Analisis Puisi:
Dalam puisi "Arafah" karya L.K. Ara, penulis menghadirkan gambaran yang menggugah hati tentang perjalanan spiritual di Arafah, salah satu tempat penting dalam ibadah haji. Puisi ini mencerminkan kerinduan yang mendalam kepada Sang Pencipta, serta kesadaran akan dosa-dosa yang dilakukan.
Pada awal puisi, penulis menggunakan imaji panas pasir, batu, angin, dan matahari di Arafah untuk menyampaikan pengalaman fisik yang berat dan melelahkan. Panasnya lingkungan seolah mencoba membakar tubuh dan menguji ketahanan jiwa. Namun, di tengah semua itu, terdapat juga kepanasan rindu kepada Tuhan yang mencoba membakar cinta dan keinginan untuk memohon ampunan-Nya.
Penulis menggambarkan suasana Arafah dengan mengaitkannya dengan kisah Adam dan Hawa. Dalam puisi, batu-batu dan bukit-bukit menjadi saksi bisu dari pertemuan dan permohonan mereka kepada Tuhan di tempat ini. Arafah menjadi tempat bersejarah yang mengingatkan akan kehinaan manusia dan keinginan untuk memohon pengampunan-Nya.
Puisi ini juga menggambarkan langit pagi yang agak mendung, mungkin sebagai perwujudan kelembutan Tuhan yang mengawasi dan memberikan ketenangan kepada hamba-hamba-Nya. Di tengah padang pasir dan lanskap yang keras, ada juga sajadah yang terbentang di setiap kemah sebagai simbol ketundukan dan kerinduan yang ingin selalu mendekat kepada Tuhan.
Dalam penutup puisi, penulis menyatakan keinginan yang tulus untuk memperoleh ampunan dan ridha-Nya. Ungkapan ini mencerminkan kehumblean dan kesadaran akan kesalahan yang telah dilakukan, serta harapan akan kasih dan kemurahan Tuhan.
Puisi "Arafah" karya L.K. Ara mengajak pembaca untuk merenungkan perjalanan spiritual dan kerinduan kepada Sang Pencipta. Dengan menggambarkan suasana yang kaya akan simbol dan emosi, puisi ini mengajak kita untuk memahami pentingnya hubungan dengan Tuhan dan mengingatkan kita akan pentingnya memohon ampunan serta mencari ridha-Nya.
Puisi: Arafah
Karya: L.K. Ara
Biodata L.K. Ara:
- Nama lengkap L.K. Ara adalah Lesik Keti Ara.
- L.K. Ara lahir di Kutelintang, Takengon, Aceh Tengah, 12 November 1937.