Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kumpulan Puisi tentang DPR beserta Pengarangnya

Puisi bertema DPR selalu menempati ruang yang unik dalam khazanah sastra Indonesia. Ini bukan sekadar rangkaian kata, tetapi sering berubah menjadi cermin—kadang jernih, kadang retak—yang memantulkan relasi rakyat dengan lembaga perwakilan. Tidak sedikit penyair yang menjadikan parlemen sebagai sumber imaji, kritik, atau satir. Dan justru pada titik itulah, puisi tentang DPR menjadi menarik: ini bukan laporan jurnalistik, bukan esai politik, tetapi ekspresi emosional yang kadang lebih jujur ketimbang berita utama.

Sepenuhnya Puisi DPR

Apa yang Biasanya Dibahas dalam Puisi Bertema DPR?

1. Relasi Kuasa dan Jarak dengan Rakyat

Banyak puisi yang mengangkat jarak psikologis dan sosial antara DPR dan masyarakat. Rakyat sering digambarkan sebagai “penonton di luar gedung kaca,” sementara para wakil rakyat berada di “ruang berkarpet tebal.” Imaji semacam ini hadir untuk menunjukkan betapa proses representasi kadang tak berjalan seperti seharusnya.

2. Kritik terhadap Proses Legislasi

Penyair kerap menyindir lambannya pembahasan undang-undang, perdebatan kosong, atau keputusan yang dianggap tidak mengutamakan kepentingan publik. Dalam puisi, birokrasi bisa digambarkan sebagai “labirin,” sedangkan rapat-rapat panjang menjadi “simfoni yang tak pernah selesai.”

3. Satir terhadap Perilaku Individu

Karikatur verbal adalah senjata para penyair. Mereka menyindir anggota DPR yang tertidur saat rapat, terlibat konflik internal, atau tersangkut kasus korupsi. Dalam puisi, hal-hal itu kerap digambarkan dengan ironi: “kursi empuk lebih fasih berbicara daripada penghuninya.”

4. Harapan dan Romantika Demokrasi

Tidak semua puisi bernada sinis. Ada pula yang menyuarakan optimisme, memotret DPR sebagai simbol demokrasi yang selalu punya peluang diperbaiki. Penyair menulis tentang harapan rakyat, kesempatan generasi baru, dan idealisme yang belum padam.

Gaya dan Pendekatan Penyair

Puisi bertema DPR biasanya memadukan:

  1. Satir politik: Nada sinis dan jenaka dipakai untuk menghindari kesan menggurui.
  2. Metafora benda-benda ruang sidang: Mikrofon, palu sidang, meja kayu, bahkan lampu gedung bisa berubah menjadi simbol moral dan kekuasaan.
  3. Personifikasi lembaga: DPR digambarkan sebagai “tubuh raksasa yang letih,” “rumah yang kehilangan pintu,” atau “taman yang bunganya tak berbunga.”
  4. Imaji keseharian: Penonton TV, pengunjuk rasa, suara klakson di jalan, semua bisa menjadi penanda dunia luar yang menunggu keputusan para legislator.

Puisi bertema DPR bukan hanya kritik politik tetapi adalah cermin sosial yang mengajak kita bertanya: apakah para wakil rakyat sudah benar-benar mewakili? Apakah demokrasi masih berjalan, atau hanya dekorasi? Dan apakah rakyat masih punya suara, atau sekadar gema yang memudar di lorong parlemen?

Puisi memungkinkan kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu tanpa kehilangan estetika. Justru lewat keindahan kata-kata, penyair mengajak publik melihat DPR bukan hanya sebagai lembaga politik, tetapi sebagai simbol yang mewakili cita-cita bangsa—baik yang tercapai maupun yang terus digugat.

Jika politik adalah kenyataan, maka puisi adalah cara kita memilih bagaimana memaknainya. Dan selama DPR tetap menjadi pusat perhatian publik, puisi tentangnya tidak akan pernah kehilangan relevansi.

Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi tentang DPR untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.

    Kumpulan Puisi tentang DPR beserta Pengarangnya

© Sepenuhnya. All rights reserved.