Puisi: Tuhan di Hari Minggu (Karya Bakdi Soemanto)

Puisi "Tuhan di Hari Minggu" karya Bakdi Soemanto menggambarkan kompleksitas hubungan manusia dengan Tuhan dalam konteks agama dan ritual.
Tuhan di Hari Minggu


Suatu hari Minggu
pagi-pagi jam lima
Tuhan sudah berkemas-kemas
berpakaian rapi
untuk dijadikan korban di altar.

Orang-orang menyaksikan
bagaimana Tuhan dirajam
oleh dosa-dosa kita
di atas altar kehidupan.

Ada koor dan organ
dan bunga-bunga hiasan.
Perayaan dan korban
dalam satu pengertian.
Alangkah indah
tetapi pedih juga.

Setiap Minggu Tuhan dibantai.
Setiap hari Tuhan dibunuh dan mati.
Setiap jam Tuhan dirajam.
Setiap detik.

Tuhan telah disalib di sini
di hati
oleh kita sendiri,
justru tatkala kita
tak berani
menjadi diri sendiri.
Kita tak tahu
kapan penyaliban ini berakhir
karena kita juga tak tahu
kapan kita berani
menjadi diri sendiri.


Kita tak akan pernah bisa
menjadi diri sendiri,
selama-lamanya.

Tetapi
marilah kita berjanji
akan menjadi diri sendiri
bersama-Nya.
Barangkali
penyaliban bukan sekedar upacara.

1979

Sumber: Kata (2007)

Analisis Puisi:
Puisi "Tuhan di Hari Minggu" karya Bakdi Soemanto adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan suatu penggambaran ironis tentang bagaimana Tuhan dirayakan dan diperlakukan dalam konteks agama dan masyarakat. Puisi ini menyajikan perspektif kritis terhadap ritual keagamaan dan interaksi manusia dengan Tuhan.

Pengorbanan: Puisi ini dimulai dengan menggambarkan bagaimana Tuhan sudah "berkemas-kemas" dan "berpakaian rapi" untuk dijadikan "korban di altar." Bahasa ini menciptakan kontras antara penggambaran Tuhan sebagai entitas agung dan ritual keagamaan yang melibatkan pengorbanan. Penggunaan kata-kata seperti "altar" dan "korban" menyoroti bagaimana orang-orang menghadirkan Tuhan dalam suatu upacara yang mengingatkan pada pengorbanan.

Penyaliban dan Kematian Tuhan: Puisi ini menyoroti sisi mengerikan dari persepsi tentang pengorbanan Tuhan. Penggambaran tentang bagaimana Tuhan "dirajam" dan "dibunuh dan mati" setiap hari, setiap jam, dan setiap detik menggambarkan peran manusia dalam menjalankan tindakan dosa dan kejahatan. Puisi ini mengaitkan ide penyaliban Tuhan dengan pengorbanan harian yang manusia lakukan atas dirinya sendiri dan hubungannya dengan Tuhan.

Penyaliban dalam Konteks Pribadi: Puisi ini mengarahkan perhatian pada penyaliban Tuhan di hati manusia, mengaitkannya dengan konflik internal dan perasaan ketidakberanian untuk menjadi diri sendiri. Penyaliban ini muncul saat seseorang "tak berani menjadi diri sendiri." Pesan ini bisa diartikan sebagai kritik terhadap konformitas dan ketakutan manusia untuk mengekspresikan diri dan keyakinan mereka.

Harapan untuk Pemulihan: Meskipun puisi ini menyoroti aspek mengerikan dan penuh pengorbanan dari hubungan manusia dengan Tuhan, ia juga mengarahkan perhatian pada potensi harapan. Penutup puisi ini mengusulkan bahwa penyaliban mungkin bukan hanya sebuah upacara, mengundang pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari penyaliban dan hubungan manusia dengan Tuhan.

Puisi "Tuhan di Hari Minggu" karya Bakdi Soemanto adalah karya sastra yang menggunakan bahasa gamblang dan ironi untuk menggambarkan kompleksitas hubungan manusia dengan Tuhan dalam konteks agama dan ritual. Melalui gambaran penyaliban dan pengorbanan, puisi ini mengajukan pertanyaan kritis tentang makna sebenarnya dari hubungan keagamaan dan bagaimana manusia berinteraksi dengan Tuhan.

Bakdi Soemanto
Puisi: Tuhan di Hari Minggu
Karya: Bakdi Soemanto

Biodata Bakdi Soemanto:
  • Prof. Dr. Christophorus Soebakdi Soemanto, S.U lahir pada tanggal 29 Oktober 1941 di Solo, Jawa Tengah.
  • Prof. Dr. Christophorus Soebakdi Soemanto, S.U meninggal dunia pada tanggal 11 Oktober 2014 (pada umur 72 tahun) di Yogyakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.