Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kumpulan Puisi karya Yunus Mukri Adi

Tidak semua penyair hidup dalam sorotan. Beberapa memilih untuk bergulat dalam sunyi, dan justru dari sanalah mereka menghadirkan gema yang tak kalah nyaring dari teriakan zaman. Yunus Mukri Adi adalah salah satu dari sosok semacam itu—seorang penyair yang tenang namun mendalam, tidak selalu menjadi nama pertama yang terucap ketika membahas puisi Indonesia modern, tetapi justru karena itu, pantas untuk dirayakan secara khusus. Dalam keteduhan sajak-sajaknya, kita menemukan dunia batin yang nyaris tak terjamah oleh hiruk-pikuk kehidupan luar.

Lahir pada tanggal 26 Januari 1941, Yunus Mukri Adi menulis puisi dan cerpen yang berhasil menembus media-media sastra penting, seperti Horison, yang selama dekade 1960-an hingga 1990-an menjadi tolok ukur kualitas sastra Indonesia modern. Kepiawaian Yunus dalam menangkap suasana batin yang subtil dan mengalirkan perasaan ke dalam larik-larik puitis membuktikan bahwa puisi tak harus selalu lantang untuk menggetarkan. Ada kekuatan dalam lirih, dan Yunus Mukri Adi memelihara kekuatan itu dalam karya-karyanya.

Sepenuhnya Puisi

Salah satu cerpennya yang cukup dikenal, “Sepenuh Bulan, Sepenuh Malam, Sepenuh Sayang”, pernah dimuat di majalah Aktuil pada Februari 1978. Judulnya saja sudah menggambarkan sebuah lanskap emosional yang luas, penuh cinta yang mungkin tak sepenuhnya tuntas, malam yang tak hanya gelap secara literal tetapi juga secara batiniah, dan bulan yang menjadi saksi bisu segala rasa yang tak bisa dijelaskan. Cerpen ini mencerminkan kecenderungan Yunus untuk mengolah tema universal—cinta, kehilangan, kerinduan—dalam gaya naratif yang lembut dan kadang melankolis, tetapi tak pernah kehilangan arah.

Namun, kekuatan utama Yunus Mukri Adi tetap berada di wilayah puisi. Keikutsertaannya dalam Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern 3 yang diterbitkan oleh Gramedia tahun 1987 merupakan sebuah pengakuan bahwa Yunus bukan hanya penyair pinggiran, melainkan bagian dari arus utama perkembangan puisi modern di Indonesia. Dalam antologi yang dikurasi oleh Linus Suryadi AG tersebut, Yunus berdiri sejajar dengan penyair-penyair besar Indonesia lainnya. Ini bukan pencapaian kecil, sebab “Tonggak” adalah tonggak itu sendiri dalam sejarah kesusastraan Indonesia.

Puisi-puisi Yunus—meskipun tidak selalu mudah dicari dalam bentuk buku tunggal—menghadirkan intensitas emosi yang khas. Ia tampaknya menulis dari kesadaran mendalam terhadap peristiwa-peristiwa kecil dalam hidup, yang dalam tangan penyair biasa mungkin terlewat begitu saja. Yunus menjadikannya pusat perhatian, membiarkan pembaca menyelam perlahan ke dalam dunia yang penuh lapisan.

Membaca puisi Yunus Mukri Adi seakan-akan kita sedang mendengar desir angin yang menyusup dari celah-celah jendela pada malam yang sepi. Tidak langsung terasa menusuk, tetapi jika diam-diam diperhatikan, ia meninggalkan jejak rasa yang dalam. Ini kekuatan puisi yang berangkat dari refleksi, bukan reaksi. Yunus seperti penyair yang lebih suka duduk menyimak sebelum berkata-kata, dan saat ia akhirnya menulis, tulisannya mengandung kedalaman yang sulit dilupakan.

Sayangnya, Yunus Mukri Adi tidak meninggalkan buku tunggal dalam bentuk puisi. Hal ini membuat kita hanya bisa menelusuri jejak-jejaknya lewat antologi atau majalah lama, menjadikannya semacam legenda sunyi dalam peta sastra kita. Padahal, penyair semacam Yunus sangat penting untuk keseimbangan lanskap kesusastraan Indonesia. Dalam dunia yang terus dipenuhi oleh ekspresi yang keras dan terburu-buru, sosok seperti Yunus adalah pengingat akan perlunya renungan, kesabaran, dan pencarian makna yang tidak gegabah.

Meski demikian, Yunus tetap menorehkan karya penting di bidang cerpen lewat buku “Rumah Tangga di Luar Kita” yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1993. Judulnya saja sudah menarik: menyiratkan ada sesuatu yang berjalan paralel dengan kehidupan kita, sesuatu yang tampak “di luar” tetapi justru menyentuh kita secara mendalam. Buku ini adalah bukti bahwa Yunus tidak hanya mampu bermeditasi dalam puisi, tapi juga dalam narasi prosa. Rumah tangga, sebagai simbol keintiman dan kerumitan, menjadi medan refleksi yang sangat cocok bagi gaya bertutur Yunus yang tenang namun tajam.

Keberadaan Yunus dalam medan sastra Indonesia memberikan warna tersendiri. Ia adalah suara lembut dalam keramaian, adalah gema yang lahir dari keheningan. Dalam tradisi sastra Indonesia yang sering diwarnai oleh suara-suara lantang dan konfrontatif, Yunus hadir sebagai pengecualian yang menenangkan. Ia seperti mata air kecil di tengah padang pasir, yang tidak mencolok, tapi menyejukkan bagi siapa saja yang kebetulan menemukannya.

Sangat disayangkan bahwa nama Yunus Mukri Adi tidak banyak diperbincangkan dalam wacana sastra mutakhir. Padahal, karya-karyanya menyimpan kejujuran dan kedalaman yang langka. Ia bukan hanya penting sebagai penyair yang produktif, tetapi juga sebagai cerminan zaman—zaman ketika menulis sastra adalah laku sunyi, bukan sekadar ajang eksistensi di dunia digital.

Dari karya-karya Yunus, kita belajar bahwa puisi tidak perlu berisik untuk menjadi kuat. Cukup dengan kejujuran dan perasaan yang murni, sebuah sajak bisa mengendap dalam hati pembaca untuk waktu yang lama. Dan Yunus Mukri Adi, dengan segala ketenangannya, adalah bukti hidup dari kebenaran itu.

Dalam dunia sastra yang terus berubah, mungkin sekarang saatnya kita kembali menengok dan menghargai penyair-penyair seperti Yunus Mukri Adi. Mereka adalah penjaga gerbang kepekaan—orang-orang yang mengajarkan bahwa keindahan bisa lahir dari kesederhanaan, dan bahwa kata-kata, jika ditulis dari lubuk hati, akan selalu menemukan jalannya ke hati yang lain.

Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Yunus Mukri Adi untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.

    Kumpulan Puisi karya Yunus Mukri Adi

© Sepenuhnya. All rights reserved.