Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tubuh Kami Masih Saja Dijejali Batu-Batu (Karya Tjahjono Widarmanto)

Puisi "Tubuh Kami Masih Saja Dijejali Batu-Batu" karya Tjahjono Widarmanto adalah karya sastra yang menyajikan gambaran tentang perasaan ......
Tubuh Kami Masih Saja Dijejali Batu-Batu


Di akhir sunyi yang mengendap-endap sepanjang malam
selalu saja kami gagal mengeja tubuh sendiri
hanya batu-batu resah menumpuk dalam tubuh
tak bisa jadi prasasti sebab huruf tak bisa dipahatkan

jadilah kami musafir bisu yang mengutuki diri sendiri
gagal membaca tubuhnya di setiap malam
gagal menulis catatan-catatan di batunya sendiri

masih juga kami bertanya
: kalau tak mampu membaca tubuh sendiri
Lantas siapa yang harus membaca tubuh kami?

pertanyaan itu, sia-sia yang membentur-bentur dinding-dinding langit

dan, tubuh kami masih saja dijejali batu-batu


ngawi, bumi ketanggi

Sumber: Mata Air di Karang Rindu (2013)

Analisis Puisi:
Puisi "Tubuh Kami Masih Saja Dijejali Batu-Batu" karya Tjahjono Widarmanto adalah karya sastra yang menyajikan gambaran tentang perasaan kebingungan, ketidakmampuan untuk memahami diri sendiri, dan pertanyaan eksistensial yang dalam. Puisi ini menggambarkan perasaan kehilangan arah dan rasa buntu dalam menjalani hidup.

Ketidakmampuan Memahami Diri Sendiri: Puisi ini menggambarkan perasaan kegagalan dan kebingungan dalam memahami diri sendiri. Penyair merasa seperti "musafir bisu" yang gagal untuk "mengeja" dan "membaca" tubuhnya sendiri. Hal ini mencerminkan kehilangan hubungan dengan identitas dan tubuh sendiri, serta kesulitan untuk menjalani introspeksi dan refleksi diri.

Metafora Batu-Batu: Batu-batu dalam puisi ini mewakili beban atau masalah yang menumpuk dalam diri, yang tidak bisa diungkapkan atau dimengerti. Batu-batu ini menjadi penghalang dalam proses pemahaman diri dan pertumbuhan pribadi.

Pertanyaan Eksistensial: Penyair mengajukan pertanyaan penting mengenai makna eksistensi dan identitas: "Lantas siapa yang harus membaca tubuh kami?" Pertanyaan ini mencerminkan kebingungan dan kehilangan arah dalam mencari pemahaman tentang diri dan tujuan hidup.

Simbolisme Sunyi dan Langit: Sunyi yang "mengendap-endap sepanjang malam" menggambarkan suasana hening dan kekosongan yang mendalam. Dinding-dinding langit yang menjadi penghalang pertanyaan-pertanyaan penyair mencerminkan ketidakmampuan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Bahasa Simpel dengan Makna Mendalam: Puisi ini menggunakan bahasa sederhana namun mengandung makna yang dalam. Penyair menggambarkan perasaan dan konflik batin dengan gaya bahasa yang lugas dan langsung.

Puisi "Tubuh Kami Masih Saja Dijejali Batu-Batu" karya Tjahjono Widarmanto adalah sebuah refleksi mendalam tentang perasaan kebingungan, ketidakmampuan untuk memahami diri sendiri, dan pertanyaan eksistensial. Melalui gambaran batu-batu yang menumpuk dalam tubuh, puisi ini menggambarkan perasaan beban dan penghalang dalam mencari makna hidup. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang hakikat eksistensi dan tantangan dalam menjalani perjalanan hidup.

Tjahjono Widarmanto
Puisi: Tubuh Kami Masih Saja Dijejali Batu-Batu
Karya: Tjahjono Widarmanto

Biodata Tjahjono Widarmanto:
  • Tjahjono Widarmanto lahir pada tanggal 18 April 1969 di Ngawi, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.