Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kumpulan Puisi karya Upita Agustine

Di tengah denyut sejarah sastra Indonesia yang sering kali dipenuhi dengan nama-nama besar pria, muncul satu suara yang lembut namun tegas, halus tapi kuat, membawa nilai-nilai budaya, spiritualitas, dan pemikiran dalam napas puisi: Upita Agustine. Di balik nama pena ini, berdirilah sosok cendekiawan perempuan yang luar biasa—Prof. Dr. Ir. Raudha Thaib, M.P., seorang perempuan Minangkabau yang telah menapak tilas panjang dalam dunia akademik, budaya, dan kesusastraan Indonesia. Namanya menjadi penanda bahwa puisi bukan hanya milik mereka yang hidup dari kata, tetapi juga milik mereka yang hidup dalam tradisi, ilmu pengetahuan, dan keberanian perempuan.

Penyair dari Jantung Pagaruyung

Lahir pada 31 Agustus 1947 di Pagaruyung, Tanah Datar, Sumatra Barat, Upita Agustine adalah potret keunikan seorang perempuan Minangkabau: bangsawan, akademisi, budayawati, dan penyair. Ia adalah ahli waris Kerajaan Pagaruyung sekaligus Ketua Umum Bundo Kanduang Sumatera Barat. Namun, posisi sosialnya tak pernah ia gunakan untuk menjauh dari rakyat, melainkan sebagai pijakan untuk mengangkat nilai-nilai lokal ke dalam ruang kesusastraan nasional dan internasional.

Upita Agustine

Pendidikan formalnya mungkin berakar dalam dunia pertanian, tetapi ekspresi artistiknya menjalar bebas seperti akar pohon yang mencari mata air. Sejak SMA, ia sudah aktif menulis. Kecintaan pada kata menjadi sahabat seumur hidupnya. Dunia puisi memberinya ruang untuk berbicara tidak hanya sebagai perempuan, tetapi sebagai penyambung suara adat, sejarah, dan kerinduan terhadap tanah leluhur.

Karya-Karya sebagai Denyut Identitas dan Kemanusiaan

Buku Tunggal

  1. Bianglala: kumpulan puisi (1973)
  2. Dua Warna (1975; bersama Hamid Jabbar);
  3. Terlupa dari Mimpi: kumpulan puisi (1980)
  4. Sunting (1995; bersama Yvonne de Fretes)
  5. Nyanyian Anak Cucu: kumpulan puisi 1967-1999 (Angkasa Bandung, 2000)

Buku Antologi Bersama

  1. Laut Biru Langit Biru: Bungarampai Sastra Indonesia Mutaakhir (1977)
  2. Tonggak 3: Antologi Puisi Indonesia Modern (1987)
  3. Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (1990)
  4. Selection of Poems by Raudha Thaib (1990)
  5. Perisa 1: Jurnal Puisi Melayu (1993)
  6. Hawa 29 Penyair: Kumpulan Puisi 29 Penyair Sumatera Barat (1996)
  7. Antologi Puisi Indonesia: volume 2 (1997)
  8. Matrilineal System in Minangkabau Culture (1997)
  9. Antologi Puisi Sumatera Barat: Kumpulan Puisi 21 Penyair Sumatera Barat (1999)

Kumpulan puisi Bianglala (1973), Dua Warna (1975), Terlupa dari Mimpi (1980), hingga Nyanyian Anak Cucu (2000) menunjukkan sebuah kontinuitas kreativitas yang langka. Di dalamnya, Upita tidak sekadar bermain diksi, tetapi mengikatkan nilai-nilai lokal dengan rasa universal. Puisinya tidak hanya mengandung bahasa puitik, tetapi juga sarat dengan makna etnografis dan spiritual. Ia menulis dengan cara yang tidak keras, tetapi menyusup dan menetap dalam hati pembaca.

Salah satu kekuatan Upita Agustine adalah kemampuannya mengolah pengalaman sebagai perempuan Minangkabau dalam sistem matrilineal menjadi puisi yang hidup. Ia menyuarakan kedalaman rasa perempuan bukan dari sisi sentimental semata, tetapi dari struktur sosial yang mengakar dalam budaya Minang. Tak heran jika karya-karyanya dihargai hingga ke Jerman dan Malaysia, sebab ia menulis dengan napas lokal yang mampu menembus batas global.

Upita dan Ruang Perempuan dalam Sastra

Sastrawan perempuan Indonesia kerap kali harus menempuh jalan yang lebih panjang untuk mendapat pengakuan. Namun Upita Agustine tidak mencari pengakuan, melainkan konsistensi dalam menulis. Namanya tercantum dalam Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (1981), menunjukkan bahwa ia bukan hanya bagian dari sejarah sastra, tetapi turut membentuknya.

Ia bukan sekadar hadir dalam ruang puisi perempuan, tetapi juga menjadi fondasi penting dalam menjembatani suara perempuan dengan budaya yang menghormati perempuan sebagai pusat silsilah, seperti dalam adat Minangkabau. Dalam kumpulan Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (1990), Upita bukan hanya memberi warna, tapi juga arah.

Akademisi yang Puitik, Penyair yang Ilmiah

Langka sekali kita melihat seorang guru besar di bidang ilmu teknologi benih juga merupakan penyair aktif. Ini bukan paradoks, tetapi harmoni. Sebagaimana benih yang disemai di ladang, begitu pula kata-kata yang ia semai dalam puisi. Dalam dirinya, sains dan seni berdamai. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Laboratorium Teknologi Benih dan menjadi satu-satunya guru besar dalam bidang tersebut di Fakultas Pertanian Unand pada masanya.

Kehidupan intelektualnya yang penuh dengan riset dan kegiatan akademik tidak membuatnya jauh dari dunia puisi. Justru, itu memperkaya sudut pandangnya dalam menulis. Ia tidak melihat puisi sebagai pelarian dari sains, melainkan pelengkap. Ini menciptakan dimensi baru: penyair yang bisa bicara genetika tumbuhan sekaligus mengetuk sisi kemanusiaan terdalam lewat larik-larik puitis.

Aktivisme Budaya yang Tak Terputus

Sebagai Ketua Umum Bundo Kanduang Sumatera Barat, ia bukan hanya simbol adat, tetapi juga penggerak kultural. Ia menjadi pemakalah dalam berbagai seminar kebudayaan, menulis artikel tentang adat Minang, dan menyuarakan pentingnya sistem matrilineal dalam menjaga stabilitas sosial.

Sumbangannya dalam buku Matrilineal System in Minangkabau Culture (1977) menjadi salah satu bukti bahwa Upita adalah intelektual yang tak sekadar fasih dalam teori, tetapi juga praktik budaya. Ia menggunakan puisi untuk merawat identitas, dan menggunakan identitas untuk menghidupi puisi. Ia tidak berdiri di luar tradisi untuk mengkritik, tetapi berada di dalamnya untuk menyentuh sisi-sisi yang terlupakan.

Teater, Media, dan Multiplisitas Ekspresi

Keterlibatan Upita dalam dunia teater dan media semakin memperkaya khazanahnya sebagai seniman. Ia adalah pendiri dan pengasuh Grup Bumi Teater, berkontribusi dalam berbagai pementasan lintas kota dan negara, serta menjadi pengelola majalah Kaba dan tabloid Pagaruyung. Dalam hal ini, ia menolak untuk menjadi seniman satu dimensi. Ia menyadari bahwa ekspresi tidak bisa dibatasi oleh medium tunggal. Puisi, teater, artikel, dan ceramah adalah saluran yang berbeda untuk menyuarakan gagasan yang sama: cinta pada tanah air, penghormatan pada perempuan, dan penjagaan pada budaya.

Warisan dan Relevansi

Dalam usianya yang telah lebih dari tujuh dekade, Upita Agustine telah menorehkan jejak panjang yang tidak hanya penting bagi dunia sastra, tetapi juga bagi penguatan peran perempuan dalam budaya dan akademik Indonesia. Warisannya bukan sekadar berupa buku dan puisi, tetapi juga teladan tentang bagaimana perempuan bisa menyeimbangkan berbagai peran tanpa kehilangan keutuhan diri.

Relevansi Upita hari ini begitu besar, terutama dalam konteks meningkatnya kesadaran perempuan akan identitas dan posisi sosial mereka. Ketika dunia modern mencoba mendefinisikan ulang peran perempuan dalam masyarakat, karya dan perjalanan hidup Upita memberi kita perspektif bahwa perempuan bisa menjadi penyair, profesor, budayawan, istri, ibu, dan pemimpin adat—semuanya dalam satu tubuh yang utuh dan bermartabat.

Suara yang Tak Pernah Padam

Upita Agustine bukan sekadar penyair biasa. Ia adalah suara yang mewakili integritas budaya, intelektualitas yang bersahaja, dan keteguhan perempuan dalam menghadapi zaman. Puisinya tidak keras, tetapi dalam. Ia tidak meledak, tetapi menyusup. Ia bukan bara, tetapi api kecil yang terus menyala. Dan dalam dunia sastra Indonesia yang terus berubah, suara seperti inilah yang terus dibutuhkan: suara yang tidak hanya berbicara, tetapi juga mengakar dan menghidupi.

Dengan puisi sebagai sayap, dan akar adat serta ilmu sebagai penyangga, Upita Agustine adalah satu dari sedikit penyair yang tak hanya menulis sejarah, tapi hidup di dalamnya. Dan selama masih ada yang membaca puisinya, selama itu pula suara dari Pagaruyung akan terus bergema dalam bahasa yang indah—bahasa seorang perempuan, penyair, dan pemelihara warisan.

Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Upita Agustine untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.

    Kumpulan Puisi karya Upita Agustine

© Sepenuhnya. All rights reserved.