Puisi: Pacuan Kuda (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "Pacuan Kuda" karya Taufiq Ismail tidak hanya menciptakan gambaran visual yang kuat, tetapi juga menyentuh isu-isu sosial dan filosofis yang ...
Pacuan Kuda
(Kepada Arief Rachman, Hudori Hamid, Dipo Alam, A.M. Fatwa, Toto Tasmara, Lukman Hakim, dan semuanya di Kampus Kuning)


Ketika cahaya sudah disiapkan,
sehingga atmosfer terang tembus
bagai 
cairan bening kimiawi
dan awan diserakkan seperti busa sabun cuci,

Ketika suhu sudah diatur,
sehingga cuaca khatulistiwa bagai subtropika
dan tekanan uap air berbanding keringat
badan terasa sangat 
sepadan,

Ketika debu usai disapu,
lengan dan jari selesai dihapus hama lalu rata 
dicuci,

Ketika gelanggang habis dibeton tulang, disemen, dikapur, dicat,
dibangkui, diatapi, dirumputi, diloketi lalu dipagar logami,

Ketika kuda pacu habis dikaji silsilahnya, dikandangkan,
diransum gizi 
tinggi serta zat mineral,
dibereskan otot-otot gerakannya,
lalu 
diakrabkan pada medan pacuan,

Ketika penonton berduyun, 
berjajar,
duduk bersentuh bahu dan suara 
tambur bertalu-talu,

Ketika pistol dibunyikan, debu beterbangan,
garis-garis jejak berjajar, 
dan mulailah pacuan tak putus-putusnya,

Ketika para penonton bersorak serta-merta,
kemudian teratur, 
makin 
lama makin diatur,
dan terdengarlah tepukan yang tak habis-
habisnya,

Ketika gelanggang rumput mengembang dari cetak biru jadi kawasan pacu,
teramat luas tak tampak batas, kebun tanaman keras, ladang minyak,
tambang logam, lahan industri dan hutan rimba eksplorasi,

Ketika kawanan kuda terus berpacu dari pulau ke pulau,
melangkaui menara 
dan anjungan lepas pantai, antena stasiun transmisi,
dalam derap tak 
putus-putusnya, ditingkah semangat tepukan tak habis-habisnya,

Ketika anak-anak tak berkarcis bergelantungan di dahan luar gelanggang,
mereka bertahun menonton pertandingan yang semakin kencang,

Ketika pelana joki telah bertatah batu akik, butir zamrud dan intan, kepingan
logam mulia, mata berlian serta berbagai koin emas dunia,

Ketika pacuan makin kencang, penonton bersorak
dan bertepuk prok-prok 
tak putus-putusnya:

Tanah! Prok-prok-prok!
Kebun! Prok-prok-prok!
Tambang! Prok-prok-prok!
Pabrik! Prok-prok-prok!
Hutan! Prok-prok-prok!
Uang! Prok-prok-prok!
Maha! Prok-prok-prok!
Esa! Prok-prok-prok!

Ketika anak-anak tak berkarcis bergelantungan di dahan luar gelanggang,
mereka bertahun-tahun menonton pertandingan yang semakin
garang, kuda berpacu-pacu mengepul-kan gumpalan debu,
dan tiba-
tiba si Toni mengacungkan tangannya yang kecil,

Ketika sekonyong-konyong semuanya berhenti, para joki yang perkasa
menarik kendali, kuda-kuda balap meringkik kedua kaki depan 
meninggi,
semua penonton menengok ke arah anak yang mengirim 
sunyi,

Ketika anehnya semua tiba-tiba sepi, si Toni tetap mengacungkan lima 
jari,
kata-katanya disimak dengan teliti, tatkala suaranya lantang 
begini:

“Apakah itu tidak keliru,
Karena kedengarannya kurang anu,
Tidak cocok dengan ajaran bapak guru?”

Ketika tiba-tiba pohon besar itu tumbang, anak-anak tak berkarcis
yang 
bergelantungan menonton pacuan terjatuh bergelimpangan,
ada yang tersangkut di pagar sekolahan, ada yang langsung
jatuh di atap markas pertahanan,

Ketika sunyi sudah mati, kembali penonton bertepuk teratur bertalu-
talu,
mereka duduk berjajar bersentuh bahu,
sementara joki-
joki yang gagah 
menggusah kuda tunggang
dan mereka 
berpacu lagi dengan kencang,

Ketika debu turun naik kembali, suhu turun sub-tropika lagi,
sorak tepuk 
saling bersahutan:

Keuangan Yang Maha Esa adalah Kalimat Yang Pertama!
Prok-prok-prok!
Pacuan kuda, satu tak terpisahkan dengan kuda pacuan!
Prok-prok-prok!
Sepanjang kebun dan tambang, pabrik dan hutan!
Prok-prok-prok!

Ketika pacuan kuda kembali jadi sangat semarak,
diiringi sejuta tepuk 
dan sorak,
tersiram debu dan terlanggar balap,
penonton 
kanak-kanak cedera parah dan patah-patah,
dan si kecil yang 
mengajukan tanya kini terkapar tanpa kata-kata,

Si Toni kecil, gegar, terkulai dipeluk bapak gurunya.

1979

Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2000)

Analisis Puisi:

Puisi "Pacuan Kuda" karya Taufiq Ismail merupakan karya sastra yang menyajikan gambaran tentang kehidupan, pacuan kuda, dan dinamika masyarakat.

Imaji dan Deskripsi Visual: Puisi ini dimulai dengan deskripsi visual yang kuat. Penyair menggunakan bahasa yang kaya untuk menggambarkan persiapan pacuan kuda. Gambaran cahaya, atmosfer, dan persiapan gelanggang menciptakan imaji yang hidup bagi pembaca. Penggunaan metafora seperti "cairan bening kimiawi" dan "awan diserakkan seperti busa sabun cuci" memberikan nuansa yang intens pada suasana.

Rasa Dinamis dan Ritme: Puisi ini membangun suasana dinamis yang kuat seiring dengan persiapan pacuan kuda. Ritme puisi menggambarkan perasaan kegembiraan dan antisipasi sebelum acara dimulai. Pemilihan kata yang energik dan gerak cepat membawa pembaca ke dalam momen kegiatan yang dinamis.

Hubungan Dengan Alam dan Lingkungan: Pacuan kuda digambarkan sebagai kegiatan yang tidak hanya terbatas pada arena gelanggang, tetapi juga meresap ke dalam lingkungan sekitar. Penyair menunjukkan betapa pacuan kuda memiliki dampak yang meluas, mencakup berbagai elemen seperti kebun, tambang, pabrik, dan hutan. Hal ini mencerminkan keterkaitan antara aktivitas manusia dengan lingkungan alaminya.

Kritik Sosial: Ada elemen kritik sosial yang dihadirkan melalui karakter si Toni kecil. Pertanyaan dan kekonyolan si Toni menciptakan ketegangan di tengah keramaian pacuan kuda. Pemilihan kata dan ekspresi si Toni mengisyaratkan ketidaksetujuan terhadap keadaan yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran guru atau nilai-nilai tertentu.

Keheningan yang Mencekam: Pada bagian selanjutnya, suasana dramatis mencuat ketika pohon besar tumbang dan anak-anak tak berkarcis yang bergelantungan menyaksikan peristiwa tragis. Keheningan yang mencekam muncul sebelum kembali disusul sorak tepuk dan kehidupan yang kembali berlanjut. Ini menciptakan efek kejutan dan dramatis yang membuat pembaca terpaku pada perubahan suasana.

Makna Kehidupan dan Kematian: Puisi ini menggambarkan kontras antara kehidupan dan kematian melalui kegembiraan pacuan kuda dan kejadian tragis yang mengikutinya. Kematian anak-anak dan reaksi si Toni kecil memberikan dimensi filosofis, mengajak pembaca merenung tentang makna hidup, kebahagiaan, dan konsekuensi dari tindakan manusia.

Melalui berbagai elemen sastra yang dimanfaatkan, puisi "Pacuan Kuda" karya Taufiq Ismail tidak hanya menciptakan gambaran visual yang kuat, tetapi juga menyentuh isu-isu sosial dan filosofis yang mendalam. Puisi ini menjadi sarana untuk merenungkan kompleksitas kehidupan dan hubungan manusia dengan alam serta takdirnya.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Pacuan Kuda
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.