Sejarah tak hanya ditulis oleh para jurnalis, sejarawan, atau penguasa. Ia juga ditulis—dan lebih sering disimpan—oleh para penyair. Di tangan penyair, sejarah bukan sekadar urutan peristiwa, tetapi denyut perasaan, percampuran trauma, luka, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung dijawab. Salah satu peristiwa yang banyak melahirkan puisi penuh darah dan sunyi adalah tragedi G30S/PKI.
Ketika membahas puisi bertema G30S/PKI, kita tidak sedang berbicara soal fakta sejarah secara langsung. Puisi bukan laporan, bukan artikel jurnalistik. Puisi adalah cara lain—mungkin satu-satunya cara yang paling jujur dan menyakitkan—untuk menangkap napas zaman yang pengap dan mengalirkan air mata yang tidak sempat tumpah. Puisi bertema G30S/PKI bukan hanya tentang Partai Komunis Indonesia atau kudeta militer, tapi tentang kehilangan, ketakutan, penghilangan, dan luka kolektif yang dipelintir oleh waktu dan ideologi.
Apa yang Dibicarakan dalam Puisi G30S/PKI?
Dalam lanskap puisi Indonesia, tema G30S/PKI menciptakan cabang tersendiri. Ia tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah dan politik, tapi sekaligus terlalu dalam jika hanya disebut “politik”. Puisi-puisi ini bicara tentang:
- Penghilangan orang-orang yang dicap "PKI", sering tanpa proses hukum.
- Pembunuhan massal yang dilakukan di berbagai daerah setelah 1965.
- Trauma keluarga yang ditinggalkan tanpa makam, tanpa nama.
- Stigmatisasi terhadap mereka yang dianggap "keluarga PKI".
- Pengasingan seperti yang dialami para eksil di luar negeri.
- Kebisuan masyarakat, di mana menyebut kata "PKI" pun seperti memanggil maut.
- Manipulasi sejarah, terutama narasi tunggal Orde Baru yang mendominasi ingatan kolektif.
Lebih dari sekadar “peristiwa 1965”, puisi-puisi bertema ini adalah testimoni. Tapi bukan testimoni dalam bentuk kesaksian pengadilan—melainkan testimoni batin, suara-suara sunyi yang dilarang keluar. Dan karena dilarang, mereka memilih muncul lewat puisi.
Nada, Suasana, dan Bahasa: Sunyi yang Berdarah
Puisi bertema G30S/PKI sering kali memiliki suasana yang suram, muram, dan sangat emosional. Namun berbeda dengan puisi-puisi cinta yang sentimentil, puisi-puisi ini punya karakter tajam. Ada amarah yang ditekan, ada ratap yang tak sempat meledak. Bahasa yang digunakan cenderung penuh metafora keras: tanah, darah, mayat, sumur, bayangan, senja, dan tentu saja, sunyi.
Banyak penyair tidak bisa (atau tidak berani) menyebut "PKI" secara langsung di masa Orde Baru. Maka puisi pun memanfaatkan simbol. Seperti menyebut "orang-orang yang hilang di ladang", atau "langit yang hancur tanpa suara". Kadang, penyair hanya menulis tentang "ayah yang tak pernah pulang", atau "surat dari penjara yang tak sampai".
Ada juga penyair yang menulis puisi dari sudut pandang korban. Di sinilah kita bisa merasakan betapa puisi menjadi alat penyelamatan kemanusiaan. Seorang anak menulis tentang ayahnya yang hilang. Seorang istri menunggu suami yang dibawa pergi dan tak pernah kembali. Seorang sahabat menyebut nama teman yang "hilang entah di lubang mana".
Puisi-puisi semacam ini sangat personal, tapi sekaligus politis. Mereka tidak menyebut nama tokoh. Tidak menyalahkan siapa-siapa secara eksplisit. Tapi luka yang mereka bawa sudah cukup menjadi dakwaan moral.
Dua Kutub Narasi: Penyair Resmi dan Penyair Sunyi
Menarik untuk melihat bahwa dalam sejarah sastra Indonesia, terutama di masa Orde Baru, terdapat dua kutub dalam penulisan puisi tentang G30S/PKI. Yang satu adalah narasi resmi: puisi-puisi propaganda yang menegaskan bahwa G30S adalah pengkhianatan, dan para pembunuh harus dihukum. Puisi semacam ini banyak dimuat dalam buku pelajaran, majalah sekolah, dan media yang dikelola negara.
Namun, ada kutub yang lain—lebih kecil, lebih sunyi, tapi lebih jujur: para penyair yang menulis dari sisi korban. Penyair yang tidak hendak membela PKI, tetapi juga tidak bisa menutup mata terhadap pembantaian ratusan ribu manusia. Mereka menulis diam-diam, sering tanpa penerbit besar, bahkan terkadang hanya dibacakan dalam lingkar kecil.
Wiji Thukul, misalnya, menyuarakan perlawanan lewat bahasa yang sederhana tapi menusuk. Sementara penyair-penyair eksil seperti Agam Wispi menulis puisi tentang keterasingan, kehilangan tanah air, dan nostalgia pahit yang terus menghantui.
G30S/PKI sebagai Trauma Kolektif dalam Puisi
Apa yang terjadi pada 1965 bukan hanya pembantaian fisik, tetapi juga pembunuhan memori. Kita diajarkan bahwa PKI jahat, tanpa diajak berdialog tentang siapa sebenarnya mereka, mengapa terjadi konflik, dan siapa saja yang sebenarnya menjadi korban.
Puisi bertema G30S/PKI menjadi alat untuk menghidupkan kembali memori kolektif yang dirampas. Ia berfungsi sebagai bentuk perlawanan terhadap lupa yang disengaja. Dan penyair dalam konteks ini menjadi semacam penjaga kesadaran.
Kita membaca puisi bukan hanya untuk merasakan estetika, tapi juga untuk mengingat. Sebab ingatan adalah bentuk perlawanan.
Munculnya Generasi Baru Penyair Pascareformasi
Setelah Reformasi 1998, topik G30S/PKI mulai muncul lagi secara lebih terbuka dalam sastra. Buku-buku seperti Pulang karya Leila S. Chudori atau Amba karya Laksmi Pamuntjak membuka ruang baru bagi pembicaraan tentang 1965. Puisi-puisi pun lahir dari generasi yang tak mengalami langsung tragedi itu, tapi mewarisi traumanya.
Penyair generasi baru ini menggunakan gaya yang lebih naratif, lebih empatik. Mereka meletakkan diri sebagai pencari kebenaran, bukan hakim. Banyak dari mereka menulis berdasarkan wawancara, riset, atau bahkan cerita-cerita dari kakek-nenek mereka. Puisi menjadi ruang pertemuan antara generasi yang bicara dan generasi yang dibungkam.
Puisi dan Rekonsiliasi: Mungkinkah?
Apakah puisi bisa menyembuhkan luka sejarah? Tidak secara langsung. Tapi puisi bisa memulai dialog yang selama ini ditutup. Puisi bisa membuka jalan untuk memahami bahwa sejarah bukan cuma milik pemenang.
Rekonsiliasi bukan berarti memaafkan begitu saja. Ia butuh keberanian untuk mendengarkan. Dan puisi, dengan kelembutannya yang tajam, bisa memaksa kita mendengarkan—bahkan ketika tak ingin.
Dalam konteks G30S/PKI, puisi bisa menjadi ruang netral di mana suara korban bisa terdengar tanpa dipotong ideologi. Bukan untuk menghakimi siapa salah siapa benar, tapi untuk melihat manusia sebagai manusia. Dan ketika manusia bisa saling melihat kembali sebagai sesama, di situlah luka punya peluang untuk sembuh.
Puisi Tak Mati di Lubang Buaya
G30S/PKI telah menjadi cerita gelap yang lama terkubur dalam buku sejarah yang hanya memihak satu suara. Tapi puisi punya jalan sendiri. Ia tidak dibungkam total. Ia menyelinap lewat catatan kecil, lewat bisik ibu kepada anak, lewat suara penyair yang dibaca di panggung terbuka Reformasi.
Puisi tentang G30S/PKI bukan soal membela ideologi tertentu. Ia adalah upaya memahami sejarah sebagai pengalaman manusia. Ia menolak menjadi alat propaganda. Ia memilih menjadi jendela: mengajak kita melihat luka yang masih menganga, dan barangkali, suatu hari, menutupnya dengan pengakuan dan keberanian untuk tidak melupakan.
Di negeri ini, kadang sejarah ditulis oleh para penguasa. Tapi puisi, diam-diam, menulis ulangnya dalam darah, air mata, dan kata-kata yang tak bisa dibungkam.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi tentang G30S/PKI untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.