Parangtritis bukan sekadar nama pantai di selatan Yogyakarta yang ramai dikunjungi wisatawan setiap akhir pekan. Ia adalah ruang budaya, ruang spiritual, ruang perenungan, dan sekaligus ruang luka. Ketika Parangtritis hadir dalam puisi, ia menjelma menjadi lebih dari garis pantai yang berpasir hitam dan ombak yang beringas. Ia menjadi simbol. Ia menjadi metafora. Ia menjadi tubuh tempat manusia menyandarkan rasa yang tak tertampung oleh logika dunia sehari-hari.
Penyair yang menulis tentang Parangtritis tidak sedang menggambarkan tempat wisata. Mereka tidak sedang menulis brosur pariwisata. Mereka menulis tentang perjumpaan dengan sesuatu yang lebih luas dari diri mereka sendiri. Tentang benturan antara kesadaran manusia yang fana dan kekuatan semesta yang agung. Tentang mitos yang hidup, tentang sejarah yang terpendam, tentang tubuh yang letih dan ingin disapu angin samudra.
Puisi bertema Parangtritis seringkali hadir sebagai catatan pertemuan antara manusia dengan misteri. Dan dalam puisi, misteri itu tidak harus dijelaskan; cukup dirasakan, cukup dibiarkan menggema dalam baris-baris yang tenang namun menghantui.
Bicara tentang Parangtritis dalam puisi, maka tidak bisa dilepaskan dari nuansa mitologis yang membungkusnya sejak lama. Di sanalah diyakini bersemayam Kanjeng Ratu Kidul, penguasa laut selatan, sosok yang dalam banyak puisi tidak pernah hadir sebagai tokoh utuh, melainkan sebagai bayang, sebagai desir angin yang menyingkap kain kebesaran seorang ratu yang tidak kasatmata. Penyair seringkali menyebut namanya tanpa menyebut namanya. Ia hadir dalam gerak ombak, dalam aroma garam yang menggigit hidung, dalam desir pasir yang menyusup di antara jari-jari kaki.
Parangtritis adalah medan di mana puisi membentur mitos dan tak pernah sepenuhnya berhasil menembusnya. Justru karena tak mampu merengkuhnya secara total, penyair jadi terdorong untuk terus menulis. Dan di situlah daya puisi bertema Parangtritis: ia adalah upaya yang tak pernah selesai untuk memahami sesuatu yang terlalu besar, terlalu tua, terlalu dalam untuk diungkapkan dalam satu puisi.
Bukan hanya penyair lokal yang menulis tentang Parangtritis. Mereka yang berasal dari luar Yogyakarta pun seringkali menjadikannya tempat ziarah. Ziarah bukan dalam pengertian ritual keagamaan, tetapi dalam makna puitik: perjalanan batin menuju titik di mana kata-kata bertemu dengan kekaguman dan ketakutan dalam satu waktu. Dalam banyak puisi, Parangtritis digambarkan dengan nuansa muram, sepi, dan bahkan kadang-kadang seperti meratap. Angin yang berhembus dari laut membawa semacam kesedihan purba, seolah laut tidak hanya menyimpan ikan, tapi juga menyimpan rahasia, kehilangan, dan janji-janji yang tidak pernah ditepati.
Penyair sering datang ke Parangtritis untuk menyepi. Bahkan jika fisiknya tidak pernah benar-benar menginjakkan kaki di sana, penyair tetap bisa hadir secara batin. Parangtritis dalam puisi adalah tempat pelarian dari kebisingan kota, tempat untuk duduk bersama sunyi dan menanyakan ulang makna hidup. Penyair melihat ombak yang datang dan pergi sebagai lambang ketidakkekalan. Pasir yang membentuk jejak hanya untuk dihapus kembali oleh air laut adalah gambaran konkret dari kefanaan manusia.
Dalam puisi-puisi yang demikian, Parangtritis tidak didekati secara romantis. Ia tidak dipuji secara berlebihan. Justru yang muncul adalah kesadaran akan kebesaran dan keasingan. Laut tidak memberi pelukan, hanya menyodorkan jarak. Dan dalam jarak itulah, penyair menemukan cermin. Cermin yang tidak jernih, karena air laut selalu keruh, namun cukup untuk menunjukkan bayangan diri yang sedang limbung.
Kadang, Parangtritis dalam puisi adalah tempat perpisahan. Banyak penyair mengaitkan tempat ini dengan kenangan yang patah. Ada kisah cinta yang ditinggalkan di antara suara ombak. Ada tubuh kekasih yang hanya hadir sebagai ingatan, seperti kapal yang tak kembali ke dermaga. Pantai menjadi tempat untuk melepas, untuk menyatakan selamat tinggal yang tidak diucapkan dengan suara, tetapi dengan tatapan yang diarahkan ke garis cakrawala yang tak pernah bisa disentuh. Puisi pun menjadi pelengkap dari kehilangan itu, seperti kerang kosong yang ditinggal isinya.
Di sisi lain, ada juga puisi-puisi yang melihat Parangtritis sebagai bagian dari tubuh Jawa. Dalam puisi semacam ini, pantai bukan hanya alam, tetapi juga sejarah. Penyair melihatnya sebagai tempat berlabuhnya peradaban, tempat benturan antara darat dan laut, antara tradisi dan modernitas. Di Parangtritis, penyair bisa membaca perubahan. Warung-warung yang menjamur, wisatawan yang berswafoto tanpa tahu cerita yang mereka injak, dan suara motor trail yang memecah keheningan petang menjadi bagian dari puisi yang resah.
Keresahan itu tumpah dalam bahasa yang tidak meledak-ledak. Justru karena puisi bekerja dengan cara meredam, ia mampu menangkap ironi dengan lebih halus. Parangtritis yang dulu adalah tempat bertapa, kini menjadi tempat jual beli. Tempat kontemplasi berubah menjadi tempat konten. Di sinilah puisi menjadi penting: ia menyelamatkan sisi Parangtritis yang tidak terlihat oleh kamera, sisi yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang diam.
Ada pula puisi-puisi yang menjadikan Parangtritis sebagai semacam penghubung antara dunia yang kelihatan dan dunia yang tak kelihatan. Dalam pandangan ini, penyair seolah berdiri di ambang dua dunia. Barangkali karena itulah banyak penyair menulis puisi tentang Parangtritis pada malam hari. Saat cahaya surut dan bayang lebih nyata dari bentuk. Ketika ombak terdengar seperti bisikan. Dan angin seolah membawa kabar yang tidak dapat diterjemahkan.
Dalam puisi yang demikian, kata-kata bukan untuk menjelaskan, melainkan untuk menghadirkan suasana. Penyair tidak memberi informasi, ia menciptakan pengalaman. Dan pengalaman itu seringkali bersifat personal sekaligus kolektif. Personal karena muncul dari rasa batin penyair. Kolektif karena hampir semua orang Jawa—dan mungkin sebagian besar orang Indonesia—punya bayangan tentang Parangtritis yang diturunkan dari cerita, lagu, atau film.
Parangtritis juga kerap muncul dalam puisi dengan nada spiritual. Bukan dalam pengertian religius formal, tetapi dalam pengalaman keberadaan yang lebih dalam. Ketika penyair menatap laut Parangtritis, ia tidak sedang mengagumi pemandangan, tetapi sedang mencari jawaban. Jawaban tentang kehidupan, tentang arah, tentang siapa yang sebenarnya memegang kendali dalam semesta ini. Di titik ini, puisi menjadi doa. Doa yang tidak berbentuk permintaan, tetapi pengakuan akan ketidaktahuan.
Dan justru dalam ketidaktahuan itulah puisi menemukan kekuatannya. Ia tidak memaksakan jawaban, tidak menggurui. Ia hanya menunjukkan, dan membiarkan pembaca mengendapkan. Seperti laut yang tidak pernah memaksa untuk direnangi. Ia hanya ada, menggelombang, dan dalam kehadirannya yang terus-menerus, ia mengingatkan bahwa segala sesuatu berubah.
Tak bisa dimungkiri, puisi bertema Parangtritis adalah juga puisi tentang Indonesia. Tentang tubuh negeri yang terbuat dari laut, pasir, mitos, dan sejarah. Tentang rakyat yang percaya pada kekuatan gaib bukan karena tak berpendidikan, tetapi karena menyadari bahwa tidak semua hal bisa dijelaskan secara rasional. Dalam puisi-puisi itu, Parangtritis menjadi simbol dari bangsa yang rumit: modern tapi mistis, cerah tapi penuh luka, ramai tapi terasa sunyi.
Dan itulah mengapa Parangtritis terus hidup dalam puisi. Ia memberi ruang bagi segala jenis perasaan: takut, rindu, cinta, kehilangan, harap, bahkan kemarahan. Tidak banyak tempat yang mampu menampung semua itu tanpa pecah. Tapi Parangtritis bisa. Ia menampung air mata penyair dan menguapkannya kembali ke langit. Ia menerima jejak langkah penyair dan menghapusnya tanpa dendam. Ia memberi ruang bagi bahasa untuk tumbuh menjadi makna.
Dalam puisi, Parangtritis adalah laut yang tidak pernah kering. Pantai yang tidak pernah selesai ditulis. Dan penyair, selama masih ada yang menatap laut dan bertanya pada sunyi, akan selalu kembali ke sana—entah dalam tubuh, entah dalam kata.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi tentang Parangtritis untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.