Puisi: Hujan Dini Hari (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Hujan Dini Hari" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang menggambarkan suasana pagi yang mendalam dan penuh makna.
Hujan Dini Hari


hujan pun mulai luruh
ketika menjelang subuh
jam weker pun bergetar
ada kabut mengendap di luar

angin mendinginkan tubuh
sepi merapat ke jendela
cemas pun mengeras tiba-tiba
engkaukah menembang megatruh?

kota pun basah dini hari
sesekali ada kendaraan melintas
bayanganmukah bergegas
menyeberangi jalan sunyi?


Analisis Puisi:
Puisi "Hujan Dini Hari" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang menggambarkan suasana pagi yang mendalam dan penuh makna.

Atmosfer Pagi yang Dikisahkan: Puisi ini dibuka dengan deskripsi hujan yang mulai turun menjelang subuh. Penggunaan kata-kata seperti "jam weker bergetar" menciptakan gambaran suasana pagi yang tenang dan sejuk. Pembaca merasakan atmosfer pagi yang dipenuhi kelembutan hujan.

Sentuhan Romantis dan Misteri: Puisi ini menciptakan sentuhan romantis melalui penggambaran "ada kabut mengendap di luar" dan "angin mendinginkan tubuh." Puisi memberikan kesan keintiman dan juga sentuhan misteri, seperti melibatkan pembaca dalam pertanyaan "engkaukah menembang megatruh?"

Ekspresi Emosi dan Kekhawatiran: Baris "sepi merapat ke jendela, cemas pun mengeras tiba-tiba" menyampaikan ekspresi emosi dan kekhawatiran yang mendalam. Puisi ini tidak hanya menggambarkan kondisi fisik, tetapi juga menggali perasaan internal yang mungkin dirasakan oleh tokoh atau pembaca itu sendiri.

Imaji Kota yang Sepi dan Basah: Gambaran kota yang basah dan sunyi pada dini hari menciptakan imaji visual yang mendalam. Kendaraan yang sesekali melintas menunjukkan kesan sepi dan heningnya kota pada waktu tersebut. Ini dapat diartikan sebagai refleksi keadaan jiwa atau perasaan tokoh.

Pertanyaan Terbuka: Puisi ini diakhiri dengan pertanyaan terbuka, "bayanganmukah bergegas menyeberangi jalan sunyi?" Pertanyaan ini memberikan ruang bagi interpretasi pembaca. Apakah bayangan yang dimaksud adalah kenangan atau sesuatu yang lebih metaforis? Ini membuka ruang refleksi dan interpretasi yang luas.

Keterlibatan Pembaca: Puisi ini melibatkan pembaca dalam suasana yang dipaparkan. Ekspresi emosi dan pertanyaan terbuka menciptakan keterlibatan emosional dan intelektual, sehingga pembaca merenungkan makna yang lebih dalam dari setiap baris.

Gaya Bahasa Sederhana dan Padat: Gaya bahasa sederhana dan padat digunakan dalam puisi ini. Gunakan kata-kata yang efektif dan deskriptif memperkuat kesan dan makna yang ingin disampaikan, tanpa perlu kata-kata berlebihan.

Puisi "Hujan Dini Hari" adalah puisi yang menggambarkan keindahan dan misteri pagi hari. Dengan menggabungkan elemen-elemen atmosfer, emosi, dan pertanyaan terbuka, Gunoto Saparie berhasil menciptakan puisi yang memikat dan mengundang pembaca untuk merenung.

Foto Gunoto Saparie-R
Puisi: Hujan Dini Hari
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Selain menulis puisi, juga mencipta cerita pendek, novel, esai, kritik sastra, dan artikel/opini berbagai masalah kebudayaan, pendidikan, agama, ekonomi, dan keuangan.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).

Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.

Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.