Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kumpulan Puisi karya Sutardji Calzoum Bachri

Dalam sejarah sastra Indonesia modern, nama Sutardji Calzoum Bachri berdiri sebagai salah satu tonggak penting. Lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, 24 Juni 1941, ia bukan hanya seorang penyair, melainkan juga pembaharu, pemikir, dan simbol keberanian dalam mengutak-atik batas puisi. Julukan “Presiden Penyair Indonesia” yang melekat padanya bukan sekadar label seremonial, tetapi pengakuan atas pengaruh besar yang ia bawa pada wajah sastra Indonesia, khususnya pada era 1970-an.

Buku

  1. O (kumpulan puisi, stensilan 1973)
  2. Amuk (kumpulan puisi, manuskrip 1973—1976)
  3. Kapak (kumpulan puisi, manuskrip 1976—1979)
  4. O, Amuk, Kapak (kumpulan puisi, 1981)
  5. Hujan Menulis Ayam (kumpulan cerpen, 2001)
  6. Isyarat (kumpulan esai, 2007)
  7. Atau Ngit Cari Agar (kumpulan puisi, 2008)
  8. Kecuali (kumpulan puisi, 2021)

Penghargaan
  1. Kumpulan puisi Amuk (1976) mendapatkan Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta (1976/1977)
  2. The S.E.A. Write Award (1979) dari Kerajaan Thailand
  3. Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993)
  4. Anugerah Sastra Chairil Anwar dari Dewan Kesenian Jakarta (1998)
  5. Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau (2000)
  6. Gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintahan Daerah Riau (2001)
  7. Anugerah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (2006) di Bandar Seri Begawan, Brunei Daussalam
  8. Anugerah Seni Akademi Jakarta (2007)
  9. Bintang Budaya Parama Dharma (2008) dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
  10. Bakrie Award (2008)
  11. Anugerah gelar "Datuk Seri Pujangga Utama" dari Lembaga Adat Melayu Riau (2018)

Kredo Puisi: Revolusi Kata

Sumbangan paling monumental Sutardji tentu saja adalah “Kredo Puisi” (1973). Di dalamnya ia menegaskan bahwa kata harus dibebaskan dari beban pengertian, dari fungsi sebagai alat komunikasi belaka. Kata, menurutnya, adalah mantra. Ia berusaha mengembalikan kata pada akar magisnya, sebelum dirantai oleh logika dan tafsir tunggal.

Puisi Sutardji Calzoum Bachri

Kredo ini mengguncang, bahkan menimbulkan kontroversi. Banyak yang menganggapnya terlalu eksperimental, sulit dipahami, atau bahkan nihilistik. Namun, justru di situlah kekuatan Sutardji: ia menolak tunduk pada tradisi puisi yang mapan dan membuka jalan baru bagi kemungkinan-kemungkinan lain. Dengan keberanian itu, ia membebaskan bahasa dari penjara makna sehari-hari dan mengajak pembaca masuk ke ruang permainan, bunyi, dan energi.

Antara Mantra dan Modernitas

Tiga karya besar Sutardji—O (1973), Amuk (1976), Kapak (1979)—bisa dilihat sebagai trilogi perjalanan kreatif yang memperlihatkan bagaimana kata bukan lagi sekadar instrumen, melainkan entitas hidup. Kata dipotong, diacak, dibalik, ditabrakkan, namun justru melahirkan resonansi baru.

Bagi Sutardji, puisi adalah suara dari kedalaman, bukan sekadar struktur logis. Inilah yang membuatnya unik: di satu sisi ia sangat modern, bahkan avant-garde, tetapi di sisi lain ia menghidupkan kembali tradisi lisan Nusantara, terutama mantra. Paradoks inilah yang menjadikan karyanya universal sekaligus sangat lokal.

Dari Rengat ke Dunia

Perjalanan Sutardji tidak berhenti di Indonesia. Pada tahun 1974, ia ikut serta dalam International Poetry Reading di Rotterdam dan kemudian menjadi peserta International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Puisinya diterjemahkan ke berbagai bahasa—Inggris, Belanda, hingga Rusia. Fakta ini memperlihatkan bahwa meski lahir dari tanah Riau, puisinya berbicara lintas batas.

Lebih dari sekadar estetika, karya Sutardji menyentuh persoalan universal: kesepian, pemberontakan, kemanusiaan, hingga tanah air. Puisinya “Tanah Air Mata”, misalnya, menjadi salah satu karya paling menggetarkan tentang penderitaan dan sejarah luka bangsa.

Presiden Penyair dan Simbol Generasi

Julukan “Presiden Penyair Indonesia” tidak datang begitu saja. Sutardji menjadi figur pemersatu sekaligus penggerak komunitas sastra, menginspirasi banyak penyair muda. Gelar Datuk Seri Pujangga Utama dari Lembaga Adat Melayu Riau (2018) menegaskan pengakuan bahwa ia bukan hanya penyair modern, tetapi juga bagian dari tradisi budaya Melayu yang panjang.

Penghargaan demi penghargaan yang ia terima—dari SEA Write Award (1979) hingga Bintang Budaya Parama Dharma (2008)—menunjukkan bahwa pengaruhnya melintasi generasi. Namun, mungkin warisan terbesarnya bukanlah penghargaan itu, melainkan keberanian untuk berkata: puisi tidak harus tunduk pada tafsir tunggal, karena kata adalah milik kebebasan.

Mengguncang, Tetapi Membebaskan

Opini yang kerap muncul adalah bahwa karya Sutardji sulit dipahami. Benar, tidak semua puisinya bisa “ditangkap” dalam sekali baca. Namun, bukankah justru di situlah letak puisi yang sejati? Puisi bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan membuka ruang perasaan, keheningan, dan pertanyaan.

Dengan kredonya, Sutardji justru mengajarkan kita untuk tidak takut pada misteri bahasa. Ia mengajak pembaca dan penyair muda untuk bermain-main dengan kata, menemukan kekuatan bunyi, ritme, dan ruang imajinasi yang liar. Ia tidak memberi jawaban, melainkan memancing pencarian.

Warisan Sutardji

Kini, ketika kita membaca kembali karya Sutardji, kita melihat sosok yang bukan sekadar penyair, tetapi pembaharu yang meninggalkan jejak radikal. Ia menulis dengan keyakinan bahwa puisi harus membebaskan, bahwa kata adalah mantra, bahwa bahasa bukan milik logika semata.

Sutardji Calzoum Bachri adalah saksi bahwa sastra Indonesia pernah melahirkan figur yang berani mengguncang dan mendekonstruksi. Warisannya tidak hanya pada teks, tetapi juga pada keberanian bersikap. Dalam dunia yang semakin pragmatis, Sutardji mengingatkan kita bahwa kata—sekecil apa pun—masih bisa menjadi api yang menggetarkan jiwa.

Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Sutardji Calzoum Bachri untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.

    Kumpulan Puisi karya Sutardji Calzoum Bachri

© Sepenuhnya. All rights reserved.