Jika sejarah sastra Indonesia adalah sebuah panggung, maka Walujati Supangat hadir seperti cahaya lembut yang menembus tirai tebal dominasi maskulinitas. Lahir pada 5 Desember 1924 di Sukabumi dengan nama Louise Walujati Hatmoharsoio, penyair dan cerpenis ini menyuarakan keresahan, cinta, dan spiritualitas dari sudut pandang yang sangat pribadi, sangat perempuan, namun juga sangat universal. Ia bukan sekadar penyair yang menulis dari pinggir sejarah; ia adalah penyair yang menciptakan ruangnya sendiri dalam sejarah itu—dengan ketekunan, dengan kebeningan batin, dan dengan kekuatan kata yang sunyi namun tajam.
Bersama H.B. Jassin, Linus Suryadi AG, dan Korrie Layun Rampan, nama Walujati Supangat tercatat dalam berbagai antologi penting, dari Gema Tanah Air (dihimpun oleh H.B. Jassin, 1948), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (dihimpun oleh Toeti Heraty, 1979), Tonggak 1 (dihimpun oleh Linus Suryadi AG, 1987), dan juga Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (dihimpun oleh Korrie Layun Rampan, 1997).
Namun, yang membuatnya istimewa bukanlah hanya kelimpahan dokumentasi terhadap karyanya, melainkan substansi dari karya itu sendiri—sebuah perpaduan antara refleksi batin, pengalaman perempuan, dan spiritualitas yang melampaui batas dogma agama.
Penyair Perempuan di Zaman yang Terlalu Laki-Laki
Ketika Walujati menulis puisi pada usia 13 tahun dalam bahasa Belanda, ia sudah memperlihatkan keberanian untuk memasuki ruang yang waktu itu, secara sosial maupun institusional, masih sangat dibatasi untuk perempuan. Ia membaca Krishnamurti dan Annie Besant pada usia 15 tahun, sebuah fakta yang tak bisa diabaikan dalam membaca puisi-puisinya—karena sejak dini ia telah berada dalam orbit pemikiran filosofis dan mistik Timur dan Barat. Maka tak mengherankan bila H.B. Jassin menyebut bahwa puisi-puisi Walujati mencapai “tingkat yang mistis universal.”
Ia tidak menulis puisi yang keras atau menyindir kekuasaan secara frontal. Walujati bukan jenis penyair manifesto, bukan pula penyair angkatan yang mengibarkan panji ideologis. Tetapi justru karena itulah puisinya mencengkeram—ia menulis dengan kedalaman yang nyaris meditasi. Dalam puisi seperti Telaga Remaja, dan Berpisah, terasa bagaimana perasaan dan batin menjadi kekuatan utama ekspresi. Bagi Walujati, dunia bukan hanya medan perjuangan eksternal, tapi juga ladang pertarungan batin, kerinduan, dan pencarian makna.
Puisi Sebagai Ekspresi Keperempuanan dan Kemanusiaan
Buku puisinya Punjani (diterbitkan oleh Gapura di Jakarta, 1951) adalah potret yang luar biasa atas keberanian menyuarakan cinta dalam berbagai lapisannya: cinta kepada suami, kepada anak, kepada keluarga, kepada masyarakat. Cinta dalam pengertian yang tidak sentimental, tetapi juga tidak sinis. Di sinilah kita melihat Walujati sebagai seorang penulis perempuan yang mampu menyalurkan emosi bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai alat penyelidikan eksistensial.
Kita bisa menganggap Punjani sebagai semacam roman puitik yang mencerminkan kompleksitas kehidupan perempuan, dan mungkin lebih jauh, kompleksitas menjadi manusia dalam masa transisi: dari kolonial ke kemerdekaan, dari tradisional ke modern. Ia menangkap perubahan itu tidak dari balik podium politik, tetapi dari dalam ruang domestik, dari batin seorang ibu, seorang istri, seorang manusia biasa yang mengalami gejolak luar biasa.
Hal yang lebih menarik lagi adalah bagaimana Walujati tetap menulis di antara kesibukan sosial dan kehidupan keluarga. Dalam era pascakemerdekaan yang penuh dinamika, ia bahkan sempat bekerja sebagai guru sekolah rakyat dan terlibat dalam pekerjaan sosial. Semua ini menambah lapisan pada karya-karyanya: ia bukan hanya penyair yang merenung dalam keheningan, tetapi juga manusia yang bersentuhan langsung dengan denyut sosial bangsanya.
Spirit Mistisisme Universal dan Bahasa yang Halus
H.B. Jassin tidak keliru ketika menyebut bahwa puisi-puisi Walujati bebas dari dominasi agama tertentu dan lebih mendekati semangat mistik universal. Dalam banyak sajaknya, kita bisa merasakan kehadiran “yang tak bernama”—semacam keheningan spiritual yang merembes dari kata-kata. Puisi seperti Senandung Fadjar, Renungan, atau Meditasi mengandung intensitas spiritual yang tenang tapi dalam, seperti doa yang tidak dimaksudkan untuk didengar, melainkan untuk dirasakan.
Walujati tidak menggunakan bahasa yang meledak-ledak. Ia tidak menggugah emosi pembaca lewat retorika, tapi lewat keheningan. Puisinya bukan seruan, melainkan bisikan. Tetapi justru dalam bisikan itulah kita mendengar sesuatu yang lebih jujur, lebih personal, dan lebih meresap.
Mengapa Kita Harus Mengingat Walujati?
Karena sastra Indonesia terlalu lama menyingkirkan atau meminggirkan suara-suara seperti dia. Karena ia membuktikan bahwa perempuan pun bisa menulis dengan tajam dan mendalam tanpa harus meniru gaya laki-laki. Karena ia memperlihatkan bahwa puisi bisa menjadi tempat pengembaraan spiritual tanpa harus kehilangan akar sosial dan emosionalnya. Dan karena ia menyumbangkan sebuah dunia batin yang kaya pada sastra Indonesia—dunia yang sering kali dilupakan oleh sejarah yang lebih menyukai teriakan daripada kesunyian.
Walujati Supangat layak dikenang bukan karena dia seorang perempuan penulis, tetapi karena ia penyair sejati—yang menulis bukan demi zaman, tetapi demi kebenaran jiwanya sendiri. Dalam dunia yang makin keras dan gaduh, suara seperti Walujati justru menjadi semakin relevan. Suara yang mengajak kita kembali ke dalam, untuk merenung, untuk merasa, untuk mengerti bahwa sastra—dan kehidupan—tak hanya tentang perubahan besar, tapi juga tentang kedalaman kecil yang tak terlihat.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Walujati Supangat untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.