Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kumpulan Puisi tentang Kota Madinah beserta Pengarangnya

Ada sesuatu yang berbeda ketika kita menyebut nama "Madinah". Kata itu tak sekadar menandakan sebuah kota di jazirah Arab, tetapi juga menyimpan lapisan makna yang dalam—makna spiritual, historis, bahkan emosional. Madinah tidak seperti kota-kota lain yang dikenal karena bangunan-bangunannya yang megah atau pusat perniagaannya yang sibuk. Madinah hidup dalam hati umat Islam sebagai tempat yang tidak hanya pernah menjadi saksi sejarah Nabi Muhammad SAW, tetapi juga ruang batin yang menyatukan ketenangan, kasih, dan kedalaman makna penghambaan.

Dalam puisi, Madinah lebih dari sekadar latar. Ia adalah jiwa. Puisi bertema Madinah tidak hanya menulis tentang tempat; ia sedang menulis tentang pulang. Tentang rindunya manusia kepada satu ruang yang terasa sangat suci, sangat murni, dan seolah menjadi penghubung antara bumi dan langit. Maka tidak heran jika penyair yang menulis tentang Madinah sering kali seperti tengah menulis doa, bukan sekadar bait.

Yang menarik, puisi tentang Madinah jarang yang ditulis dengan gaya megah atau penuh kemewahan bahasa. Kebanyakan justru sederhana, bahkan minimalis, seperti para penyairnya tahu bahwa tempat itu terlalu agung untuk dihias dengan kata-kata dunia. Tidak banyak metafora yang rumit, tidak banyak kiasan yang ingin mengagumkan—karena Madinah tidak perlu dijelaskan, ia cukup dihadirkan.

Sepenuhnya Puisi Kota Madinah

Kebanyakan puisi bertema Madinah bergerak dalam atmosfer batiniah. Mereka menyalin rasa, bukan peristiwa. Dan rasa yang paling banyak muncul adalah rindu. Rindu yang tidak sederhana, tidak seperti rindu kepada kampung halaman biasa. Ini adalah rindu yang spiritual. Seorang penyair bisa belum pernah menginjakkan kakinya di Madinah, tetapi puisinya bisa terasa sangat dekat dengan suasana di sana, karena ia menulis bukan dari pengalaman mata, melainkan dari pengalaman hati.

Puisi tentang Madinah juga sering kali menyelipkan dialog antara manusia dan Tuhannya. Ada semacam percakapan diam-diam yang dibangun dalam sunyi, dan Madinah hadir sebagai ruang sakral di mana semua suara itu bisa terdengar. Beberapa penyair bahkan menjadikan Madinah sebagai metafora bagi keadaan jiwa yang bersih—jiwa yang telah disucikan dari hiruk-pikuk dunia, dari kesombongan, dari keraguan.

Saya pernah membaca satu puisi yang menuliskan Madinah sebagai "jeda dari segala kegilaan dunia". Sederhana, tetapi dalam. Penulisnya mungkin sedang berada di tengah kehidupan kota besar ketika ia menulis itu, dan pikirannya melayang ke Madinah sebagai tempat yang hening dan utuh. Saya mengerti maksudnya. Karena dalam dunia hari ini, di mana segalanya bergerak cepat, Madinah seperti satu-satunya tempat yang tidak tergesa-gesa. Ia diam. Tapi keheningannya bukan kekosongan—melainkan kehadiran. Ada kehadiran spiritual yang kuat di sana, dan para penyair tahu betul bagaimana memeluk kehadiran itu dalam puisi.

Lalu, tentu saja, ada juga puisi-puisi tentang Madinah yang sangat personal—misalnya yang menyinggung makam Rasulullah SAW. Di situ, kita sering menjumpai kata-kata yang lebih lirih. Tidak ada pujian yang berlebihan, tidak ada keagungan yang dibuat-buat. Yang ada justru kepasrahan, rasa haru, bahkan sesekali tangisan yang diterjemahkan dalam diksi yang jujur. Penyairnya mungkin hanya menuliskan satu dua bait, tetapi resonansi emosinya bisa terasa sangat lama.

Banyak pula puisi yang menjadikan Madinah sebagai lambang pertaubatan. Dalam puisi seperti itu, Madinah bukan hanya tempat yang dirindukan, tapi juga tempat yang menyembuhkan. Orang-orang datang ke Madinah bukan hanya karena ingin berziarah, tetapi juga karena ingin merasa utuh kembali. Mereka datang dengan luka, dengan berat hidup, dengan kesalahan yang belum selesai—dan mereka menulis tentang bagaimana Madinah memberi pelukan yang tak bisa diberikan oleh dunia mana pun. Dalam puisi seperti ini, Madinah seolah menjadi ibu. Tempat pulang, tempat dimaafkan, tempat dimengerti.

Ada pula penyair yang menulis Madinah dari sudut keheningan masjid Nabawi. Saya pribadi merasa, ini salah satu sudut pandang yang paling puitis. Karena masjid itu bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga ruang spiritualitas yang menyatu dengan tubuh kota. Dalam puisi-puisi semacam ini, Madinah sering ditulis sebagai tempat di mana waktu terasa berhenti. Di mana suara-suara dunia terasa mengecil dan yang tertinggal hanyalah suara batin. Penyairnya sering memilih diksi-diksi yang sangat tenang: seperti "desah angin", "aroma kurma", "cahaya pagi di karpet masjid"—semua diksi yang tak ingin mengganggu, tetapi justru menyentuh dengan kelembutan.

Yang paling saya kagumi dari puisi-puisi tentang Madinah adalah keberanian para penyairnya untuk diam. Tidak banyak penyair yang mampu melakukan itu. Karena menulis puisi biasanya identik dengan upaya untuk menampilkan sesuatu—kebolehan metafora, kedalaman filosofi, atau permainan bunyi. Tapi dalam puisi tentang Madinah, justru yang paling kuat adalah puisi yang tidak ingin menonjol. Puisi yang menjadi wadah bagi perasaan spiritual, bukan panggung bagi egonya penyair. Dan saya rasa, itu selaras dengan jiwa kota itu sendiri: rendah hati.

Saya pernah mendengar seseorang berkata bahwa kota Mekkah adalah kota ketundukan, sementara Madinah adalah kota cinta. Mungkin benar. Mekkah mengajarkan kita untuk bersujud, sedangkan Madinah mengajarkan kita untuk mendekap. Maka tidak heran kalau puisi tentang Mekkah lebih banyak berbicara tentang perjuangan, sedangkan puisi tentang Madinah lebih sering bicara tentang pelukan. Tentang kelembutan. Tentang air mata yang jatuh diam-diam di antara barisan saf, saat tak ada yang melihat kecuali Tuhan.

Dan menariknya, meski puisi tentang Madinah bisa sangat religius, ia tidak pernah terasa menggurui. Ia tidak mendakwahi pembaca, tidak memaksa pembaca untuk ikut serta dalam keyakinan si penyair. Justru karena itulah ia mengena. Karena puisinya lahir dari hati yang jujur, bukan dari ambisi untuk mempengaruhi orang lain. Pembaca dibiarkan ikut masuk ke dalam suasana, merasakan sendiri, menemukan maknanya sendiri.

Ada banyak penyair yang menulis tentang Madinah tanpa pernah menjejakkan kaki di sana. Itu bisa dimengerti. Karena Madinah tidak hanya hidup di tanahnya, tetapi juga di dalam ingatan kolektif umat Islam. Kita tumbuh mendengar nama kota itu disebut dalam kisah-kisah perjuangan Nabi, dalam syair-syair shalawat, dalam doa-doa saat selesai salat. Maka Madinah menjadi lebih dari tempat—ia adalah ingatan. Dan dalam puisi, ingatan adalah bahan yang paling dalam untuk digali.

Saya pribadi merasa bahwa puisi tentang Madinah adalah jenis puisi yang tidak akan pernah kehilangan relevansinya. Di tengah dunia yang semakin bising, manusia akan selalu mencari tempat untuk diam, untuk kembali pada dirinya yang paling dalam. Dan Madinah, sebagaimana dalam puisi, akan selalu menjadi salah satu tempat itu—tempat yang tidak hanya menerima tubuh kita, tetapi juga jiwa kita yang lelah.

Pada akhirnya, puisi tentang Madinah bukan hanya tentang kota. Ia tentang keinginan terdalam manusia untuk berada dekat dengan sesuatu yang suci. Tentang harapan untuk bisa hadir di tempat di mana cinta dan iman tidak hanya diajarkan, tetapi juga dirasakan. Puisi-puisi ini adalah bukti bahwa Madinah hidup di mana-mana—di bait puisi, di dalam hati yang bergetar, dan di setiap jiwa yang merindukan kedamaian yang sejati.

Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi tentang Kota Madinah untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.

    Kumpulan Puisi tentang Kota Madinah beserta Pengarangnya

© Sepenuhnya. All rights reserved.