Slamet Sukirnanto telah memberikan pelajaran penting: bahwa menjadi penyair bukan hanya soal menulis indah, tetapi juga tentang menyuarakan kebenaran di tengah keramaian kepalsuan. Bahwa puisi bisa menjadi saksi zaman, dan bahwa kata-kata bisa menjadi kekuatan perubahan.

Lebih dari sekadar penyair, Slamet Sukirnanto adalah penjaga kompas kebudayaan Indonesia. Dalam sejarah sastra kita, namanya akan terus bergema sebagai suara keberanian dan ketulusan yang tak lekang oleh waktu.

Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Slamet Sukirnanto untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.

    Kumpulan Puisi karya Slamet Sukirnanto

© Sepenuhnya. All rights reserved.