Puisi: Kepada Sapardi Djoko Damono (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Kepada Sapardi Djoko Damono" memadukan kecintaan pada alam dengan rasa kagum dan kerinduan terhadap seorang penyair terkemuka.
Kepada Sapardi Djoko Damono


aku mencintai hujan bulan februari
barangkali sesederhana cinta punyamu
maafkanlah aku, kupinjam payungmu
untuk diam-diam mendaras duka-Mu abadi

ingin benar aku menyaru jadi penyair
selalu menulis puisi tentang hujan
tapi menaklukkan kata aku tak juga mahir
bayanganmukah berkelebat di tembok, bukan?

2020

Analisis Puisi:
Puisi "Kepada Sapardi Djoko Damono" karya Gunoto Saparie adalah ungkapan rasa cinta terhadap hujan yang dikemas dalam bentuk penghormatan dan pengakuan terhadap seorang penyair, Sapardi Djoko Damono. Dengan menggunakan elemen alam dan kecintaan pada puisi, penyair menciptakan lapisan emosional yang menggambarkan kekaguman dan ketidakmampuannya sebagai seorang penyair.

Kecintaan pada Hujan sebagai Metafora Cinta: Penyair menyatakan cintanya pada hujan bulan Februari, menciptakan suasana romantis dan melankolis. Hujan digunakan sebagai metafora untuk cinta, menggambarkan keindahan, kelembutan, dan kemistikan dalam perasaan cinta yang dialami penyair.

Peminjaman Payung sebagai Tanda Penghargaan: Baris "maafkanlah aku, kupinjam payungmu" menarik perhatian karena menciptakan gambaran simbolik. Peminjaman payung dapat diartikan sebagai tanda penghargaan dan penghormatan terhadap Sapardi Djoko Damono. Payung di sini mungkin mencerminkan perlindungan dan inspirasi yang diterima penyair dari figur tersebut.

Mendaras Duka Abadi dengan Kata-Kata: Penyair menyampaikan niatnya untuk "mendaras duka-Mu abadi" dengan menggunakan kata-kata. Ini menciptakan nuansa kesedihan yang mendalam, di mana puisi dijadikan sarana untuk mengungkapkan perasaan kehilangan atau duka yang mungkin dirasakan Sapardi Djoko Damono.

Keinginan Menjadi Penyair: Penyair mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang penyair dan selalu menulis puisi tentang hujan. Ini menciptakan kesan kerendahan hati dan kekaguman terhadap Sapardi Djoko Damono, yang mungkin dianggap sebagai panutan atau sumber inspirasi dalam dunia sastra.

Keterbatasan dalam Menaklukkan Kata: Dalam baris terakhir, penyair mengakui keterbatasannya dalam menaklukkan kata-kata. Ini mungkin mencerminkan rasa hormat dan kesulitan dalam menyampaikan perasaan dengan kata-kata, terutama jika dibandingkan dengan kemampuan Sapardi Djoko Damono yang dianggap mahir.

Bayanganmu di Tembok sebagai Eksplorasi Rasa Rindu: Penggunaan kata "bayanganmukah berkelebat di tembok, bukan?" menggambarkan eksplorasi rasa rindu dan keinginan untuk memiliki sesuatu yang mungkin tidak tercapai sepenuhnya. Tembok di sini bisa diartikan sebagai halangan atau jarak yang memisahkan penyair dengan figur Sapardi Djoko Damono.

Puisi "Kepada Sapardi Djoko Damono" adalah karya yang memadukan kecintaan pada alam dengan rasa kagum dan kerinduan terhadap seorang penyair terkemuka. Penyair menciptakan suasana romantis dan melankolis dengan menggunakan hujan sebagai metafora cinta. Puisi ini juga mencerminkan rasa hormat, penghormatan, dan kerendahan hati penyair terhadap figur Sapardi Djoko Damono, sekaligus menyampaikan keterbatasan dalam mengekspresikan perasaan.

Foto Gunoto Saparie Februari 2020
Puisi: Kepada Sapardi Djoko Damono
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Selain menulis puisi, juga mencipta cerita pendek, novel, esai, kritik sastra, dan artikel/opini berbagai masalah kebudayaan, pendidikan, agama, ekonomi, dan keuangan.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).

Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.

Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.