Telinga, bagi kebanyakan orang, barangkali hanya sepasang organ yang menempel di sisi kepala. Fungsinya sederhana: menangkap suara, mengirimkannya ke otak, dan biarkan pikiran mengolahnya. Tapi, dalam dunia puisi, telinga bukan sekadar sepotong daging yang pasif menerima getaran udara. Telinga, bagi penyair, adalah ruang batin. Ia adalah gerbang menuju dunia luar sekaligus ruang yang menampung rahasia terdalam manusia. Maka, tidak mengherankan jika puisi-puisi bertema telinga justru kerap lebih gelap, lebih menyayat, dan lebih filosofis dibanding puisi-puisi tentang mata atau mulut. Sebab telinga menyimpan misteri: ia mendengar, tetapi tidak selalu mampu melawan.
Penyair yang mengangkat telinga sebagai tema tahu bahwa telinga bukan sekadar pancaindra. Ia adalah saksi bisu dari suara-suara yang dipaksa masuk. Puisi bertema telinga seringkali bicara tentang suara-suara yang ingin dilupakan, suara yang menggema terlalu lama, suara yang ditangisi diam-diam. Ada puisi-puisi yang mencatat bagaimana telinga menjadi tempat pertama yang menerima kabar buruk—kabar kematian, pengkhianatan, atau caci maki. Telinga, sebagai penerima pertama, memikul trauma lebih dulu ketimbang mulut yang mengucapkan atau mata yang melihat. Inilah sebab mengapa telinga begitu sering hadir sebagai metafora dalam puisi-puisi bertema luka batin.
Namun, di sisi lain, telinga juga bisa menjadi lambang kerinduan. Dalam puisi-puisi tentang cinta jarak jauh, telinga adalah tempat kekasih menyandarkan suaranya. Puisi semacam ini menggambarkan telinga sebagai ruang yang hangat, tempat suara orang tersayang menyelusup lembut, mengisi relung batin yang kosong. Telinga, dalam konteks ini, bukan sekadar organ, melainkan pintu masuk bagi keintiman yang tak bisa dilihat mata atau disentuh tangan. Ia menjadi jalur sunyi yang menghubungkan dua hati yang terpisah jarak.
Tetapi, penyair tidak pernah melihat satu sisi saja. Telinga juga menyimpan sisi gelapnya sendiri. Ada puisi-puisi yang bercerita tentang telinga yang dipenuhi suara-suara yang ingin dihapus. Telinga yang dipaksa mendengar sumpah serapah orang tua, telinga yang dijejali propaganda, telinga yang dihantui bisikan-bisikan yang tak diundang. Dalam puisi-puisi semacam ini, telinga adalah tempat trauma bersembunyi. Ia menampung suara yang tak bisa dihapus meski mulut telah diam dan mata telah memejam.
Menariknya, puisi bertema telinga juga seringkali bersentuhan dengan konsep kejujuran dan kebohongan. Telinga, sebagai penangkap suara, menjadi tempat pertama yang mendengar kebohongan atau janji manis. Dalam puisi-puisi protes, telinga kerap digambarkan sebagai korban propaganda. Ia dijejali slogan, doktrin, dan ancaman yang dirancang agar terus terngiang. Penyair yang kritis kerap menguliti telinga sebagai ruang politik, tempat kekuasaan menyusup masuk tanpa izin. Telinga adalah pintu yang tidak pernah bisa ditutup rapat-rapat, membuat manusia selalu rentan terhadap manipulasi kata.
Namun, telinga juga bisa menjadi metafora penerimaan. Dalam puisi-puisi religius atau sufistik, telinga dipandang sebagai karunia yang memungkinkan manusia mendengar suara Tuhan, suara alam, suara hati sendiri. Telinga menjadi alat kontemplasi. Melalui telinga, manusia menangkap azan, kidung doa, atau alunan alam yang sunyi. Dalam puisi semacam ini, telinga adalah jalan menuju ketenangan. Ia mengajarkan bahwa mendengar adalah awal dari memahami.
Tapi, apakah semua suara pantas didengar? Inilah pertanyaan yang kerap menyusup dalam puisi bertema telinga. Penyair tahu, telinga bukan saringan yang bisa memilih. Ia menangkap semuanya, baik atau buruk, jernih atau kotor. Puisi-puisi bertema telinga seringkali menyoal ketidakmampuan manusia memilih apa yang ingin didengar dan apa yang ingin diabaikan. Penyair meratap karena telinganya dipenuhi suara yang tak pernah ia undang—suara luka lama, suara amarah yang tak kunjung reda, suara ketakutan yang tak punya wajah.
Dalam puisi cinta, telinga justru menjadi saksi bisu dari janji yang patah. Suara kekasih yang dulu hangat di telinga, kini jadi gema yang menyiksa. Telinga mengingat segalanya, bahkan ketika hati ingin melupakan. Itulah sebabnya, dalam puisi patah hati, telinga sering digambarkan sebagai beban yang terus-menerus memutar ulang rekaman kenangan. Ia adalah pengkhianat paling setia. Telinga menyimpan suara terakhir sebelum cinta berakhir—dan suara itu tak pernah benar-benar pergi.
Penyair juga sadar, telinga tidak pernah netral. Dalam puisi-puisi bertema konflik sosial atau perang, telinga dipaksa memilih suara siapa yang ingin didengar. Apakah suara propaganda yang menyemangati perang, atau suara ibu yang menangisi anaknya yang pergi ke medan tempur? Apakah suara pemimpin yang berteriak lewat pengeras suara, atau suara rakyat kecil yang merintih di balik pintu rumahnya yang terbakar? Dalam puisi semacam ini, telinga adalah ruang pertarungan ideologi, kebenaran, dan kebohongan.
Lebih jauh lagi, telinga juga hadir dalam puisi-puisi tentang kesunyian. Sebab, telinga bukan hanya alat mendengar suara luar, tetapi juga gema batin sendiri. Ketika dunia diam, telinga justru lebih keras mendengar suara diri sendiri. Puisi tentang kesepian kerap menggunakan telinga sebagai metafora: telinga yang mendengar detak jantung sendiri, napas sendiri, bahkan tangisan sendiri yang nyaris tak bersuara. Di titik ini, telinga bukan lagi jembatan ke dunia luar, melainkan cermin yang menghadap ke dalam.
Satu hal yang menarik, telinga juga kerap hadir dalam puisi-puisi tentang pengakuan. Sebab, setiap pengakuan butuh telinga yang bersedia mendengar. Dalam puisi-puisi tentang persahabatan atau kasih sayang, telinga adalah simbol penerimaan tanpa syarat. Telinga yang mendengar tanpa menghakimi, tanpa menyela. Telinga yang bersedia jadi tempat berlabuh segala cerita tanpa perlu buru-buru memberi nasihat. Dalam puisi semacam ini, telinga menjadi lambang cinta yang dewasa—cinta yang mendengar sebelum menilai.
Pada akhirnya, puisi bertema telinga adalah puisi tentang manusia yang terus-menerus dihujani suara. Suara orang lain, suara kenangan, suara hati sendiri. Dan penyair tahu, tidak semua suara bisa dibungkam. Ada suara yang terlalu tajam, meninggalkan luka yang bergetar seumur hidup. Ada suara yang terlalu manis, membuat rindu tak kunjung habis. Ada pula suara yang begitu sunyi, tetapi justru paling nyaring menggema di kepala.
Telinga, dalam puisi, adalah ruang paling jujur. Ia tak bisa memilih, tak bisa menolak. Ia mendengar segalanya, menyimpannya diam-diam, dan mewariskannya pada puisi yang ditulis bertahun-tahun kemudian. Karena puisi, pada hakikatnya, adalah suara yang akhirnya ditumpahkan ke kertas—suara yang dulu berbisik di telinga, kini abadi dalam kata.
Dan begitulah, puisi-puisi bertema telinga akan selalu punya tempat. Karena manusia, dengan segala kemanusiaannya, akan selalu butuh didengar. Dan selama telinga masih ada, puisi akan terus menemukan jalannya.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi tentang Telinga untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.