Puisi dan perjalanan bukanlah pasangan yang asing. Dalam puisi, banyak hal bisa menjadi perjalanan: cinta, usia, musim, bahkan luka. Tapi di antara semua jenis perjalanan yang bisa dibahas dalam puisi, ada satu perjalanan yang unik dan penuh misteri—yang tak hanya menyentuh ruang, tetapi juga waktu dan dimensi spiritual: perjalanan Isra dan Mikraj.
Bagi umat Islam, Isra dan Mikraj adalah peristiwa agung dan sakral. Sebuah momen ketika Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (Isra), lalu naik menembus langit-langit semesta hingga ke Sidratul Muntaha (Mikraj). Sebuah perjalanan yang tak hanya melampaui logika manusia, tapi juga menggetarkan nurani. Dan karena ia begitu kaya makna, banyak penyair mencoba menangkap ruh peristiwa ini dalam bentuk puisi.
Di sini kita akan membahas secara mendalam tentang bagaimana penyair menggali, menafsirkan, dan menyuarakan peristiwa Isra dan Mikraj dalam bentuk puisi. Apa yang biasanya mereka angkat? Bagaimana simbol-simbol langit, cahaya, dan keajaiban spiritual hadir dalam bait-bait? Dan mengapa tema ini tetap relevan untuk diangkat dalam konteks dunia yang serba sibuk dan serba lupa hari ini?
Perjalanan yang Mustahil: Tantangan Menulis Tentang Yang Gaib
Isra dan Mikraj bukanlah peristiwa biasa. Bahkan dalam sejarah Islam, ini adalah salah satu mukjizat paling menakjubkan yang dialami Nabi Muhammad. Karena begitu luar biasa, menuliskannya dalam bentuk puisi bukanlah pekerjaan mudah. Penyair dihadapkan pada dilema: bagaimana menuliskan sesuatu yang sangat spiritual dan gaib, dalam bahasa yang bersifat manusiawi?
Maka tidak mengherankan jika puisi-puisi tentang Isra dan Mikraj sering kali bernuansa simbolik, penuh alegori, dan bermain dengan metafora langit, cahaya, malaikat, tangga cahaya, atau mimpi suci. Karena penyair tahu: menuliskan hal yang maha agung tak cukup hanya dengan narasi. Dibutuhkan getaran, suasana, dan rasa yang membungkus setiap kata.
Banyak puisi tentang Isra Mikraj yang tidak mendeskripsikan peristiwa itu secara kronologis. Justru yang ditulis adalah efek spiritualnya: kekaguman Nabi, kerendahan hati manusia, misteri Tuhan, atau harapan untuk bisa turut merasakan sedikit saja dari cahaya yang dilihat Nabi dalam perjalanannya.
Simbol-Simbol yang Sering Hadir dalam Puisi Isra Mikraj
Karena sifatnya yang simbolik dan spiritual, puisi tentang Isra dan Mikraj kerap menghadirkan gambaran metaforis. Simbol-simbol ini menjadi jembatan antara apa yang tak terlihat dengan apa yang bisa dirasakan. Beberapa simbol yang sering muncul antara lain:
1. Tangga atau Jalan Cahaya
Ini adalah simbol paling umum untuk Mikraj. Tangga bukan hanya berarti alat menuju langit, tetapi juga mewakili naiknya jiwa manusia menuju kedekatan dengan Tuhan. Cahaya menjadi tanda arah, petunjuk, atau bahkan cinta ilahi yang menuntun perjalanan spiritual.
2. Langit Berlapis
Dalam hadis, Nabi Muhammad dikisahkan melewati tujuh langit. Dalam puisi, langit berlapis ini bisa bermakna tahap-tahap spiritual, penyucian jiwa, atau pemahaman yang bertambah seiring kedekatan pada Yang Maha Tinggi.
3. Malaikat dan Wajah Cinta
Malaikat dalam puisi tentang Mikraj sering kali tidak digambarkan secara literal. Mereka hadir sebagai cahaya, suara hati, bisikan ketenangan, atau bahkan kekasih yang menuntun dalam gelap. Karena dalam spiritualitas, malaikat tak selalu bersayap—kadang berupa kesadaran.
4. Sidratul Muntaha
Pohon ini melambangkan batas tertinggi pengetahuan dan perjalanan makhluk. Dalam puisi, Sidratul Muntaha menjadi tempat hening tertinggi. Simbol pencapaian akhir seorang pencari, atau pertemuan suci yang tidak bisa dijelaskan dengan kata.
Dimensi Liris dan Kontemplatif
Salah satu ciri khas puisi yang baik adalah kemampuannya memancing kontemplasi. Dan karena Isra Mikraj adalah peristiwa spiritual, puisi yang membahasnya pun cenderung reflektif. Penyair tidak sekadar bercerita, mereka mengajak pembaca untuk diam, merenung, dan bertanya pada diri sendiri: apakah aku juga sedang dalam perjalanan menuju Tuhan?
Puisi-puisi ini sering kali menggabungkan nuansa tasawuf. Bukan hanya soal keajaiban fisik, tapi transformasi batin. Ketika Nabi Muhammad kembali dari Mikraj, beliau tidak membawa oleh-oleh materi, melainkan perintah salat. Dalam puisi, momen ini sering dijadikan simbol penting: bahwa setelah pengalaman spiritual, manusia harus kembali ke dunia—membawa damai, membawa amal.
Isra Mikraj dalam Puisi Sufistik dan Modern
Dalam khazanah puisi sufi, perjalanan ruhani seperti Mikraj menjadi tema utama. Penyair seperti Rumi, Hafez, hingga Hamzah Fansuri menulis puisi yang secara eksplisit maupun implisit merujuk pada konsep Mikraj sebagai pendakian jiwa menuju Tuhan. Namun, mereka sering menggambarkannya dalam bentuk cinta, mabuk spiritual, atau fana (lenyapnya diri).
Rumi, misalnya, sering bicara tentang "perjalanan malam" dalam bentuk kerinduan kekasih ilahi. Dalam puisinya, tubuh menjadi bejana, dan cinta menjadi api yang membakar semua ego manusia hingga hanya tersisa cahaya.
Di era modern, penyair seperti Emha Ainun Nadjib, Abdul Hadi WM, atau Sapardi Djoko Damono juga pernah menulis puisi bernuansa spiritual yang bisa dikaitkan dengan semangat Mikraj. Bahkan dalam puisi-puisi kontemporer yang tidak menyebut Mikraj secara eksplisit, sering kita temukan tema pendakian batin, pencarian arah, hingga kegelisahan eksistensial yang bisa dianggap sebagai bentuk mikraj batiniah.
Isra Mikraj Sebagai Kritik Sosial dan Spiritualitas Sehari-hari
Puisi tidak selalu tentang puja-puji. Kadang, ia juga tentang pertanyaan dan kritik. Dan dalam konteks Isra Mikraj, banyak penyair yang justru memakainya sebagai cara untuk menggugat kemunduran spiritual masyarakat modern.
Mereka bertanya: bagaimana mungkin kita mengaku mengikuti Nabi, tapi enggan menempuh perjalanan spiritual? Kita bicara tentang Mikraj, tapi salat pun sering kita tunda. Kita mengagumi langit, tapi lupa bumi tempat kita berpijak.
Dalam puisi semacam ini, Isra Mikraj dijadikan cermin. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menyadarkan. Penyair tidak berkata “aku lebih suci”—mereka justru berkata “aku juga masih belajar.”
“Aku pun ingin naik / tapi bukan dengan tubuh ini / cukup jiwaku menelusup dalam sepi / duduk tenang di sajadah / mungkin itulah mikrajku hari ini.”
Menulis Isra Mikraj: Antara Iman dan Imajinasi
Menulis puisi tentang Isra Mikraj adalah kerja yang membutuhkan kehati-hatian dan kedalaman. Karena di satu sisi, ini adalah tema religius yang agung. Tapi di sisi lain, ini juga ruang bagi imajinasi dan perenungan.
Penyair yang baik akan menjaga keseimbangan ini. Mereka tidak asal menulis metafora tentang langit dan bintang tanpa dasar, tapi juga tidak takut bermain dengan bahasa yang puitik dan penuh rasa. Mereka tahu: puisi adalah bahasa hati, bukan ceramah. Maka yang mereka tulis bukan dogma, melainkan getar, tanya, dan harap.
Dan mungkin, di situlah keindahan puisi Isra Mikraj: ia bukan tentang tahu segalanya, tapi tentang keberanian untuk mencari. Bukan tentang menggambarkan surga, tapi tentang kerinduan untuk mendekat ke sumber cahaya.
Mikraj adalah Sebuah Proses
Dalam hidup modern yang penuh kebisingan, kita butuh ruang untuk naik—bukan secara fisik, tapi batin. Dan puisi bisa menjadi salah satu tangga itu. Puisi tentang Isra dan Mikraj mengingatkan kita bahwa hidup bukan sekadar rutinitas, tapi juga perjalanan spiritual. Bahwa salat bukan sekadar kewajiban, tapi juga tangga menuju langit. Bahwa setiap kita, sejatinya sedang dalam Isra dan Mikraj-nya masing-masing.
Menulis dan membaca puisi tentang Isra Mikraj bukan hanya untuk mengenang sejarah. Tapi juga untuk memaknai hidup hari ini. Bahwa mungkin, Mikraj itu bukan sekali saja terjadi ribuan tahun lalu. Tapi bisa terjadi setiap hari—di dalam hati yang tunduk, di dalam pikiran yang mencari, dan di dalam kata yang berusaha mendekat.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi tentang Isra dan Mikraj untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.