Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Menjadi Abu (Karya Tjahjono Widarmanto)

Puisi "Menjadi Abu" karya Tjahjono Widarmanto mengundang pembaca untuk merenungkan tentang arti hidup dan bagaimana kita menghadapinya.
Menjadi Abu


sama dengan bangkai ia sekejap akan sirna mungkin melesak
dalam kerak paling palung di tanah paling liat dan hitam
atau melesat ke angkasa, menabrak dan mengguncang pepohonan
sebelum lenyap jadi butir-butir molekul seperti gerimis tipis

seperti juga sama dengan semua mayat yang tak pernah tahu dalamnya neraka
ia tak akan lagi merapal ayat-ayat. segenap mantra dan jampi-jampi kidung suci
berubah menjadi serabut-serabut yang ringkih seperti putik merambat menuju layu

"hai, tak perlu kau menoleh ke belakang untuk mengingat-ingat apapun. campakkan ingatan
Bergegaslah, kau telah di tunggu kereta dihela delapan lembu melenguh tanpa henti!"

maka, engkau pun berjalan sendiri dengan berdebar-debar mendengar lenguh itu.
cemas sendiri tanpa siapa-siapa, bahkan tanpa nama

: engkau jadi anonim


Sumber: Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018)

Analisis Puisi:
Puisi "Menjadi Abu" karya Tjahjono Widarmanto adalah sebuah karya sastra yang menyelidiki tema kematian dan ketidakpastian. Melalui imaji-imaji yang kuat dan bahasa yang padat, penyair merenungkan tentang keterbatasan manusia dalam menghadapi kehidupan dan akhirnya kematian.

Kehancuran dan Keterbatasan: Puisi ini menggambarkan manusia sebagai sesuatu yang sementara dan rapuh, dengan analogi bangkai yang akan sirna seperti abu. Penyair menggambarkan kemungkinan nasib manusia yang menghilang dalam kerak tanah atau melesat ke angkasa. Gambaran ini mencerminkan keterbatasan eksistensi manusia, di mana apa yang kita anggap penting dan berarti dapat menghilang dengan cepat.

Perubahan dan Transformasi: Puisi ini menggambarkan perubahan dan transformasi yang tidak terelakkan. Dari mayat yang tidak lagi merapal ayat-ayat suci hingga mantra dan jampi-jampi yang berubah menjadi serabut-serabut ringkih, puisi ini menggambarkan bagaimana segala sesuatu yang kuat dan berarti bisa berubah menjadi hal yang rapuh dan tidak berarti.

Kehilangan Identitas: Penggunaan kata "anonim" di akhir puisi menunjukkan penghilangan identitas dan nama seseorang ketika mereka berjalan menuju kematian. Ini merujuk pada kenyataan bahwa manusia akhirnya menjadi tidak lebih dari sekedar angka atau entitas tak bernama setelah meninggalkan dunia ini.

Imaji dan Bahasa: Imaji-imaji yang digunakan dalam puisi ini sangat kuat dan menggambarkan perasaan ketidakpastian dan kecemasan. Penggunaan gambaran abu, kerak tanah, dan angkasa menciptakan citra yang mendalam tentang keterbatasan dan kehancuran. Bahasa yang padat dan deskriptif membantu menghidupkan perasaan yang ingin disampaikan oleh penyair.

Pemisahan dan Isolasi: Puisi ini menggambarkan perasaan pemisahan dan isolasi ketika seseorang berjalan menuju akhir hidupnya. Penggunaan kata "sendiri" dan gambaran perasaan cemas tanpa siapa pun menciptakan nuansa kesendirian yang mendalam.

Pesan Filosofis: Melalui puisi ini, penyair mengeksplorasi pemikiran filosofis tentang kematian, perubahan, dan arti kehidupan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang sifat sementara dan tidak pasti dari eksistensi manusia serta bagaimana kita meresponsnya.

Gaya Bahasa: Penyair menggunakan gaya bahasa yang berani dan puitis dalam menyampaikan pesannya. Penggunaan kata-kata yang menggugah emosi, imaji yang mendalam, dan ritme yang kuat memberikan kekuatan kepada puisi ini.

Secara keseluruhan, puisi "Menjadi Abu" karya Tjahjono Widarmanto adalah karya sastra yang merenungkan tentang eksistensi manusia, kematian, dan ketidakpastian kehidupan. Melalui penggunaan imaji dan bahasa yang intens, puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan tentang arti hidup dan bagaimana kita menghadapinya.

Tjahjono Widarmanto
Puisi: Menjadi Abu
Karya: Tjahjono Widarmanto

Biodata Tjahjono Widarmanto:
  • Tjahjono Widarmanto lahir pada tanggal 18 April 1969 di Ngawi, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.