Tikus, bagi kebanyakan orang, barangkali sekadar makhluk kecil yang menjijikkan, mengendap-endap di balik lemari atau menyelinap di selokan sempit. Namun, bagi para penyair, tikus lebih dari sekadar hama rumah tangga. Dalam dunia puisi, tikus telah menjadi simbol yang sarat makna, ruang tafsir yang terbuka luas bagi perenungan-perenungan yang gelap maupun menyentil. Tikus tidak sekadar hadir sebagai binatang yang dipandang rendah, tetapi juga sebagai metafora yang mewakili sisi-sisi gelap kehidupan manusia, entah itu kerakusan, kemunafikan, atau sekadar cerminan ketakutan manusia pada bayangannya sendiri.
Jika ditelusuri dalam tradisi sastra, puisi-puisi bertema tikus jarang sekali mengangkat tikus sebagai objek yang netral atau sekadar bagian dari lanskap. Sebaliknya, tikus dalam puisi hampir selalu bermuatan kritik, baik kritik sosial maupun kritik eksistensial. Tikus sering dijadikan personifikasi keserakahan, simbol manusia-manusia yang rakus menggerogoti segala sesuatu, mulai dari kekayaan negara hingga kebaikan hati orang lain. Gambaran tikus mengunyah diam-diam di dalam gelap memberi ruang tafsir yang begitu luas tentang cara kerja korupsi di banyak sudut kehidupan.
Namun, menariknya, tidak semua puisi bertema tikus melulu soal kritik sosial. Ada juga penyair yang mengangkat tikus sebagai potret ketakutan yang sangat personal—takut pada sesuatu yang kecil, licin, sulit dikendalikan, tetapi secara perlahan merayap dan menguasai. Tikus menjadi simbol dari kecemasan yang mengendap dalam kepala manusia. Ia adalah perwujudan kegelisahan yang mula-mula remeh, tetapi semakin dibiarkan, semakin liar, dan akhirnya menguasai seluruh pikiran.
Di tangan penyair yang bernyali mengeksplorasi sisi gelap manusia, tikus bisa menjelma metafora yang jauh lebih filosofis. Tikus bukan sekadar makhluk fisik, melainkan simbol insting dasar manusia—naluri bertahan hidup dengan segala cara. Dalam puisi-puisi semacam ini, manusia dan tikus berdiri berdampingan, bahkan kerap digambarkan bertukar peran. Ada puisi yang menggambarkan manusia sebagai tikus yang bersembunyi di balik tembok ketika bahaya datang. Ada pula puisi yang mengisahkan manusia yang terpaksa menjadi tikus—menggerogoti moralnya sendiri demi bertahan hidup dalam sistem yang korup.
Tikus juga kerap menjadi simbol kota yang sakit. Di puisi-puisi yang berangkat dari keresahan urban, tikus digambarkan sebagai penghuni sejati lorong-lorong gelap, selokan bau, dan sisa-sisa kemewahan yang membusuk. Tikus adalah saksi bisu bagaimana kota menggilas manusianya sendiri. Penyair memandang tikus bukan sekadar binatang kotor, tetapi cermin dari sisi-sisi kumuh peradaban yang jarang mau diakui. Tikus adalah suara dari gang sempit yang tak terurus, dari kamar kos pengap yang menyimpan mimpi-mimpi yang gagal, dari bangunan mewah yang fondasinya diam-diam dirayapi tikus lapar yang datang dari kampung-kampung sekitar.
Menariknya, puisi-puisi bertema tikus juga tidak selalu gelap. Ada pula puisi yang mengangkat tikus sebagai metafora ketangguhan. Di tengah geli dan jijik yang sering ditujukan pada tikus, ada penyair yang justru melihat tikus sebagai simbol kegigihan. Tikus tidak pernah benar-benar mati, tidak peduli seberapa keras manusia berusaha memberantasnya. Ia tahu bagaimana beradaptasi, bagaimana mencari celah, bagaimana mengelabui manusia yang merasa lebih cerdas darinya. Dalam puisi-puisi bertema perjuangan hidup, tikus hadir sebagai ikon makhluk kecil yang menolak tunduk.
Meski begitu, romantisasi tikus pun jarang terjadi tanpa ironi. Sebab, di balik ketangguhannya, tikus tetaplah tikus: makhluk yang hidup di kotoran, mencari makan dari sisa-sisa, dan bertahan bukan karena mulia, melainkan karena terpaksa. Di titik inilah puisi bertema tikus sering bertabrakan dengan kesadaran manusia akan eksistensinya sendiri. Seberapa jauh manusia bersedia mengidentifikasi dirinya sebagai tikus? Seberapa rela manusia mengakui bahwa di dalam diri setiap orang, ada naluri tikus yang siap muncul saat hidup menghimpit? Puisi-puisi bertema tikus seringkali menyelinapkan pertanyaan-pertanyaan itu secara halus, membiarkan pembaca merenungkannya sendiri.
Tikus dalam puisi juga sering dihadirkan sebagai bentuk penghinaan yang menyamar jadi pujian. Dalam kritik sosial yang tajam, penyair bisa saja menyebut penguasa atau elit sebagai tikus-tikus yang cerdas, tikus-tikus yang lihai menyelinap di antara aturan hukum dan moralitas. Ada lapisan sindiran yang kuat di balik pujian semacam itu. Penyair tidak sedang mengagumi kecerdasan tikus, tetapi menyentil fakta bahwa kecerdasan itu justru digunakan untuk merusak, bukan membangun.
Tikus juga dekat dengan konsep pengkhianatan. Dalam beberapa puisi, tikus menjadi simbol kawan yang berkhianat diam-diam. Ia terlihat jinak, tetapi di belakang menggerogoti segalanya. Puisi-puisi yang mengangkat tema pengkhianatan kerap menggunakan tikus sebagai metafora sahabat yang menusuk dari belakang, saudara yang tega menjual saudaranya sendiri, atau pemimpin yang mengkhianati rakyat yang dulu begitu percaya.
Selain itu, dalam konteks sejarah dan politik, tikus menjadi lambang laten bagi pihak-pihak yang hidup dengan menghisap pihak lain. Penyair yang menulis puisi bertema penindasan atau penjajahan kerap menghadirkan tikus sebagai simbol penjajah yang menjarah sumber daya. Tikus yang merayap di balik tembok kerajaan atau di ruang-ruang pemerintahan korup adalah gambaran betapa kekuasaan jarang sekali bersih dari makhluk semacam itu.
Namun, yang paling menyentuh dalam puisi-puisi bertema tikus adalah ketika tikus dijadikan cermin eksistensial. Ada penyair yang jujur mengakui bahwa dirinya pun, di titik tertentu, merasa seperti tikus: makhluk kecil yang bertahan hidup di dunia yang tidak adil, bersembunyi di kegelapan karena takut dihancurkan oleh mereka yang lebih kuat. Tikus menjadi metafora bagi manusia yang kalah, manusia yang ditakdirkan berada di bawah, manusia yang diam-diam mengunyah luka-lukanya sendiri di tempat yang tak terlihat.
Maka, puisi bertema tikus sesungguhnya bukan tentang binatang itu sendiri. Ia adalah puisi tentang manusia—manusia yang rakus, manusia yang licik, manusia yang takut, manusia yang berjuang, manusia yang dikhianati, manusia yang mengkhianati, manusia yang rela hidup di bawah meja hanya demi sesuap nasi. Tikus dalam puisi adalah refleksi sisi paling jujur dari kemanusiaan itu sendiri, yang jarang mau diakui.
Tikus mengingatkan bahwa di balik segala kesombongan manusia sebagai makhluk beradab, ada naluri kecil yang terus menggerogoti di sudut paling gelap. Naluri bertahan hidup, naluri menipu, naluri merayap tanpa ketahuan. Dan selama manusia masih punya naluri itu, puisi tentang tikus akan terus ditulis. Sebab, selama dunia masih penuh ketidakadilan, tikus dan manusia akan terus berdampingan—di selokan, di kantor pemerintah, di ruang sidang, di bawah kasur, dan bahkan di dalam kepala kita sendiri.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi tentang Tikus untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.