Ketika membicarakan Syu’bah Asa, tidak cukup hanya menyebutnya sebagai penyair, novelis, atau wartawan. Nama ini layak ditempatkan dalam gugusan langka sosok-sosok Indonesia yang hidup dalam lintasan waktu sekaligus lintasan medan budaya. Ia tidak hanya menulis, tetapi hadir di tengah masyarakat sebagai saksi, pembaca, sekaligus penafsir zaman. Ia lahir di Pekalongan pada 21 Desember 1941 dan wafat di kota yang sama pada 24 Juli 2010. Namun, rentang kehidupannya lebih luas daripada sekadar batas tanggal: ia adalah suara kritis yang tumbuh dalam era ketegangan ideologis dan kegelisahan intelektual yang panjang.
Dalam setiap bait dan kalimat, Syu’bah Asa menghadirkan getar kata yang tidak hanya estetis, tapi juga sarat perenungan sosial dan spiritual. Ia menulis puisi, novel, kolom, dan esai yang tidak hanya memperlihatkan keluasan pengetahuan dan kedalaman pengalaman, melainkan juga menunjukkan kepekaannya terhadap denyut waktu yang sedang berjalan.
Jejak Langkah Seorang Pencari
Syu’bah Asa bukan sekadar penyair yang berdiri dari menara gading dunia sastra. Ia adalah seorang intelektual publik yang menyusuri berbagai medan ekspresi. Pendidikan sarjana mudanya diselesaikan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lingkungan yang mempertemukannya dengan perdebatan klasik antara agama dan modernitas. Namun, dunia akademis bukanlah satu-satunya arena eksplorasi intelektualnya. Syu’bah terjun ke dunia seni pertunjukan lewat Teater Muslim dan Bengkel Teater, dua forum ekspresi yang melatihnya untuk memahami kehidupan secara lebih menyeluruh.
Ia juga tidak alergi terhadap institusi. Tahun 1970-an, ketika banyak sastrawan memilih jalan perlawanan di luar sistem, Syu’bah menjadi bagian dari Dewan Kesenian Jakarta. Di sana, ia tidak hanya menjadi pengamat, tapi juga penyusun wacana yang mempertemukan politik kebudayaan dan estetika dalam konteks Indonesia yang sedang mencari jati diri.
Dari Kolom ke Panggung Sejarah
Nama Syu’bah Asa semakin akrab di telinga publik Indonesia lewat keterlibatannya sebagai redaktur di majalah Tempo sejak tahun 1971 hingga 1987. Ia hadir di ruang jurnalistik bukan hanya sebagai pengelola informasi, tapi sebagai penyampai suara nurani yang tajam dan jernih. Tulisannya di berbagai media seperti Horison, Pandji Masjarakat, Sastra, Tempo, dan Minggu Pagi adalah cerminan kecakapan literernya yang luar biasa. Dalam ruang opini dan kolom, ia merumuskan pemikiran-pemikiran kritis terhadap kondisi sosial-politik Indonesia, tanpa kehilangan nuansa bahasa yang puitis.
Sebagai penyair, Syu’bah Asa tidak pernah membiarkan puisinya menjadi sekadar permainan bunyi. Puisinya memiliki struktur yang solid dan makna yang menggugah. Tidak jarang ia menggunakan medium puisi untuk menyampaikan perenungan spiritual, bahkan religius, seperti terlihat dari upayanya melakukan puitisasi terhadap ayat-ayat Alquran. Karya-karya seperti Maulid Syaraful Anam dan Qasidah Barzanji yang ia terjemahkan memperlihatkan keseriusannya menyandingkan sastra dengan spiritualitas.
Keterlibatannya dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI sebagai tokoh DN Aidit barangkali menjadi catatan tersendiri dalam kehidupannya. Di satu sisi, hal ini memperlihatkan keluasan cakupan peran yang bisa ia emban, tapi di sisi lain juga menunjukkan keberanian seorang seniman untuk berhadapan langsung dengan representasi sejarah yang penuh luka. Terlepas dari kontroversi film tersebut, kehadiran Syu’bah dalam produksi ini mengukuhkan dirinya sebagai figur lintas batas: dari dunia kata ke panggung visual, dari opini ke peran dramatik.
Penulis yang Tak Lekang oleh Waktu
Salah satu kekuatan terbesar Syu’bah Asa terletak pada kemampuannya menjaga relevansi di berbagai zaman. Ia menulis Cerita di Pagi Cerah pada tahun 1960, sebuah novel yang menandai awal perjalanannya dalam dunia naratif. Namun, karya ini bukan sekadar karya perintis: ia menjadi fondasi yang membangun narasi-narasi berikutnya yang semakin kompleks dan matang.
Karya-karya Syu’bah selalu mengandung muatan waktu. Dalam tulisannya, waktu bukan sekadar latar, tapi karakter itu sendiri. Ia menulis pada masa ketika Indonesia sedang bertransformasi secara sosial dan politik, dan tulisannya tidak pernah kehilangan konteks. Bahkan, dalam puitisasi ayat-ayat Alquran yang ia lakukan, ia tetap menyisipkan semacam interpretasi kultural yang mengaitkan makna spiritual dengan realitas sehari-hari masyarakat Indonesia.
Tidak banyak penulis Indonesia yang mampu berjalan lentur antara sastra, agama, jurnalisme, dan seni peran. Syu’bah Asa melakukannya dengan konsistensi dan kedalaman. Ia menulis bukan karena ingin menjadi terkenal, tapi karena merasa perlu menyampaikan sesuatu. Dalam setiap karyanya, selalu ada pesan—halus atau keras—yang mengajak pembaca untuk berpikir ulang tentang banyak hal: tentang diri sendiri, tentang bangsa, dan tentang Tuhan.
Peninggalan yang Mengakar
Kini, setelah kepergiannya pada tahun 2010 akibat stroke yang ia derita, warisan pemikiran dan estetikanya masih relevan. Bahkan mungkin lebih dari sebelumnya. Dalam era digital yang serbacepat dan dangkal, karya-karya Syu’bah Asa mengingatkan bahwa kedalaman dan ketekunan adalah nilai yang tak boleh dilupakan. Dalam puisinya, ia berbicara dengan kesabaran. Dalam kolomnya, ia menulis dengan keteguhan. Dalam novel dan esainya, ia menciptakan ruang-ruang kontemplasi yang luas dan hening.
Syu’bah Asa adalah bukti nyata bahwa sastra tidak hanya milik mereka yang hidup di dalam buku. Ia hidup dalam kehidupan. Ia bukan hanya menyaksikan zaman, tetapi turut membentuknya. Penyair yang lahir dari jantung tradisi, melintasi modernitas, dan tetap membumi dalam spiritualitasnya.
Lebih dari satu dekade setelah kepergiannya, nama Syu’bah Asa seharusnya tidak ditinggalkan dalam catatan kaki sejarah sastra Indonesia. Ia adalah tubuh utama dalam narasi besar kesusastraan kita. Bukan sekadar penyair, bukan sekadar wartawan, tetapi penjaga akal sehat dan nurani yang menulis dengan jiwa.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Syu’bah Asa untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.
