Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Perahu Meninggalkan Pantai (Karya Isbedy Stiawan ZS)

Puisi "Perahu Meninggalkan Pantai" karya Isbedy Stiawan ZS bercerita tentang seorang pelayar dengan perahu yang terus meninggalkan pantai untuk ...
Perahu Meninggalkan Pantai

/1/
kembali meninggalkan pantai, selagi angin diam
dan malam curam. arahkan kemudi, pancangkan
layar. ombak berbuncah buang tuah. ini waktu
perahu makin laju. melambai dalam kenang

jauh di balik pulau, kau menunggu. akulah
pengantin yang lama merindu pelaminan
“duhai pantai yang menyimpan tasbih
jangan panggil lagi pelayar ini kembali
sebelum habis laut kulayari,” bisik perahu

perahu meninggalkan pantai malam ini
dan akan kembali esok pagi
ketika fajar bangun dari bolamatamu
yang menawan


/2/
perahu pun sampai
pada capaimu

hening waktu
bening lautmu
gelombang berbuncah
dalam jiwaku

pada keluasan
tiada lagi nama-nama
yang kutulis di pantai,
di pasir, di bakau-bakau

pada pelayaran ini
aku telah melipat badai
sebagai biji-biji tasbih
dalam kantung jubahku

engkau maha-laut
bagiku berlayar
malam-malam …


/3/
perahu tua yang tertambat itu kini menjelma dalam tidurku
ketika malam berbintang. aku pun menuruni pasir pantai
yang kau hamparkan berabad-abad. “segeralah naik
sebelum banjir datang,” ajakmu.

aku terpesona pada parasmu. malam dicahayai purnama
sewaktu aku buru perahumu, sebelum pantai
pasang. sebelum banjir itu datang …

kutinggalkan pantai dengan segala kecupan. aku pun
mengaliri laut ke dalam gelombangmu

“kaulah laut yang selalu datang dalam mimpiku
membawa perahu dan seribu pulau,” kataku
sambil mengeringkan lautku dalam diri!

perahu tua yang dulu tertambat itu menjelma
dalam diriku. malam kini berdegup di hatiku.


/4/
perahu yang kurindu kini telah berlayar. pantai jadi
kian hening di dalam lembaran peta masa silam
yang kurajah dengan bismillah

aku pun jadi piatu di ujung pasir pantai ini
menanti perahu lain tiba
membawa pesanmu

bertahun-tahun aku menunggu
bertahun-tahun pula aku rindu
pada mahakasih-lautmu

beri aku sebuah perahu
untuk mendedah rahasia pesanmu


/5/
jangan hitung berapa gigil kukalungkan di jubahku
bila kau akan ganti dengan sorbanmu

lalu kurangkai kabut yang lelap di pantai ini
jadi perahu menyeberangi laut mahaluasmu

kuburu nuh, ibrahim, dan isa
yang dikejar-kejar pengkhianat

kucari namaku dalam diri para nabi
sampai usai di diri muhammad

aku kini telah sampai
ke kedalaman laut-Mu


/6/
hanya pada keluasan laut
aku bisa tahu batas pantai
maka kularungi perahu dalam diri
menyerpihi badai demi badai

kulupakan pasir yang telah menumbuhkan bakau,
juga bekas telapak kakiku yang terluka
sepanjang pantai:
                                    senja tadi

lalu kutandai bekas luka itu sebelum malam
menggelepar dalam jaringmu

dan laut melipat tubuhku
serupa memeram anak kepompong
menggeliat pada sabda-Mu


/7/
ku tak pernah takut ketika perahu ini
membawaku ke dalam paling malam
sebab di tanganku seribu tasbih
menguntai namanamamu
yang kupetik dari pohon jiwa

sudah kuselesaikan percintaanku pada pantai,
pada pasir, pada lumpur, dan ilalang
kini giliranku menuju pulau jauh
melipat laut hingga jadi zikirku

subhanallah!
aku jadi imam bagi diriku
di atas perahu ini
menerima titah
langkahku yang patah


/8/
sudah lama tak kulihat iringan panjang
melintas pantai yang luka ini
malam perih, langit payung hitam
dalam gerimis yang tajam

perahu tua yang tersimpan dalam kitab
masih setia menunggu di dekat bongkahan batu
tapi tiada lagi lelaki tua yang selalu melambai
dan menarik iringan panjang itu berlayar

segalanya sunyi
malam mati
di bawah gerimis yang belati

hidup menjadi terlunta
di pantai tak bernama
menatap rahasia segara

“arungkan perahu tua itu,
arungkan. sekali lagi
sebelum banjir melumat,” kata anak itu

pantai pun kembali sepi
laut pun penuh lelampu


/9/
akulah pelayar yang baru selesai
meredamkan badai hingga perahu kembali
melarung ke laut paling sunyi. di kepalaku langit
membentang, bintang-bintang
mencahayai perjalananku
   selesai sudah kuredakan badai yang datang
     sejak perahu meninggalkan
pantai. malam bersinar. perahuku menjelma kupu-kupu,
   sayapnya ditumbuhi
cahaya. kubiarkan terbang ke langit yang warna.
membawa tubuhku pula…

pantai yang kutinggalkan meranggas bakau
dari payau ini kularungkan
perahu menuju pulaumu yang sunyi. kubangun
firdaus di sana seperti adam
pertama kali merindu kekasih
seperti hawa sebelum terlunta
mengunyah sepanjang masa!

dikawal oleh angin yang lunglai aku
mengendarai perahu sampai
masuk ke dalam igaumu. mengadukan segala
kenangan luka di pantai:
“ini perahu baruku bikinan nuh, izinkan
aku melaut …”


/10/
perahu yang tertambat di bukit tua itu kini menghanyut
                                                 ke dalam malamku. “hai
orang berselimut. bangun dan melautlah, selagi angin
     pantai dan ombak tak
berbadai,” bisikmu. aku pun bangun lalu menuju perahu
yang sekejap lagi
meninggalkan pantai.

inilah pelayaran malamku sekali lagi. yang jauh. sudah
   berapa pulau kulintasi,
sudah berapa kedalaman kurenangi. aku kini makin
                                        mencapai adamu. dalam zikir
aku mabuk. laut membuncah di dalam tarikan napasku.
      aku mencari, kau menjumpa.
dari pelayaran malam yang kelam, tak habis-habis
  kulafaskan segala dermagamu.

“wahai orang berselimut, bangun dan berlayarlah.
lepaskan pakaian tidurmu,
selimut yang membuatmu mendengkur,” bisikmu
   berlayarlah ke keluasan
lautku. malam akan selalu menjagamu. layar akan
    melindungimu. lafaskan segala
nama dari dalam hatimu

jangan ingin berhenti. berlayarlah, berlayar!
laut akan membawamu kembali ke pantai. ke bukit tua
yang jauh
tempat perahumu melepas sauh

Analisis Puisi:

Puisi panjang "Perahu Meninggalkan Pantai" karya Isbedy Stiawan ZS menghadirkan perjalanan spiritual dan eksistensial melalui simbol perahu, pantai, laut, dan pelayaran. Bukan sekadar tentang laut sebagai lanskap geografis, melainkan sebagai metafora kehidupan, cinta, kerinduan, dan pencarian Tuhan. Dalam puisi ini, pembaca diajak menyusuri gelombang batin manusia yang penuh kenangan, kesepian, dan doa—sebuah ziarah jiwa yang dilambangkan melalui perahu yang tak henti berlayar.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perjalanan hidup dan spiritual manusia. Penyair mengaitkan pelayaran perahu dengan upaya manusia mencari makna, menghadapi badai kehidupan, dan mendekat kepada Yang Maha. Tema cinta, kerinduan, kehilangan, dan keteguhan iman juga menyertai perjalanan ini.

Puisi ini bercerita tentang seorang pelayar dengan perahu yang terus meninggalkan pantai untuk melaut. Pantai menjadi simbol asal, rumah, dan kenangan; sedangkan laut melambangkan perjalanan, misteri, serta kedalaman spiritual.

Perahu dalam puisi ini kadang hadir sebagai sosok yang berbicara, kadang pula sebagai bagian dari diri penyair. Ia berlayar menembus malam, badai, dan kesunyian, mencari pulau, firdaus, bahkan rahasia ilahi. Ada momen cinta dan rindu, ada pula kesunyian piatu menunggu pesan dari laut. Semua bagian puisi menampilkan fase perjalanan hidup: dari kerinduan duniawi, keterdamparan, hingga penyerahan diri penuh kepada Tuhan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kehidupan sebagai pelayaran spiritual. Manusia datang dari “pantai” (asal mula, dunia, bahkan rahim atau tanah kelahiran) lalu berlayar dengan “perahu” menuju lautan luas (hidup, pengalaman, cinta, dan keimanan).

Pelayaran itu penuh badai, luka, dan kesepian, tetapi juga menghadirkan kedalaman doa serta zikir. Pada akhirnya, manusia harus berani meninggalkan pantai kenyamanan untuk menempuh pelayaran menuju Yang Maha, tempat segala rindu dan penantian bermuara.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun Isbedy dalam puisi ini sangat berlapis:
  • Melankolis dan rindu – ketika penyair mengingat pantai, kenangan, dan kecupan yang ditinggalkan.
  • Religius dan khusyuk – saat perahu dijadikan simbol zikir, doa, dan perjumpaan dengan Tuhan.
  • Suram dan getir – ketika badai, banjir, atau pantai luka digambarkan sebagai penderitaan hidup.
  • Heroik dan pasrah – ketika tokoh lirik berani melaut, tak takut pada badai, sambil membawa tasbih dan nama Tuhan dalam pelayaran.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah bahwa hidup harus dijalani sebagai pelayaran penuh keberanian, doa, dan pengharapan. Manusia jangan takut meninggalkan pantai kenyamanan, sebab laut kehidupan akan membawa pada pengalaman, cobaan, sekaligus perjumpaan dengan Yang Maha.

Penyair juga ingin menyampaikan bahwa dalam segala luka dan kerinduan, hanya dengan zikir, cinta, dan penyerahan diri, manusia dapat menemukan arah.

Imaji

Puisi ini sangat kaya dengan imaji visual, auditif, dan religius:
  • “ketika fajar bangun dari bolamatamu yang menawan” → imaji visual romantis.
  • “gelombang berbuncah dalam jiwaku” → imaji gerak dan perasaan.
  • “aku telah melipat badai sebagai biji-biji tasbih” → imaji religius yang mengubah penderitaan jadi doa.
  • “laut melipat tubuhku serupa memeram anak kepompong” → imaji visual penuh simbol transformasi.
  • “perahuku menjelma kupu-kupu, sayapnya ditumbuhi cahaya” → imaji metaforis tentang kelahiran kembali dan pencerahan.

Majas

Beberapa majas yang dominan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – perahu, laut, dan pantai dijadikan lambang perjalanan hidup dan spiritual.
  • Personifikasi – laut, ombak, perahu, bahkan malam kerap digambarkan seolah hidup dan berbicara.
  • Hiperbola – “seribu tasbih menguntai namanamamu” memberi kesan agung dan tak terbatas.
  • Simbolisme – perahu tua melambangkan tradisi, iman, dan perjalanan batin; badai sebagai ujian hidup; pantai sebagai titik asal dan kenangan.
  • Repetisi – pengulangan kata “perahu” dan “pantai” mengikat puisi agar tetap utuh meskipun terbagi dalam 10 bagian.
Puisi "Perahu Meninggalkan Pantai" karya Isbedy Stiawan ZS adalah sebuah epos liris tentang perjalanan hidup, cinta, dan spiritualitas. Lewat simbol perahu dan laut, penyair membangun jembatan antara pengalaman duniawi dan pencarian ilahi. Puisi ini bukan hanya renungan pribadi, tetapi juga ajakan bagi pembaca untuk berani meninggalkan “pantai” kenyamanan dan menempuh pelayaran menuju kedalaman hidup, meski penuh badai. Pada akhirnya, pelayaran itu adalah jalan pulang menuju Sang Maha Laut.

Isbedy Stiawan ZS
Puisi: Perahu Meninggalkan Pantai
Karya: Isbedy Stiawan ZS

Biodata Isbedy Stiawan ZS:
  • Isbedy Stiawan ZS lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, pada tanggal 5 Juni 1958.
© Sepenuhnya. All rights reserved.