Puisi: Tandus di Tanah Subur (Karya Nursjamsu Nasution)

Puisi "Tandus di Tanah Subur" menciptakan citra yang kuat tentang pertarungan manusia dengan tantangan kehidupan dan keadaan lingkungan. Penyair ....
Tandus di Tanah Subur


Aku menangis di hati
Demi mata memandang
Ketandusan di balik kesuburan
Meratapi tanah gundul, jalan yang bencah
Dirintang semak menusuk

Di sana perkubangan kerbau, bau busuk
Di tempat orang lalu

Manusia mati sebelum mati
Membangkang di samping memeluk kebodohan
Malas karena penyakit adat yang melemah
Tenggelam dalam kesibukan cari makan
Usaha semua kandas, sebelum diusahakan

Aku berjalan payah, dalam bencah
Setelah usaha dikandaskan kepicikan
Perlahan mendaki pendakian di punggung bukit

Nafas terengah, suara parau merayu.

Semua jalan lambat
Bagai penari melenting meliukkan tubuh
Sibuk cuma dalam melempar cindai dan
  geleng kepala
Demikian cerita tanah tandus di tanah subur.


Sumedang, April 1954

Sumber: Tonggak I (1987)

Analisis Puisi:
Puisi "Tandus di Tanah Subur" menciptakan gambaran yang kuat tentang konflik dan ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya. Dengan gaya bahasa yang khas, penyair menggambarkan kondisi tandus di tengah-tengah tanah subur.

Kontras Tandus dan Subur: Puisi ini memulai dengan ungkapan perasaan penuh emosi, "Aku menangis di hati," yang menunjukkan kesedihan dan keputusasaan. Kontras yang kuat muncul antara kesuburan tanah dan ketandusan yang dirasakan oleh penyair. Ini mungkin mencerminkan ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia, di mana ada ketidakadilan dan penderitaan meski di lingkungan yang seharusnya subur.

Gambaran Kesulitan dan Pengorbanan: Melalui gambaran tanah yang tandus dan sulit, penyair menyampaikan pengorbanan dan kesulitan hidup. Penyair menyoroti kegigihan manusia dalam menghadapi kesulitan, namun juga menyindir ketidakpedulian terhadap lingkungan dan kearifan lokal (adat) yang melemah.

Penyakit Adat yang Melemah: Puisi mencerminkan kritik terhadap perubahan sosial dan budaya yang merugikan. Penyakit adat yang melemah bisa diartikan sebagai hilangnya nilai-nilai tradisional atau kearifan lokal yang seharusnya menjadi pondasi kuat bagi masyarakat. Ini dapat disebabkan oleh modernisasi atau faktor-faktor lain yang merusak keberlanjutan budaya.

Usaha yang Kandas dan Keadaan Masyarakat: Penyair menggambarkan usaha yang kandas dan upaya manusia yang tidak berhasil di tengah-tengah kondisi tanah yang tandus. Ini mungkin mencerminkan keadaan masyarakat yang berjuang mencari makna dalam kehidupan, tetapi usaha mereka terhalang oleh berbagai hambatan dan kendala.

Imaji Perjalanan dan Pendakian di Puncak Bukit: Puisi mencapai puncak naratifnya dengan penyair yang mendaki pendakian di punggung bukit. Ini bisa diartikan sebagai upaya manusia untuk melampaui kesulitan dan mencari pemahaman yang lebih tinggi. Nafas terengah dan suara parau merayu memberikan nuansa perjuangan dan ketekunan dalam perjalanan hidup.

Puisi "Tandus di Tanah Subur" menciptakan citra yang kuat tentang pertarungan manusia dengan tantangan kehidupan dan keadaan lingkungan. Penyair menggambarkan keadaan tanah yang tandus di tengah-tengah kekayaan yang seharusnya ada. Puisi ini memberikan pelajaran tentang pentingnya keberlanjutan, kearifan lokal, dan usaha yang teguh dalam menghadapi kesulitan.

Puisi
Puisi: Tandus di Tanah Subur
Karya: Nursjamsu Nasution
    Biodata Nursjamsu Nasution:
    • Edjaan Tempo Doeloe: Nursjamsu Nasution.
    • Ejaan yang Disempurnakan: Nursyamsu Nasution.
    • Nursjamsu Nasution adalah penyair Angkatan '45.
    • Nursjamsu Nasution lahir di Lintau, Sumatra Barat, pada tanggal 6 Oktober 1921.
    • Nursjamsu Nasution meninggal dunia di Jakarta pada tahun 1995.
    © Sepenuhnya. All rights reserved.