Ngawi-masjid kebonsari
Sumber: Mata Air di Karang Rindu (2013)
Analisis Puisi:
Puisi "Di Sebuah Senja" karya Tjahjono Widarmanto adalah sebuah karya sastra yang penuh dengan gambaran-gambaran alam dan perasaan melankolis. Puisi ini menggambarkan momen senja sebagai perenungan atas waktu, kehidupan, dan hubungan dengan yang Ilahi.
Gambaran Senja sebagai Simbol: Puisi ini dimulai dengan gambaran langkah matahari yang mengejar usia, menunjukkan pengertian tentang waktu dan perjalanan hidup. Senja digambarkan sebagai batas antara siang dan malam, mencerminkan peralihan antara hidup dan kematian, antara kegelapan dan terang.
Atmosfer Melankolis dan Ingatan: Puisi ini menciptakan atmosfer melankolis dengan menggambarkan angin yang tak sanggup bergerak sendu dan ingatan yang mengungu. Ada perasaan nostalgia dan perenungan dalam menghadapi waktu yang terus berjalan.
Tubuh yang Melemah: "ketika sampai di batas senja, tubuh tinggal remang" menggambarkan kondisi fisik yang melemah dengan berjalannya waktu, seiring dengan perjalanan matahari menuju senja. Ini juga mengandung makna tentang kerapuhan manusia dalam menghadapi akhir hayat.
Rindu Akan Kehadiran Tuhan: Puisi ini mencerminkan rasa rindu yang mendalam terhadap kehadiran Tuhan. Penyair merenung dan memohon agar diberi petunjuk untuk menemukan "kitab" atau petunjuk yang lebih dalam untuk berhubungan dengan Tuhan. Rasa rindu ini ditunjukkan dengan permohonan untuk bisa berbicara dengan Tuhan dengan lafal yang kuat dan tegas.
Gambaran Alam dan Hubungan dengan Ilahi: Puisi ini menggunakan gambaran alam seperti awan, matahari, cahaya, dan bayang-bayang untuk menciptakan perasaan dan suasana dalam puisi. Pemandangan alam tersebut digunakan sebagai latar untuk merenungkan hubungan manusia dengan yang Ilahi dan perenungan tentang eksistensi.
Puisi "Di Sebuah Senja" adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan momen senja sebagai refleksi atas waktu, kehidupan, dan hubungan manusia dengan yang Ilahi. Puisi ini menciptakan suasana melankolis dan memaknai senja sebagai peralihan antara kehidupan dan kematian. Rasa rindu dan perenungan dalam puisi ini menciptakan penghayatan spiritual yang mendalam, mengajak pembaca untuk merenungkan makna keberadaan dan hubungan dengan Tuhan.
